Jozef Cleber atau juga sering hanya ditulis Jos Cleber (lahir di Maastricht, 2 Juni 1916 – meninggal di Hilversum, Belanda, 21 Mei 1999 pada umur 82 tahun) adalah musisi (konduktor) berkebangsaan Belanda yang datang tahun 1949 di Indonesia atas kerjasama Pemerintah Belanda dan Indonesia dalam rangka mengembangkan musik di Indonesia.
Ia adalah anak bungsu dari delapan anak Gerardus Josephus Cleber, seorang pemain orgel dan konduktor paduan suara, ibunya Anna Maria Bastian. Ia dilahirkan sebagai keluarga Katolik. Pada tahun 1939 ia kawin dengan Elisa Magdelijns (1917-2007), mempunyai seorang anak perempuan (Yvonne Charlotte). Namun tahun 1951 kemudian bercerai dan kawin lagi tahun 1951 itu juga di Jakarta dengan Johanna Dirkje de Bruijn (lahir 1923) yang bertemu di Radio Batavia ( RRI Jakarta) dan mempunyai seorang anak perempuan juga (Karian).
Ia mempunyai bakat musik yang luar biasa, dan belajar musik dari ayahnya. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama, ia masuk Sekolah Musik Atas (muzieklyceum), dan melanjutkan belajar biola dan piano pada konservatorium di kota Luik (Belgia). Ia juga belajar musik jazz, dan pengagum Duke Elington, dan disarankan belajar saxophone dan klarinet, namun trombone adalah alat musik pilihannya (yang katanya mouthpiece trombone sesuai dengan bibirnya). Pada usia 15 tahun (1931) ia sudah bermain pada Maastrichtsch Stedelijk Orkest (orkes kota) sebagai pemain biola alto. Kemudian ia bermain pada orkes Paul Godwin, dan kemudian pada waktu dinas militer tahun 1939 main di Tonhalle Orchester Zürich. Setelah usai Perang Dunia II ia kembali ke Belanda dan bekerja sebagai pemain trombone dan biola di 'Tuschinski-Theater' di bawah pimpinan musikus Max Tak, kemudian atas bantuan musikus ini ia bekerja sebagai trombonis pada Orkes Pop AVRO pimpinan Elzard Kuhlman (AVRO = Algemeene Vereeniging Radio Omroep / Radio Penyiaran Negeri Belanda). Kemudian tahun 1942 ia bekerja sebagai trombonis pada Concertgebouw-Orkest (sebuah orkes besar di Gedung Konser Amsterdam yang terkenal hingga kini). Selain itu ia juga belajar dirigen, ilmu harmoni dan kontrapun dari komponis Kees van Baaren di Amsterdam. Kemudian ia bertemu dengan Theo Uden Masman, seorang pimpinan orkes dansa di Hilversum. Tidak lama kemudian ia bergabung di Orkes Metropolitan pimpinan Dolf van Linden sebagai pemain trombone dan aransir antara 1945-1948. Juga dia bergabung pada band Selecta dan Decca Swing Combo.
Pada bulan Juni 1948 ia berangkat ke Indonsia. Setelah itu kembali tahun 1952 ke Belanda, pada tahun 1962 ia beserta istri (Joke) dan anaknya (Karian) ke Afrika Selatan. Namun tahun 1964 ia kembali lagi ke Belanda (Hilversum). Tahun 1981 ia pensiun (usia 65 tahun), dan tutup usia di Hilversum tahun 1999 (pada usia 83 tahun).
Pada tahun 1948 Pemerintah Belanda mengirim sebuah Orkes Philharmoni pimpinan Yvon Baarspul yang datang dari Negeri Belanda sekitar 46 orang, namun kemudian tahun 1952 ditolak agar kembali ke Belanda. Sebagian dari para musisi ini (yang kemudian menetap di Yogyakarta) merupakan cikal bakal pendidik musisi di Indonesia sejak tahun 1952 dengan berdirinya Sekolah Musik Indonesia (SMIND), dan tahun 1961 berubah menjadi Akademi Musik Indonesia (AMI) di Yogyakarta, yang kini bernama Institut Seni Indonesia (ISI) sejak 1984.
Kemudian Jos Cleber seorang pemusik pop klasik seperti Mantovani, bekerja sebagai pemimpin Orkes Cosmpolitan di Jakarta, karena pemainnya terdiri atas berbagai ras (kosmospolitan). Para pemain itu ada yang dari Rusia (Nicolai Varvolomeyeff), Hongaria (George Setet, Henry Tordasi), Filipina (Pablo, Sambayon), Indonesia (Sardi, Ismail Mz., Iskandar). Selama di Indonesia ia banyak memperhatikan seni gamelan.
Indonesia Raya versi Symphony garapan Jos Cleber terkait saat ada usaha perbaruan aransemen lagu kebangsaan ini. M Jusuf Ronodipuro, yang ketika itu menjadi Kepala RRI Studio Jakarta, tahun 1950 meminta agar Jos Cleber (pada waktu itu ia berusia 34 tahun) membuat aransemen Indonesia Raya, karena telah berhasil menggarap aransemen berbagai lagu Indonesia, antara lain Di Bawah Sinar Bulan Purnama, dan Rangkaian Melati.
Jusuf Ronodipuro menjelaskan tentang Indonesia Raya, bagaimana lagu tersebut lahir dan diciptakan, serta menjelaskan makna lagu itu. Cleber berkomentar bahwa dia menangkap nuansa Marseillasse (lagu kebangsaan Perancis) dalam Indonesia Raya. Gubahan Jos Cleber itu direkam di RRI Studio Jakarta pada awal tahun 1951 dengan melibatkan semua pemusik dari orkes cosmopolitan tersebut, direkam dengan tape recorder Philips yang baru dimiliki RRI pada waktu itu. Kemudian tahun 1997 direkam ulang dengan tehnik digital di Australia oleh Victoria Philharmony pimpinan Adie MS. Komentar Bung Karno atas aransemen Jos CleberJusuf Ronodipuro kemudian mengajak Jos Cleber menghadap Presiden Soekarno ke Istana Merdeka untuk memperdengarkan hasil rekaman itu. Bung Karno langsung mengkritik gubahan Cleber. Menurut Jusuf, Bung Karno berkata, "Indonesia Raya itu seperti Bendera Merah Putih kita. Tidak perlu diberi renda-renda lagi." (Tulisan sumber dari Wikipedia. Foto, sumbangan Bapak Tossi)).
Wednesday, December 28, 2011
Sunday, December 25, 2011
Hasil Tes DNA Tan Malaka Diumumkan Januari 2012
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pengarang buku ‘Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’, Harry A. Poeze, mengatakan hasil tes DNA terhadap sisa-sisa kerangka manusia yang diduga kuat adalah bekas tubuh Tan Malaka akan keluar pada Januari 2012. Menurut keponakan Tan Malaka, Zulfikar Kamarudin, hasil tes DNA kedua dari laboratorium di Korea rencananya diumumkan ke publik pada bulan itu juga. »Setahun lebih saya menunggu-nunggu hasilnya. Saya di Indonesia hingga 20 hari mendatang juga untuk melihat pengumumannya ke publik,” kata Poeze seusai menjadi pembicara dalam bedah buku terbarunya ‘Madiun 1948, PKI Bergerak’ di sekretariat Institute Research for Empowerment (IRE) Yogyakarta pada Senin 19 Desember 2011.Hasil tes DNA itu, kata Harry, akan memastikan teka-teki lokasi eksekusi Tan Malaka dan menjadi bukti kuat tesisnya yang menduga pengarang buku Madilog itu dikuburkan di pemakaman sekitar Desa Selopanggung, Kediri.Sebelumnya, pada akhir 2009 lampau, hasil uji tes DNA yang dilakukan oleh tim dokter dari Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hanya menemukan 9 kecocokan dari 14 unsur yang semestinya positif sesuai dengan DNA keluarga Tan. »Memang sangat susah, isi makamnya hanya sisa-sisa kerangka, mirip debu. Hanya terlihat ada debu membentuk posisi manusia terlentang dengan tangan terikat ke belakang,” terang Poeze. Harry mengaku memiliki kesan khusus terhadap sejarah revolusi di Indonesia. Di sejarah revolusi Indonesia, dia menemukan kiprah generasi paling idealis dari bangsa Indonesia modern awal saat itu.»Semua tokoh pendiri bangsa ini adalah orang idealis. Tan, Soekarno, Hatta, Muso, dan lainnya selalu tegas memilih prinsip politik, kalah atau menang tak masalah,” kata Poeze. Dia mencontohkan dalam buku terbarunya, ada cerita ketegaran seorang Amir Syarifudin saat dieksekusi oleh pasukan Siliwangi bersama 10 petinggi Partai Komunis Indonesia pada 1948. »Sebelum ditembak dia menyeru ‘hidup kaum buruh, aku mati untukmu’,” ungkap Poeze. Menurutnya, semangat idealis tokoh-tokoh revolusi kemerdekaan ini pantas menjadi teladan bagi generasi bangsa Indonesia belakangan. Karena itu, ia beranggapan, sebaiknya penulisan sejarah revolusi Indonesia, yang selama ini lebih banyak melibatkan indonesianis asing, mulai diambil alih oleh peneliti Indonesia sendiri.»Sayangnya, banyak peneliti sini (Indonesia) tak menguasai banyak bahasa, jadi sulit teliti dokumen yang berbahasa Belanda, Jerman, Rusia dan lainnya. Apalagi, dana riset minim,” keluhnya. ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Foto: Tan Malaka, Soekarni dan Nyonya Mangunsarkoro, Purwokerto awal 1946.
Thursday, December 22, 2011
Republik Indonesia Serikat hasil perjuangan diplomasi
Wednesday, December 14, 2011
Romusha di Biak
Coba bayangkan tahun 1943-1944 anda dijanjikan Jepang untuk sekolah ke Tokyo. Tapi ternyata dijadikan Romusha di Indonesia Timur. Badan tinggal pembalut tulang, sebagian besar meninggal dunia. Tahun 1945 dibebaskan pasukan Belanda dibawah pemerintahan NICA. Sebuah sudut pandang yang sedikit berbeda, bukan citra Hero tapi lebih pada Humanisme
Tuesday, December 13, 2011
8 orang Stovians
8 orang Stovians yang terkenal itu. Duduk dari ki-ka, Goenawan Mangoenkoesoemo, Latoemeten, Mohamad Arsjad, Angka Diprodjosoedirdjo. Berdiri dari ki-ka, Mohamad Saleh, Soesilo, Soetomo dan Goembrek.
Friday, December 09, 2011
Permintaan maaf Duta Besar Belanda di Indonesia
Tadi pagi tanggal 9 Desember 2011 bertempat didesa Balongsari, tepatnya pada monumen Rawagede dan taman makam pahlawan Rawagede diadakan upacara memperingati 64 tahun peristiwa Rawagede 9 Desember 1947. Hadir sejumlah tokoh yang mendapat undangan dan wartawan dalam dan luar negeri. Yang penting acara ini juga dihadiri oleh Duta Besar Belanda di Indonesia Tjeerd de Zwaan dan pengacara korban Rawagede Liesbeth Zegvel. Dalam kesempatan ini Duta Besar Belanda itu telah minta maaf.
Monday, November 28, 2011
PERSEKIN KOngres 1
Dari tanggal 25-27 Nobember 2011 berlangsung Kongres Sejarah Kedokteran Indonesia yang pertama. Kongres ini berlangsung di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Dihadiri anggota PERSEKIN dari Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Bandung, Solo, Palangkaraya, Medan dan lain-lain. Mereka berasal dari disiplin ilmu Kedokteran, Sejarah, Sosiologi, Antropologi, Psikologi dan masyarakat umum.
Sunday, November 20, 2011
Festival Tanjung Priok Menarik, Sayang Kurang Promosi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Minggu, 20 November 2011 23:30 WIB
Festival Tanjungpriok 2011 diselenggarakan Pemerintah DKI Jakarta bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia. Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya DKI Jakarta Arie Budhiman, Ahad mengatakan, festival itu sebagai salah satu sarana promosi wisata kota dengan kereta api kepada masyarakat. Selain sebagai alat promosi wisata kota dengan kereta api, acara ini juga digelar untuk memperkenalkan salah satu titik dari 12 titik jalur destinasi wisata pesisir yang dicanangkan Wali Kota Jakarta Utara, yakni bangunan cagar budaya Stasiun KA Tanjung Priok. Festival dimulai dengan perjalanan delapan gerbong KA khusus wanita yang berangkat dari Stasiun KA Gambir menuju Stasiun KA Tanjung Priok. Setiap gerbong akan diisi oleh komunitas Tour Leader Cendrawasih, tim sepeda, Sekolah Yayasan Tuna Jakasampurna, Komunitas Jelajah Budaya, Mahasiswa Fakultas Seni Rupa IKJ, ASITA, Pramuka Museum Bahari, Komunitas Edan Sepur dan masyarakat umum lainnya. Lebih kurang 550 orang diikutsertakan pada kegiatan tersebut. "Kami ingin dengan festival ini, semakin banyak orang sadar bahwa di kota Jakarta ada wisata kota dengan KA. Ini merupakan wisata yang menarik," ujarnya. Sementara itu, menurut Ketua Asosisasi Pariwisata DKI Jakarta Erna Danu Ningrat dengan rencana tambahan periwisata KA, diharapkan dapat meningkatkan pariwisata yang datang ke Jakarta Utara. "Kita ingin warga Jakarta, tidak susah-susah dengan adanya stasiun KA pariwisata. Mau ke Tanjungpriok, dengan hanya naik bus," ujarnya yang menambahkan bahwa di DKI Jakarta ada 68 mal yang menjadi unggulan pariwisata.
Menurut Eko (37), warga Kampung Bahari, Tanjungpriok, Jakarta Utara, sepinya pengunjung disebabkan warga sekitar Stasiun Tanjungpriok, tidak mengetahui adanya festival. Selain itu juga, Festival Kereta Api yang mempromosikan 12 jalur destinasi pesisir Jakarta Utara, yang mempromosikan apa yang menjadi kebanggaan Jakarta Utara, kurang sosialisasi. "Saya lihat ini, hanya ada stand penjualan makanan saja dan lukisan. Bukan tentang 12 destinasi pesisir dan produk unggulan Jakarta Utara seperti sirup mangrove yang menjadi kebanggaan walikota Jakarta Utara," katanya.
Redaktur: Stevy Maradona
Sumber: Antara
Festival Tanjungpriok 2011 diselenggarakan Pemerintah DKI Jakarta bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia. Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya DKI Jakarta Arie Budhiman, Ahad mengatakan, festival itu sebagai salah satu sarana promosi wisata kota dengan kereta api kepada masyarakat. Selain sebagai alat promosi wisata kota dengan kereta api, acara ini juga digelar untuk memperkenalkan salah satu titik dari 12 titik jalur destinasi wisata pesisir yang dicanangkan Wali Kota Jakarta Utara, yakni bangunan cagar budaya Stasiun KA Tanjung Priok. Festival dimulai dengan perjalanan delapan gerbong KA khusus wanita yang berangkat dari Stasiun KA Gambir menuju Stasiun KA Tanjung Priok. Setiap gerbong akan diisi oleh komunitas Tour Leader Cendrawasih, tim sepeda, Sekolah Yayasan Tuna Jakasampurna, Komunitas Jelajah Budaya, Mahasiswa Fakultas Seni Rupa IKJ, ASITA, Pramuka Museum Bahari, Komunitas Edan Sepur dan masyarakat umum lainnya. Lebih kurang 550 orang diikutsertakan pada kegiatan tersebut. "Kami ingin dengan festival ini, semakin banyak orang sadar bahwa di kota Jakarta ada wisata kota dengan KA. Ini merupakan wisata yang menarik," ujarnya. Sementara itu, menurut Ketua Asosisasi Pariwisata DKI Jakarta Erna Danu Ningrat dengan rencana tambahan periwisata KA, diharapkan dapat meningkatkan pariwisata yang datang ke Jakarta Utara. "Kita ingin warga Jakarta, tidak susah-susah dengan adanya stasiun KA pariwisata. Mau ke Tanjungpriok, dengan hanya naik bus," ujarnya yang menambahkan bahwa di DKI Jakarta ada 68 mal yang menjadi unggulan pariwisata.
Menurut Eko (37), warga Kampung Bahari, Tanjungpriok, Jakarta Utara, sepinya pengunjung disebabkan warga sekitar Stasiun Tanjungpriok, tidak mengetahui adanya festival. Selain itu juga, Festival Kereta Api yang mempromosikan 12 jalur destinasi pesisir Jakarta Utara, yang mempromosikan apa yang menjadi kebanggaan Jakarta Utara, kurang sosialisasi. "Saya lihat ini, hanya ada stand penjualan makanan saja dan lukisan. Bukan tentang 12 destinasi pesisir dan produk unggulan Jakarta Utara seperti sirup mangrove yang menjadi kebanggaan walikota Jakarta Utara," katanya.
Redaktur: Stevy Maradona
Sumber: Antara
Thursday, November 10, 2011
Pahlawan Nasional 2011
Siang tadi tanggal 10 November 2011 bertempat di Istana negara Presiden SBY telah menyematkan gelar Pahlawan Nasional kepada 7 tokoh, yaitu Sjafroedin Prawiranegara, Idham Chalid, HAMKA, Sarmidi Mangunsarkoro, Ketut Pudja, Pakubuwono ke X dan Kasimo
Sunday, October 30, 2011
Pengakuan tentara Belanda soal Rawagede
Jujur Mulai Hari Ini
Bertempat di gedung Museum Kebangkitan Nasional jalan Abdurachman Saleh Jakarta, Paguyuban Keluarga Besar Pendiri Boedi Oetomo pada hari Minggu 30 Oktober 2011 mengadakan acara peringatan "Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928). Acara Paguyuban yang dipimpin Ir Wargono ini mengambil thema 'Jujur Mulai Hari Ini" . Acara cukup ramai dan dihadiri beberapa orang terkenal seperti Jenderal Indrianrtono Sutarto dan sosioloog Imam Prasodjo (lihat foto)
Tuesday, October 25, 2011
Mantan Duta Besar Belanda Van Dam
Saturday, October 22, 2011
Ibu Irna Hadi Soewito: Pengibar Bendera Proklamasi adalah Latief dan Soehoed
Seorang sejarawan wanita terkenal yang banyak menulis buku yaitu Ibu Irna Hanny Nastoeti Hadi Soewito juga hadir pada acara peluncuran dan bedah buku tanggal 15 Oktober 2011, "Latief Hendraningrat Sang Pengibar bendera Pusaka 17 Agustus 1945" yang di tulis oleh Dr Nidjo Sandjojo. Buku yang ditulis Ibu Irna misalnya "Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945, Chaerul saleh, BAPERPI, Pertempuran Surabaya (3 jilid), Sejarah AURI dll". Ibu Irna yang adalah sahabat dekat dari Ibu SK Trimurti juga bercerita wanita ketiga dalam foto pengibaran bendera 17 Agustus 1945 yang di produksi Frans Mendur. Di foto itu yang terlihat dari belakang adalah Ibu Fatmawati, Ibu Trimurti dan Ibu Mudjinah. Ibu Mudjinah almarhum (terakhir sebagai guru dan tinggal di Bogor) adalah aktifis pejuang wanita dalam revolusi Indonesia. Mengapa tidak banyak yang menulis ya ? Dalam foto diatas tampak Ibu Irna sedang memaparkan penuh keyakinan soal peristiwa Proklamasi, sehingga sangat jelas bahwa pengibar bendera Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah Latief Hendraningrat dan Soehoed
Politikus dan Historicus Lambert Giebels telah tiada
Politikus dan sejarawan Lambert Giebels telah tiada. Pada hari kemis tanggal 13 Oktober 2011 penulis biografi Soekarno (dalam 2 jilid dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) Lambert Giebels, menghembuskan nafas terakhirnya dalam usiah 76 tahun. Buku biografi Soekarno ini amat dikenal masyarakat Indonesia yang juga sebagai perimbangan buku-buku Soekarno lainnya. Selain buku Soekarno dia juga menulis biografi Louis Beel mantan Perdana Menteri Belanda. Buku ini merupakan penelitiannya untuk disertasi S3 bidang sejarah pada tahun 1995. Disamping itu buku lain yang ditulisnya adalah de Greet Hofmans-affaire. Saya bertemu dengan Giebels beberapa kali saat kunjungannya ke Indonesia pada tahun 90-an dan setelah tahun 2000. Dalam kunjungan yang terakhir, dia bercerita kalau ditolak keluarga Soekarno saat berniat mengunjungi salah satu anak Presiden Indonesia yang pertama tersebut.
Wednesday, October 19, 2011
Mayor Oetarjo telah tiada
Hari ini Rabu tanggal 19 Oktober 2011 jam 11.45, Mayor (purn) Oetarjo telah tiada. Perwira ini pernah bertugas pada tahun 1945-1947 pada Kantor Penghubung Tentara jalan Cilacap Jakarta. Kemudian sempat pula bergerilya di Sumatera pada sekitar tahun 1948-1949 dengan jabatan Kepala Staf sub.Ter 7 Tapanuli dibawah panglimanya Alex Kawilarang. Dalam pertempuran sengit di sektor 3 dia tertembak dan tertawan. Major Oetarjo rencananya akan dimakamkan di TMP Kalibata tanggal 20 Oktober 2011. Selamat jalan Major, jasamu takkan kami lupakan. Foto atas. pada bulan September 1946 Kapten Oetarjo (tanda X) menerima kedatangan Kolonel M.Simbolon dan Let.Kol Kartawirana di lapangan terbang Kemayoran jakarta. Kedatangan kedua perwira dari Sumatera ini dalam rangka perundingan militer menjelang gencatan senjata Indonesia-Belanda pada bulan Oktober 1946.
Thursday, October 13, 2011
Kabinet baru dibentuk
Kabinet Presidensial adalah kabinet pertama yang dibentuk di Indonesia
setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kabinet yang
pelantikannya pada tanggal 5 September
1945 ini merupakan kelompok menteri-menteri pertama yang bersifat formal,
tidak ada hubungannya dengan partai politik,
dan belum bisa melaksanakan roda pembangunan dan pemerintahan. Nama
kabinet pertama ini penuh dengan suasana kekeluargaan dan semangat tinggi.
Dinamakan kabinet presidensial karena setelah merdeka, Indonesia menerapkan
sistem presidensial di mana presiden berfungsi sebagai kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan. Mungkin seperti sekarang ini, SBY ya presiden, ya perdana
menteri. Tampak dari kiri kekanan, Akhmad Soebardjo (men.lu), Amir Sjarifuddin
(men.pen), Sukarno, Sartono (men.negara), Hatta, Wiranatakusumah (men.dagri),
Mereka sedang memasuki Rumah Proklamasi jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Yang
menarik saat itu Amir Sjarifuddin yang baru keluar dari penjara, rupanya tidak
punya pakaian yang pantas. Dikanakannya jas dan kemeja, tapi dibawah pakai
celana pendek dan sendal kulit. Memang
Republik Indonesia dimulai dengan kepemilikan yang sederhana. Seyogyanya
semangat penuh kesederhanaan juga menjadi motto saat ini ya ?
Tuesday, October 11, 2011
IPPHOS dan karya besar mereka
Berbicara soal IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) tidak akan melupakan
dua bersaudara Mendur. Alex dan Frans Mendur mungkin luput dari
perhatian sebagian besar rakyat Indonesia. Buku sejarah nasional memang tak
memasukkan nama Mendur bersaudara dalam daftar pahlawan proklamasi. Bahkan
namanya pun tak pernah disebut-sebut oleh para pengajar kita meski karya foto
Mendur bersaudara itu mengisi ilustrasi foto dalam buku sejarah nasional. Namun tanpa
jasa mereka, mungkin kita tak bisa melihat dokumentasi momen paling bersejarah
bangsa ini, yaitu proklamasi kemerdekaan. Bagaimana jika Frans Mendur tak
berhasil menyembunyikan negatif foto 6 X 6 nya dari tentara Jepang ? Sudah pasti tak ada
dokumentasi resmi bahwa bangsa Indonesia sudah memproklamirkan diri sebangai
bangsa yang merdeka. Selayaknya kita berterima kasih pada Mendur bersaudara
karena jasanya, dunia tahu bahwa bangsa ini sudah merdeka dari penjajahan
bangsa lain. Kakak beradik Mendur adalah dua diantara orang-orang republik ini
yang 66 tahun lalu ada di Jl. Pegangsaan Timur 56 Cikini, Jakarta. Mereka
disana untuk mengabadikan momen penting negeri ini, proklamasi, sebuah
peristiwa yang lama dinantikan bangsa setelah berabad-abad dijajah bangsa lain.
Perjuangan
Alex dan Frans Mendur menyelamatkan negatif foto tak mudah. Mereka harus
berhadapan dengan tentara Jepang yang terkenal beringas. Negatif milik Alex
berhasil dirampas lalu dihancurkan oleh tentara Jepang. Bersyukurlah kita,
Frans berhasil menyelamatkan negatif fotonya yang diambilnya menggunakan kamera Roleicord. 12 foto negatifnya ini dikuburnya di halaman kantor
Asia Raja. Frans rupanya sadar betapa pentingnya dokumentasi itu. Kesadarannya
itu membuahkan hasil yaitu pada 20 Februari 1946 Harian Merdeka menerbitkan
foto karya Frans. Mendur
bersaudara menjadi sangat inspiratif bukan hanya karena karya-karya
monumentalnya saja, namun juga dedikasi dan integritasnya sebagai fotografer pada
masa itu yang patut dihargai. Frans dan Alex berjuang dengan kamera mereka.
Mereka tak hanya memotret untuk kepentingan diri sendiri atau golongan. Kakak
beradik Mendur menjadikan karya foto untuk kepentingan bangsa. Mereka memotret
setiap momen bersejarah di negeri ini dengan kejujuran, keberanian, ketulusan,
dan yang lebih penting adalah tanpa pamrih. Frans pernah menitipkan hasil
kerjanya kepada pilot-pilot Filipina sehingga foto-foto bersejarah karyanya
tersebar di berbagai media di luar negeri. Lalu apa yang didapatkan Mendur bersaudara atas
jasa-jasanya? Tidak banyak.
Mereka tak meminta juga dari negeri ini sebuah balas jasa besar. Bahkan menurut berbagai sumber,
karya-karya monumental itu tak dirawat dan dibiarkan terbengkalai oleh pemerintah.
Sudah saatnya bagi kita untuk lebih menghargai karya Mendur bersaudara,
dokumentasi bersejarah yang tak mungkin bisa diulang. Ingat ! Mendur bersaudara
tak hidup di era digital, negatif mereka sangat ekslusif. Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/18/mendur-bersaudara-tokoh-yang-terlupakan/
Foto: Gedung IPPHOS di jalan Hayam Wuruk pada masa lalu yang sudah raib, Foto Proklamasi dalam Harian Merdeka tahun 1946, kedua bersaudara Mendur (Alex dan Frans) dan Bung Karno yang sering jadi incaran kameramen IPPHOS.
Friday, October 07, 2011
Hari-hari sekitar proklamasi
Hari-hari
sekitar proklamasi Sumber:
Majalah TEMPO 16 Agustus 1975
Tangal 3 Oktober 1943 oleh penguasa Jepang
di Jawa dibentuklah Tentara Pembela Tanah Air PETA). Pasal 1 Maklumat pembentukan
PETA itu berbunyi, (aslinya ejaan doeloe). "Mengingat semangat jang
berkobar-kobar oentoek memenuhi keinginan jang sangat besar dari 50 djoeta
pendoedoek di djawa jang hendak membela tanah airnja dengan tenaga sendiri maka
Bala tentara Dai Nippon membentoek Tentara Pembela Tanah Air, jakni pasoekan
soekarela oentoek membela tanah Djwa, dengan pendoedok asli ialah berdiri atas
dasar tjita-tjita membela Asia Timoer Raja bersama-sama". PETA dalam
bahasa Jepang disebut Booei Giyuugun. Di Jakarta terdapat satu Daidan (batalyon
dan di Purwakarta satu Daidan masing-masing di bawah Daidancoo Dan Yon) Kasman
Singodimedjo dan R. Soerjodipoetro. Daidan membawahi Honbu (staf batalyon) dan
4 cuudan (kompi), sedang cuudan terdiri atas 3 syoodan (peleton) yang kemudian
masing-masing terdiri atas 4 bundan (regu). Sejak awal 1945 Daidan Jakarta
diberi tugas memberikan latihan-latihan militer diluar ketenteraan. Menurut
Latief Hendraningrat yang waktu itu salah satu komandan kompi, mereka juga
sempat nemberikan latihan singkat kepada para anggota Chuuo Sangi In yang
dipimpin Bung Karno. Team Pelatih itu, diresmikan oleh Daidanchoo (Dan Yon)
Kasman Singodimedjo terdiri atas 3 orang yaitu Latief sendiri (Dan kie) sebagai
Ketua dan Mufreini serta Singgih masing-masing Dan Ton sebagai anggota. Dari
Team ini Singgih kemudian yang melakukan "penculikan" terhadap
Soekarno Hatta dan melarikannya ke Rengasdengklok � tentara Latief
Hendraningrat kenudian yang mendampingi Bung Karno membacakan teks Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agusns 1945. Atas perm intaan TEMPO Latief Hendraningrat Brigjen
Pensiunan, AD dan kini aktf dalam usaha swasta menuliskan pengalamannyaa
sekitar peristiwa bersejarah ini dan setelah kami lakukan editing seperlunya
bahkan di bawah ini: BERITA "Jepang akan menyerah" disampaikan kepada
kami oleh seorang pemuda bernama Yusuf Kunto (tidak ada hubungan dengan Suroto
Kunto!) seorang yang militan yang kami kenal di kamp interniran Belanda di
garut (1942). Perlu kami tambahkan, ketika Perang Pasifik pecah (Desember 1941)
kami ditawan dan diinternir oleh Pemerintah Hindia Belanda. Alasannya mungkin
karena kami pernah bekerja di kantor Konsul Jenderal Jepang di Jakarta sebagai
halftimer (1938), sebab belum pernah diadakan pemeriksaan (penyidikan) terhadap
diri kami! Dalam kamp tersebut diinternir pula semua orang-orang Jepang yang
pada saat pecahnya perang itu masih berada di Indonesia. Selain itu juga
tokoh-tokoh politik Indonesia seperti Sukarni, Pandu Kartawiguna, Adam Malik
dan lain-lain. Dalam kamp ini kami berkenalan dengan Jusuf Kunto yang telah
membawa berita itu pada kami tanggal 13 Agustus 1945 pada sore hari setelah
kami kembali di suatu latihan dengan kompi kami. Suatu surprise juga bagi kami
menjumpai saudara Kunto tersebut setelah beberapa tahun tidak menjumpainya.
Peranan apa yang telah dipegangnya di kalangan pemuda kamipun kurang
mengetahui. Ia muncul secara tiba-tiba dan melaporkan tentang Situasi di waktu
itu. Pada waktu itu kami secara kebetulan bertugas piket yang disebut
"syuuban cuudancoo" atau "syuuban sirei" Dan secara
kebetulan pula kami sedang menjabat sebagai Pjs Daidancoo (daidancoo yoin) oleh
karena Daidancoo Kasman sedang dipanggil ke Bandung oleh Panglima Komando
Tentara Jawa Bagian Barat (Riyoodancoo) di mana semua daidancoo di dalam wilayah
komando itu dikumpulkan (daidancoo syuugo). Jadi kami pada waktu itu mempunyai
sekedar wewenang ! "Paksaan": Apa Maksudnya? Saudara Kunto juga
melaporkan bahwa utusan-utusan dari Pemuda sedang menghadap Pemimpin-pemimpin
Soekarno-Hatta untuk meyakinkan kedua tokoh itu tentang pentingnya segera
mengadakan Proklamasi Kemerdekaan mumpung Jepang masih menderita suatu knock
down berhubung kekalahan perangnya. Ia menyanggupi kami untuk memberi la-poran
setiap hari tentang perkembangan situasi. Pada tanggal 14 Agustus 1945 saudara
Kunto kembali melaporkan pada kami bahwa usaha Pemuda untuk meyakinkan
Soekarno-Hatta itu telah gagaL Bahwa kegelisahan di kalangan Pemuda dan
Mahasiswa telah memuncak. Di Menteng 31 (Gedung Juang) kini sedang diadakan
rapat-rapat dengan perdebatan yang sengit-sengit. Ia tidak mengungkapkan lebih
lanJut tentang perdebatan itu. Ia hanya mengatakan bahwa para utusan Pemuda
akan melanjutkan usahanya untuk menghadap Soekarno-Hatta sekali lagi agar
Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan "sekarang juga" Tiada orang lain
yang dapat memproklamir sesuatu kecuali Soekarno-Hatta yang dikenal dan ditaati
oleh rakyat. Apabila usaha ini gagal maka Pemuda akan bertindak "dengan
paksaan". Saudara Kunto sendiri belum mengetahui dengan jelas apa yang
dimaksud dengan 'paksaan" itu. Kebetulan bulan Agustus 1945 itu jatuh pada
bulan Ramadhan. Para prajurit bangun dan kami bersama-sama bersaur Pada waktu
itu fikiran kami telah tenang kembali. Tekad sudah menjadi bulat. Sekalipun
demikian, kami anggap belum waktunya untuk mengungkapkan keadaan tersebut pada
anak-buah kami sebelum kami mempunyai gambaran yang jelas tentang situasi dan
maksud para Pemuda & Mahasiswa! Lagi pula kami harus tetap berhati-hati
agar gerak-gerik kami jangan sampai mencurigakan fihak Jepang, yaitu para
sidookan. Sebab, semua perbuatan atau tindakan yang akan kami adakan untuk
membantu gerakan tersebut itu adalah bertentangan dengan hukum-hukum yang saat
itu sedang berlaku, bahkan bagi kami bertentangan dengan hukum militer!
Keesokan harinya, tanggal 15 Agustus ]945, kami cek laporan yang telah kami
terima dari saudara J. Kunto itu pada Eisei Cuudancoo Dr Soetjipto yang
mempunyai hubungan yang luas dan erat dengan para Pemuda & Mahasiswa. Kami
kenal baik dengan Dr Soetjipto semenjak sekolah A.M.S. di Malang, kemudian
ketika ia mahasiswa pada Fakultas Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) di
Jakarta dan di P.P.P.I. Dengan Dr Soetjipto itu kami dapat bertukar fikiran
secara cofidential, walaupun tidak banyak atau lama, mengingat bahwa kami
berdua diawasi oleh Jepang. Uraian Dr Soetjipto dalam garis-garis besarnya
adalah Sama dengan laporan saudara J. Kunto sehingga menambah rasa keyakinan
pada diri kami. Kami telah meminta pula padanya untuk memberi laporan tentang
perkembngan situasi di luar daidan. Sore harinya kami menunggu kedatangan
saudara J. Kunto yang tidak muncul-muncul. Kami mulai gelisah lagi, sebab kami
ingin merencanakan sesuatu apabila kami telah menerima laporan terakhir dari
perkembangan situasi ini. Tapi saudara Kunto tak kunjung datang. Maka muncul
pada malam hari itu (jam tidak teringat) secara mendadak Syoodancoo Singgih
yang memberitahukan kepada kami bahwa kehadirannya diperlukan oleh MENTENG 31
(Gedung Juang sekarang), malam ini juga! Hati kami merasa lega campur bana
bahwa Syoodancoo Singgih betul-betul dapat diikut sertakan dalam gerakan ini.
Rupa-rupanya para Pemuda dan Mahasiswa menaruh kepercayaan penuh padanya,
berkat latihan-latihan di daidan itu! Tapi tetap kami berhati-hati dan menanya
padanya siapa-siapa saja yang memerlukan kehadirannya itu. Ia sebut beberapa
nama antara lain nama-nama Sukarni, Pandu Kartawiguna, Chaerul Saleh, Adam
Malik, dan sebagainya. Nama-nama itu sudah merupakan jaminan cukup bagi kami
untuk mengizinkannya berangkat ke Menteng 31. Sebab orang-orang yang telah
disebutnya itu telah lama kami kenal semenjak zaman Hindia Belanda sebagai
pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan. Bahkan Sukarni dan Pandu Kartawiguna sendiri
pernah menjadi murid kami di sekolah guru tingkat atas dari Perguruan Rakyat
(1934). Kepada Syoodancoo Singgih itu kami berikan semua fasilitas yang
diperlukannya dalam menunaikan tugasnya yang telah diminta padanya oleh Pemuda
& Mahasiswa. Pertama: mobil dinas daidancoo, suatu mobil militer yang
menurut dia perlu untuk rapat-rapat!? Ternyata, menurut laporannya sendiri,
mobil itu digunakan untuk "mengambil" Soekarno-Hatta dari rumah
masing-masing, kasarnya "menculik"! Kemudian dipinjamnya lagi sebuah
truck (power) untuk memindahkan para beliau itu dari sedan,ke power tersebut
untuk dibawa terus ke Rengasdengklok. Pemindahan itu terjadi di dekat rumah
penjara Cipinang, Jatinegara. Selain itu juga satu pistol ekstra, satu karung
beras dan lain-lain bahan makanan serta pakaian seragam hijau untuk para beliau
guna menyamar apabila di perjalanan terjadi pemeriksaan kendaraan oleh fihak
Jepang. Di Rengasdengklok itu terdapat satu cuudan (kompi) dari daidan
Purwakarta yang dipimpin oleh Cuudancoo Soebeno. Tempat ini telah dipilih
Singgih dengan perhitungan bahwa tiada seorang resmipun yang akan mengetahuinya.
Kedatangannya di situ dengan membawa kedua Pemimpin beserta Bu Fatmawati,
Guntur dan Sukarni, menurut laporan telah menggerakkan masyarakat
Rengasdengklok secara keseluruhan. Tentera-Pamong Praja-Polisi dan Rakyat
menggabung menjadi satu, menahan beberapa orang Jepang yang bertugas di sana,
termasuk sidookan kasikan cuudan, dan mengibarkan bendera merah-putih di rumah
masing-masing dan di kantor-kantor Pemerintah. Kekuasaan penuh dari daerah itu
berada di tangan Indonesia (100%). Pun bapak Soetardjo, yang waktu itu menjabat
sebagai Residen Jakarta (Jakarta Syuucoo-kan) yang secara kebetulan sedang
memeriksa pembelian padi di daerah itu, turut ditahan. Jadi, secara de facto,
daerah (kecamatan) Rengasdengklok itu adalah daerah pertama yang "bebas
merdeka" ! Seperti KNIL Dulu Di dalam sebuah rumah di kota kecil ini,
dengan diliputi ketegangan penuh, maka Syoodancoo Singgih berhasil mendapatkan
kesanggupan dari Bung Karno untuk segera memproklamasikan Kemerdekaan
Indonesia! Ini dicapainya pada tanggal 16 Agustus 1945. Tanggal 16 Agustus 1945
mendapatkan seluruh masyarakat Jakarta dalam keadaan gempar setelah penduduk
bangun tidur dan mendengar tentang kejadian itu. Demikian juga kalangan
Pemerintah Militer Jepang. Kami di daidan telah siap-siap untuk menanggung
segala akibat daripada perbuatan kami itu. Walaupun sudah lebih banyak lagi
anak buah karni yang mengetahui tentang gerakan itu tetapi tampaknya, para
sidookan Jepang tidak mengetahui apa-apa. Sebab mereka sedang tidur nyenyak
ketika kami tadi malam mengeluarkan power dan sebagainya itu karena jam sudah
liwat tengah malam. Tetapi kami ingin mengetahui rencana apa selanjutnya akan
dibuat oleh fihak Pemuda/Mahasiswa. Untuk itu kami mengadakan latihan jalan
jauh (koogun), yaitu berjalan dengan kompi dari asrama di Jagamonyet ke arah
Kebon Binatang melalui Menteng 31. Harapan kami saat itu ialah agar dapat
menjumpai salah seorang pimpinan Pemuda yang dapat dihubungi. Tapi, sayang
beribu sayang, sidookan kasikan Jepang juga turut serta sehingga kami merasa
kurang bebas. Gedung Menteng 31 tampaknya sepi-sepi saja. Ada beberapa pemuda
yang berkeliaran di halaman depan tapi kami tidak mengenal mereka. Kami
berjalan terus sampai Kebon Binatang dan masuk dengan memberi kesempatan pada
anak buah untuk berjalan-jalan secara bebas. Untung sidookan ikut dengan
mereka. Rupa-rupanya ia ingin pula melihat binatang-binatang Indonesia.
Tiba-tiba kami melihat saudara Chaerul Saleh di belakang pagar kawat dari
pekarangan tengah Kebon Binatang itu: Ia mengangguk-angguk meimanggil kami.
Kami bertanya langsung kepadanya tentang Bung Karno dan Bung Hatta dan
sebab-sebabnya mereka itu dibawa ke luar kota. Menurut saudara Chaerul
maksudnya ialah "untuk menjauhkan mereka dari Gunseikan" (Kepala
Pemerintahan Militer Jepang). "Sebab, katanya selanjutnya, di Jakarta
mereka itu terlampau terpengaruh oleh Gunseikan sehingga ada baiknya jika
mereka itu dijauhkan dari pengaruh ini agar cita-cita kita lekas
tercapai". Ia juga menanyakan pada kami bagaimana rencana kita
selanjutnya. Kami agak heran sebab kami mengira bahwa Pemuda sudah punya
rencana yang matang! Saudara Chaerul Juga menambah bahwa direncanakan agar
alat-alat radio dapat diangkut ke luar kota, ke Rengasdengklok, sehingga
Proklamasi Kemerdekaan dapat diucapkan dari situ. Kemudian ia bertanya
"cara bagaimana kita dapat menguasai kota Jakarta?" Jawab kami:
"Salah satu jalan ialah melucuti Jepang terlebih dulu. Tapi hal itu tidak
dapat PETA kerjakan sendiri. Di daidan hanya terdapat 2 kompi, sebab 2 kompi
lainnya sedang bertugas ke luar kota dan tidak dapat dihubungi per telepon.
Selain itu kita memerlukan massa, yaitu massa Barisan Pelopor (dengan bambu
runcing) dan para Pemuda & Mahasiswa. Kemudian kita sangat memedukan
bantuan dari HEIHO supaya mereka memberontak dari dalam" kata kami tanpa
menyadari bahwa sesungguhnya Jepang di Jakarta itu sangat kuat. Heiho itu
adalah tentera pembantu tentera Jepang yang terdiri dari orangrang Indonesia
yang dipersiapkan seperti tentera Jepang dan yang tinggal se-asrama dengan
tentera Jepang. Semacam KNIL dulu. Ketika kami berdua berbicara itu kami belum
mengetahui kalau Syoodancoo Singgih telah berhasil. Karena laporan belum masuk.
Usaha kami ialah pertama-tama menghbungi Heiho di Rumah Sakit Gatot Subroto
(RSPAD) sekarang ini tapi di gedung tempat bersalin. Tapi usaha itu tidak
berhasil. Memang sukar untuk menghubungi mereka secara diam-diam. Sampai jauh
sore belum ada satupun yang dapat dihubungi. Untuk usaha-usaha seperti itu
memang diperlukan waktu yang lama. Harus diakui sekarang bahwa kami dulu itu
sama sekali belum berpengelaman apa-apa, terlampau naif seperti kanak-kanak.
Fikiran tidak berjalan wajar, hanya emosi, terdorong oleh hasrat besu untuk
lekas merdeka! Ditambah lagi bahwa Pimpinan Barisan Pelopor tidak bersedia
membantu suatu "rencana yang gegabah" (roekeloos), tanpa perhitungan,
yang hanya dapat membunuh Pemuda dan Mahasiswa saja, yang justru diperlukan
sebagai pemimpin-pemimpin Negara Indonesia yang merdeka di kemudian hari!
Berhubung faktor-faktor yang sangat tidak menguntungkan itu maka rencana untuk
menyerbu dan melucuti Jepang kami batalkan! Dalam pada itu kami terpikir kedua
Pemimpin-pemimpin Bangsa yang berada di Rengasdengklok itu. Kami kuatir akan
keselamatan mereka juga. Kami merasa turut bertanggungjawab. Maka kami bertekad
untuk meninggalkan asrama dan menuju ke tempat tersebut. Bersama-sama dengan Dr
Moewardi dengan berkendaraan mobil kami pergi tanpa memberi tahukan siapa-siapa
kecuali Sikihancoo kami, Sdr Soekardi (= bundancoo yang tertua dalam staf kami)
yang telah kami beri instruksi selama kami tidak berada di daidan. Setibanya
kami berdua di Rengasdengklok itu maka kami dapatkan markas cuudan
"kosong". Artinya Bung Karno dan Bung Hatta tiada lagi di tempat.
Menurut keterangan Cuudancoo Soebeno kedua Pemimpin itu telah dijemput oeh Mr
Soebardjo yang telah "menjamin" bahwa Proklamasi bisa diadakan
keesokan harinya (tanggal 17 Agustus 1945) tapi Bung Karno dan Bung Hatta harus
segera kembali untuk menyusun teksnya bersama-sama pemimpin-pemimpin lain. Atas
dasar jaminan itu maka Cuudancoo Soebeno melepaskan mereka. Kami segera kembali
ke Jakarta dan setelah tanya sini tanya sana dapat mengetahui bahwa kedua
Pemimpin itu berada di Jalan Imam Bonjol sekarang, di rumah Laksamana Maeda
(rumah Duta Besar Inggeris). Kami tidak masuk hanya lalu saja dan segera menuju
ke asrama untuk mempersiapkan pengamanan Proklamasi itu. Baru malam itu tanggal
16 ke 17 Agustus 1945 kami memberi uraian tentang segala kejadian pada
anak-buah kami dan memberi. Instruksi tentang segala persiapan yang perlu
dilaksanakan untuk esok harinya itu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 kompi kami
telah memulai persiapannya setelah appel pagi dan taiso sebagaimana diadakan
setiap hari. Pada malam hari sebelumnya mereka berhasil membongkar (secara
halus) pintu dari gudang mesiu (kunci dipegang oleh sidookan) dan peluru-peluru
tajam yang diperlukan telah � diambil dari gudang itu. Semua
berpakaian/berseragam untuk bertempur (battle dress). Dua power telah
dipersiapkan secara diam-diam. Hal itu telah menarik perhatian sidookan dan ia
menanya pada kami latihan apa yang akan kami selenggarakan untuk hari itu.
Sebab, menurut jadwal latihan-latihan dalam bulan Puasa harus
seringan-ringannya. Kami menjelaskan padanya bahwa kami ingin mengadakan
latihan "pertempuran dalam kota" oleh karena dalam hal ini anak buah
belum begitu mahir. Dan bahwa kami akan berangkat terlebih dulu mencari
tempat-tempat di dalam kota yang sekiranya dapat dipergunakan untuk latihan
itu. Selama itu para, prajurit tetap menunggu di asrama sambil membersihkan
ruang-ruang tidurnya (naimuhan) sampai kami kembali. "Apakah sidookan juga
mau ikut?" tanya kami. Secara kebetulan sidookan itu baru sembuh dari
sakit malaria yang telah dideritanya 1 bulan lamanya dan badan masih lemah
untuk turut memimpin latihan "perang-perangan" itu. Ia terpaksa
menjawab: "kali ini kami serahkan latihan itu kepada Cuudancoo".
Untung sekali bahwa ia tidak memeriksa alat-alat senjata dan tempat-tempat
pelurunya yang semuanya itu sudah berisi penuh dengan peluru-peluru tajam!
Rencana kami untuk mengamankan jalannya Upacara Proklamasi adalah sangat
sederhana. Maklum hal itu harus diukur dengan pengetahuan militer kami pada
waktu itu. Lagi pula kekuatan senjata kami tidak seberapa jika dibandingkan
dengan senjata tentara Jepang. Karenanya maka kami bermaksud menggunakan massa
Rakyat dari Barisan Pelopor yang bersenjatakan bambu runcing dan golok di
pinggang. Hal itu soal psikologis saja terhadap militer Jepang. Kami dapat
mengetahui bahwa Jepang segan menghadapi massa rakyat, lebih-lebih yang sedang
mengamuk. Karena itu maka taktik kami ialah untuk menghasut massa ini apabila
Jepang datang mengganggu. Hasutan itu akan kami kerjakan dengan letusan-letusan
senapan sebagai tanda untuk memulai. Untuk itu maka satu regu kami tempatkan di
belakang Gedung Proklamasi, bersembunyi di belakang tanggul kereta api.
Dipimpin oleh Sapri Bundancoo. Sedangkan kompi kami tetap di asrama dalam
keadaan siap untuk berangkat dengan power. Menunggu telepon dari kami bila
diperlukan. Dan menyerang dari belakang/samping. Untuk ini kami tugaskan
Syoodancoo Arifin Abdulrachman (Honbu) untuk senantiasa berada dekat pada
telepon. Larangan Jepang Kami meninggalkan asrama kurang lebih pada jam 09.30
(dulu jam 12.00 waktu Tokyo) bersama-sama Dr Soetjipto dengan berkendaraan
mobil daidan (kami saat itu masih tetap Pjs Daidancoo). Setibanya di Jl.
Pegangsaan Timur (sekarang Jl. Proklamasi) maka Daidancoo Abdul Kadir (dari
Sidoobu) datang pada kami (agak tergesa-gesa) dan mengatakan pada kami:
"Mas Latief mari kita jemput Bung Hatta. Saya dengar beliau tidak mau
datang! Dan jika ia tidak datang maka Bung Karno tidak mau
memproklamasikan!" Kami masuk lagi dalam mobil dan bersama-sama Daidancoo
Abdul Kadir menuju ke rumah Bung Hatta. Kami dapatkan beliau sedang menerima
tamu (orang Jepang). Kami masuk dan melaporkan bahwa Bung Hatta sedang ditunggu
kedatangannya di Pegangsaan. Beliau bertanya: Sudah siap? Mari kita
pergi". Kami agak keheranan. Menurut' Daidancoo Abdul Kadir beliau tidak
mau datang. Nyatanya beliau bersedia secara spontan. Bahkan meninggalkan
tamunya. Jadi upacara Proklamasi toh lebih penting bagi beliau! Demikian kami
berpikir. Setiba kami di Gedung Proklamasi bersama-sama Bung Hatta maka segera
kami check keadaan di sekitar gedung itu. Dari jauh kami melihat anak buah
sedang bersiap di belakang tanggul kereta api. Di halaman depan telah berjajar
Barisan Pelopor yang kami taksir 1000 orang lebih. Syoodancoo Arifin telah siap
dekat telepon yang berada di rumah itu. Mikropon telah dipasang, hanya ada satu
di atas standar. Tiang bendera di atas mana bendera Pusaka akan dikibarkan
nanti adalah dari bambu dan katrol biasa sedangkan talinya agak kasar. Para
tamu telah memenuhi ruangan depan (voorgallerij) sedangkan di halaman depan
bawah juga terdapat rombongan-rombongan tamu. Kami tidak begitu memperhatikan
para hadirin itu. Pikiran kami tegang terus. Semenjak tanggal 15 Agustus malam.
Lebih-lebih pada saat upacara hendak dimulai! Pikiran kami tetap tertuju pada
jalan besar dari mana mungkin gangguan akan datang! Kami dari Jakarta Daidan
telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. 'To be or not to be"
(merdeka atau mati) adalah semboyan setiap Prajurit dari Jakarta Daidan pada
waktu itu! Pada kurang lebih jam 10 kami melapor pada Bung Karno bahwa upacara
sudah siap untuk dimluai. Bung Karno dan Bung Hatta berjalan bergandengan ke
ruang depam Kami mendampingi Bung Karno di sebelah kanannya. Ketika sudah dekat
mikropon Bung Hatta berhenti sehingga beliau tidak lagi berdampingan dengan
Bung Karno sedangkan kami masih tetap di sebelah kanan beliau. Ketika Sdr .
Mundur hendak memotret Bung Karno maka kami melangkah ke samping 2 langkah
untuk menghormati beliau. Pikiran kami tetap tegang dan mata tetap tertuju ke
jalan besar. Setelah Bung Karno membaca teks Proklamasi menyusul acara
pengibaran Sang Dwiwarna. Dari halaman di bawah datang berbaris seorang pemuda
dan seorang puteri membawa baki dengan bendera Pusaka di atasnya. Kami mengenal
pemuda itu: Sdr Suhud tapi tidak kenal puteri di sebelahnya. Dengan rasa heran
kami melihat kedua pembawa bendera itu menuju langsung ke ternpat kami berdiri
dan tanpa kami sadari baki telah disodorkan pada kami! Kami heran karena kami
berada di situ bukan untuk urusan protokol melainkan untuk mendampingi Bung
Karno dan Bung Hatta. Untuk urusan pengamanan upacara! Tapi secepat kilat pula
dapat kami pahami bahwa dalam suatu gerakan politik seperti Proklamasi ini si
pengerek bendera dapat dianggap sebagai "biang keladi"-nya dengan
segala risiko yang bersangkutan dengan itu. Maka untuk menanggung risiko itu kami
bersedia. Maka bendera kami terima dan kami bawa ke tiang bambu itu dengan
dibantu oleh seorang pemuda lain yang bercelana pendek, jika tak salah Sdr
Suharsono (sekarang pilot Garuda). Bendera dikerek secara perlahan-lahan sesuai
dengan panjangnya bambu itu diiringi nyanyian "Indonesia Raya" oleh
para hadirin. Selesai Upacara Proklamasi dan Pengerekan Bendera maka kedua
Pemimpin Bangsa menuju kembali keruang belakang. Upacara telah selesai dengan
selamat. Kemudian Bapak Suwirjo (saat itu Walikota Jakarta) membaca nama-nama
para Anggota Komite Nasional Indonesia (K.N.I.) di Pusat di mana-mana mendapat
kehormatan untuk turut duduk pula sebagai nggota. Baru setelah upacara itu
selesai muncul seorang Jepang, menurut keterangan utusan dari Gunseikan,
disertai orang Jepang lain sebagai penterjemah. Menurut keterangan ia datang
untuk menyampaikan "larangan dari Pemerintah Jepang untuk mengadakan
aktifitas politik" tapi oleh Bung Karno dijawab bahwa Kemerdekaan
Indonesia telah diproklamir! Jika memang demikian halnya maka analisa kami,
golongan muda, sudah betul yaitu "seandainya Proklamasi itu terlambat
diadakan maka Bangsa Indonesia dan sejarahnya bisa lain!" Jakarta, Agustus
1975.
Monday, October 03, 2011
Hibah Rp 10 Miliar Belum Diterima Korban Rawa Gede
Pemerintah Diminta
Proaktif Sikapi Putusan Belanda
Rakyat Merdeka Selasa, 20 September 2011 , 01:40:00 WIB
DPR Akan Panggil Menlu, Mendagri & Menkumham
Bantuan hibah bagi korban tragedi Rawagede sebesar Rp 10 miliar yang dikirimkan pemerintah Belanda ke Indonesia dua tahun lalu menjadi misteri, raib tanpa jejak. Kementerian Dalam (Kemendagri) yang disebut-sebut sebagai pihak yang menerima bantuan tersebut membantah keras. Sementara, para ahli waris korban tragedi Rawagede sampai saat ini belum bersikap atas bantuan hibah tersebut. “Tidak benar ada uang Rp 10 miliar. Sumbernya siapa dan darimana, kita juga tahunya dari media. Tapi, informasi uang itu juga akan kami cek kebenarannya,” kata Kapuspenkum Kemendagri, Reydonnyzar Moenek kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin. Kemendagri, kata dia, akan mengkaji kebenaran hasil putusan pengadilan di Den Haag, Belanda terkait kasus tersebut, dan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Keuangan. “Kita juga belum mengetahui secara pasti, tahunya malah dari media massa. Perlu dicek ulang dan mendalam apakah benar keputusan itu. Kita juga akan mempertanyakan, apakah kasus rawagede itu gugatan goverment to goverment, private to government, atau private to private, tentunya ini perlu kajian lagi,” katanya. Terpisah Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman membenarkan keluarga korban pembantaian Rawagede belum menerima bantuan hibah dari Belanda pada 21 Februari 2009 itu. Menurutnya, para korban tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dana tersebut, karena itu dana hibah, bukan ganti rugi. “Sampai saat ini para ahli waris belum menerima dana tersebut, karena itu dana hibah, maka yang berwenang untuk mengurus dan membagikannya kapada masyarakat adalah Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah. Jadi tidak bisa menggugatnya,” katanya. Menurut Sukarman, sampai saat ini baik keluarga maupun lembaganya tidak tahu menahu mengenai keberadaan dana tersebut. “Saya tidak tahu apakah saat ini dananya ada di Kemendagri, di pemda atau dimana. Tolong Tanya kepada mereka saja,” pintanya. Dari Senayan, anggota Komisi III DPR Saan Mustopa mendesak Kementerian Hukum dan HAM selaku mitra kerja lembaganya untuk memastikan posisi putusan pengadilan kasus Rawagede. “Dari situ pemerintah bisa mengambil tindakan,” ucap politisi asal Karawang ini. Anggota Komisi I DPR Muhammad Najib mendesak pemerintah menindaklanjuti keputusan Pengadilan Sipil Den Haag, Belanda, yang memerintahkan Pemerintah Belanda membayar ganti rugi terhadap sembilan korban peristiwa Rawagede. “Ini sangat baik. Ini bagian kecil dari fakta-fakta sejarah yang kita miliki. Langkah awal yang menjadi pintu masuk ke kasus-kasus pelanggaran HAM perang lainnya,” katanya.
Untuk membuktikan perhatian legislatif terhadap penuntasan kasus Rawagede, Komisi I DPR akan memanggil Kemenlu, Kemenkum HAM, dan Kemendagri untuk meminta penjelasan terkait proses hukum dan dana ganti rugi para korban. “Secepatnya kami akan memanggil Kementerian terkait untuk menjelaskan masalah ini,” tegasnya. Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, pemerintah sebainya bersikap proaktif membantu para ahli waris korban peristiwa Rawagede untuk mendapatkan hak-haknya berdasarkan putusan pengadilan di Den Haag, Belanda pekan lalu. “Pemerintah bisa menjadi fasilitator dengan menyediakan pengacara, arsip sejarah, atau bantuan fasilitas,” katanya. Menurutnya, hal itu penting dilakukan pemerintah untuk membantu warganya sebab keputusan Pengadilan Negeri Den Haag belum bersifat hukum final, karena bisa ditempuh upaya hukum lanjutan. Untuk diketahui, peristiwa pembantaian Rawagede terjadi tahun 1947 di daerah Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Dalam tragedi tersebut tercatat 431 laki-lakit terbunuh akibat kekejian tentara Belanda. Peristiwa ini bermula pencarian pejuang kemerdekaan bernama Lukas Kustario. Dalam pencariannya tentara Belanda memasuki Desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberikan informasi mengenai keberadaan Kustario. PBB mengecam peristiwa itu sebagai serangan disengaja dan kejam Pemerintah Belanda meski kejadian pembantaian itu diketahui lewat film dokumenter yang ditayangkan tahun 1995. Sepuluh tahun kemudian, Menteri Luar Negeri Belanda, Ben Bot menyatakan penyesalan atas sejumlah serangan oleh pasukan Belanda di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 1947. Namun, Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan. Pada 20 Juni 2011, sembilan janda korban pembantaian di desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini.. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup. Kemudian 14 September 2011 Pengadilan Den Haag menerbitkan vonis atas perkara itu yang memenangkan gugatan sembilan janda tersebut. Pengadilan memerintahkan Pemerintah Benlada membayar sejumlah ganti rugi kepada penggugat.
Rakyat Merdeka Selasa, 20 September 2011 , 01:40:00 WIB
DPR Akan Panggil Menlu, Mendagri & Menkumham
Bantuan hibah bagi korban tragedi Rawagede sebesar Rp 10 miliar yang dikirimkan pemerintah Belanda ke Indonesia dua tahun lalu menjadi misteri, raib tanpa jejak. Kementerian Dalam (Kemendagri) yang disebut-sebut sebagai pihak yang menerima bantuan tersebut membantah keras. Sementara, para ahli waris korban tragedi Rawagede sampai saat ini belum bersikap atas bantuan hibah tersebut. “Tidak benar ada uang Rp 10 miliar. Sumbernya siapa dan darimana, kita juga tahunya dari media. Tapi, informasi uang itu juga akan kami cek kebenarannya,” kata Kapuspenkum Kemendagri, Reydonnyzar Moenek kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin. Kemendagri, kata dia, akan mengkaji kebenaran hasil putusan pengadilan di Den Haag, Belanda terkait kasus tersebut, dan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Keuangan. “Kita juga belum mengetahui secara pasti, tahunya malah dari media massa. Perlu dicek ulang dan mendalam apakah benar keputusan itu. Kita juga akan mempertanyakan, apakah kasus rawagede itu gugatan goverment to goverment, private to government, atau private to private, tentunya ini perlu kajian lagi,” katanya. Terpisah Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman membenarkan keluarga korban pembantaian Rawagede belum menerima bantuan hibah dari Belanda pada 21 Februari 2009 itu. Menurutnya, para korban tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dana tersebut, karena itu dana hibah, bukan ganti rugi. “Sampai saat ini para ahli waris belum menerima dana tersebut, karena itu dana hibah, maka yang berwenang untuk mengurus dan membagikannya kapada masyarakat adalah Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah. Jadi tidak bisa menggugatnya,” katanya. Menurut Sukarman, sampai saat ini baik keluarga maupun lembaganya tidak tahu menahu mengenai keberadaan dana tersebut. “Saya tidak tahu apakah saat ini dananya ada di Kemendagri, di pemda atau dimana. Tolong Tanya kepada mereka saja,” pintanya. Dari Senayan, anggota Komisi III DPR Saan Mustopa mendesak Kementerian Hukum dan HAM selaku mitra kerja lembaganya untuk memastikan posisi putusan pengadilan kasus Rawagede. “Dari situ pemerintah bisa mengambil tindakan,” ucap politisi asal Karawang ini. Anggota Komisi I DPR Muhammad Najib mendesak pemerintah menindaklanjuti keputusan Pengadilan Sipil Den Haag, Belanda, yang memerintahkan Pemerintah Belanda membayar ganti rugi terhadap sembilan korban peristiwa Rawagede. “Ini sangat baik. Ini bagian kecil dari fakta-fakta sejarah yang kita miliki. Langkah awal yang menjadi pintu masuk ke kasus-kasus pelanggaran HAM perang lainnya,” katanya.
Untuk membuktikan perhatian legislatif terhadap penuntasan kasus Rawagede, Komisi I DPR akan memanggil Kemenlu, Kemenkum HAM, dan Kemendagri untuk meminta penjelasan terkait proses hukum dan dana ganti rugi para korban. “Secepatnya kami akan memanggil Kementerian terkait untuk menjelaskan masalah ini,” tegasnya. Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, pemerintah sebainya bersikap proaktif membantu para ahli waris korban peristiwa Rawagede untuk mendapatkan hak-haknya berdasarkan putusan pengadilan di Den Haag, Belanda pekan lalu. “Pemerintah bisa menjadi fasilitator dengan menyediakan pengacara, arsip sejarah, atau bantuan fasilitas,” katanya. Menurutnya, hal itu penting dilakukan pemerintah untuk membantu warganya sebab keputusan Pengadilan Negeri Den Haag belum bersifat hukum final, karena bisa ditempuh upaya hukum lanjutan. Untuk diketahui, peristiwa pembantaian Rawagede terjadi tahun 1947 di daerah Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Dalam tragedi tersebut tercatat 431 laki-lakit terbunuh akibat kekejian tentara Belanda. Peristiwa ini bermula pencarian pejuang kemerdekaan bernama Lukas Kustario. Dalam pencariannya tentara Belanda memasuki Desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberikan informasi mengenai keberadaan Kustario. PBB mengecam peristiwa itu sebagai serangan disengaja dan kejam Pemerintah Belanda meski kejadian pembantaian itu diketahui lewat film dokumenter yang ditayangkan tahun 1995. Sepuluh tahun kemudian, Menteri Luar Negeri Belanda, Ben Bot menyatakan penyesalan atas sejumlah serangan oleh pasukan Belanda di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 1947. Namun, Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan. Pada 20 Juni 2011, sembilan janda korban pembantaian di desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini.. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup. Kemudian 14 September 2011 Pengadilan Den Haag menerbitkan vonis atas perkara itu yang memenangkan gugatan sembilan janda tersebut. Pengadilan memerintahkan Pemerintah Benlada membayar sejumlah ganti rugi kepada penggugat.
Mereka Melobi
Karena Tidak Diperhatikan
Haris Azhar,
Koordinator Kontras
Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekearasan (Kontras) menilai, kemenangan gugatan
korban tragedi Rawagede, pada 14 September kemarin merupakan hasil perjuangan
warga, tanpa dukungan Pemerintah Indonesia. “Masyarakat, terutama keluarga
korban pembantaian Rawagede, Karawang, Jawa Barat, tidak mendapatkan perhatian
yang memadai. Kalaupun ada, itu hanyalah perhatian simbolik dari sejumlah
individu pejabat TNI atau sipil keturunan Karawang,” kata Koordinator
Kontras, Haris Azhar, dalam keterangan tertulis yang diterima Rakyat
Merdeka.
Perjuangan
menuntut Pemerintah Kerajaan Belanda merupakan kerja keras warga dengan
sejumlah yayasan untuk mendorong kompensasi dari Pemerintah Kerajaan
Belanda. Dijelaskan Haris, pada 1995
lurah setempat, dengan dukungan Pangdam Siliwangi saat itu, mendirikan Yayasan
Rawagede. Yayasan ini kemudian yang dibantu Kharis Suhud (Bekas Ketua
MPR/DPR) sering mencari bantuan untuk para janda dan keluarga korban. Pada 2005, lanjut Haris, ya-yasan ini
kemudian bertemu dengan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan mendorong
kompensasi dari pemerintah Belanda. Yayasan itu kemudian mulai melakukan lobi
politik ke pemerintah Belanda, namun gagal. Setelah gagal, kemudian
dilanjutkan dengan tindakan hukum pada 2009 melalui gugatan ke pengadilan
Belanda. Sementara, yayasan lain, Sampurna Warga melakukan pemberdayaan
ekonomi sosial, termasuk untuk para keluarga korban. “Mereka melakukan lobi ke
Kedutaan Belanda karena kurang dapat perhatian pemerintah Indonesia. Mereka
disetujui oleh pemerintah Belanda untuk dibantu dan uang diserahkan ke Kemendagri
pada Desemeber 2010. Namun hingga kini bantuan tersebut tidak pernah diterima
yayasan tersebut,” paparnya. Keluarga korban pembantaian Rawagede mengaku Pemerintah
Belanda pernah memberikan bantuan hibah pada 2009 lalu sebesar Rp 10 miliar.
Uang itu disalurkan melalui Kemendagri. Ironisnya hingga kini keluarga korban
belum pernah menerima haknya. Para ahli waris korban hanya berharap dana
konpensasi ini bisa sampai ke tangannya dan bisa dinikmati keluarganya
Janda Rawagede kalahkan Belanda
Kamis,
22/09/2011 09:29 WIB
Janda Rawagede Kalahkan
Belanda Kemenangan Melawan Lupa dari Rawagede
Deden Gunawan - detik News
Jakarta - Sejarah adalah perjuangan melawan lupa. Dan
Rawagede menjadi bukti kemenangan perjuangan itu. Bagi Belanda, pembantaian tentaranya
yang menewaskan ratusan orang di Rawagede, Karawang, Jawa Barat itu hanyalah
cerita yang sudah kadaluwarsa. Pemerintah Indonesia juga kurang peduli dengan
pembantaian biadab pada 9 Desember 1947 itu. Nama Rawagede pun sekarang sudah
tidak ada dan diganti menjadi Balonsari. Saksi pembantaian itu hanya tersisa
segelintir orang dan sudah sangat sepuh. Tapi mereka yang tersisa tidak mau
menyerah untuk terus menggugat keadilan. Mereka tidak mau kejahatan HAM di
Rawagede dilupakan. Akhirnya, setelah 64 tahun pembantaian berlalu, keadilan
berpihak pada mereka. Rabu, 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menerbitkan
vonis yang memenangkan tuntutan 9 janda dan korban pembantaian di Rawagede.
Dilansir BBC, pengadilan di Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bertanggung
jawab atas pembantaian yang dilakukan tentaranya di Rawagede.
"Alhamdulillah," kata Wasiah, salah satu janda dari korban
pembantaian Rawagede yang ikut menggugat, menanggapi kemenangan gugatan itu.
Gugatan para korban pembantaian Rawagede sejatinya bermula dari buku berjudul
'Riwayat Singkat Makam Pahlawan Rawagede'. Buku itu ditulis Sukarman, ahli
waris korban, dan diterbitkan pada 1991.
Ayah Sukarman, Sukardi adalah pejuang Indonesia yang lolos dari
pembantaian Rawagede. Sementara ibunya, Cawi, adalah janda korban pembantaian
itu. Sukarman menulis buku itu karena tidak ingin pengorbanan besar rakyat
Rawagede demi kemerdekaan itu dilupakan begitu saja. Ia tidak mau peristiwa itu
'hanya' dikenang melalui bait puisi "Karawang-Bekasi" karya Chairil
Anwar. "Peristiwa Rawagede itu sangat memilukan, saya ingin menceritakan
secara gamblang apa yang sebenarnya terjadi di Rawagede pada 9 Desember
1947," ujar mantan Kepala Desa Rawagede itu, saat ditemui detik+ di
rumahnya. 'Riwayat Makam Pahlawan Rawagede' berisi keterangan istri-istri para
korban yang masih hidup. Saat itu, tahun 1991 waktu buku dibuat, jumlah janda
korban Rawagede masih 50 orang. Kini mereka tinggal 6 orang yang masih hidup,
salah satunya Cawi, ibunda Sukarman. Suami Cawi, Bendol, dibantai pasukan
Belanda di Rawagede. Tiga tahun setelah pembantaian itu, Cawi menikah dengan
Sukardi, pejuang Indonesia yang lolos dari pembantaian sadis itu. Dari
pernikahan itulah lahir Sukarman. "Saya tidak lagi dendam," kata Cawi
mengenang pembantaian itu. Dari kedua orangtuanya itulah, Sukarman mendapatkan cerita yang utuh
pembantaian Rawagede. Tanpa disangka buku Sukarman menyebar ke Belanda karena
dibawa pengurus Badan Kontak Legium Veteran RI Alif Jumhur. Di Belanda, buku itu menyedot perhatian akademisi, politisi dan wartawan hingga
kemudian dicetak ulang. Orang-orang Belanda sangat kaget dengan kisah
pembantaian di buku itu. Yang mereka tahu Indonesia adalah bagian dari Kerajaan
Hindia Belanda sehingga tidak ada penjajahan apalagi pembantaian. Beberapa bulan setelah buku itu beredar, sejumlah akademisi dan wartawan
Belanda datang ke Rawagede. Mereka berupaya menggali peristiwa yang sebenarnya
di desa yang jaraknya 20 kilometer dari Kota Karawang tersebut. "Setiap
bulan ada saja wartawan atau peneliti belanda yang datang ke Rawagede sejak
1994," kata Sukarman. Di Indonesia sendiri, tampaknya buku itu hanya
menarik perhatian para veteran termasuk Pangdam Siliwangi saat itu, Mayjen TNI
Tayo Tarmadi. Begitu membaca buku itu, Tayo langsung mendatangi Sukarman. Tayo
meminta Sukarman untuk mengusulkan pendirian Yayasan Rawagede dan mengumpulkan
kuburan para korban dalam satu lokasi berikut membangun monumen. Akhirnya, pada
1995, Bupati Karawang saat itu, Mangkuwijaya, menyetujui penyatuan makam
jenazah korban Rawagede. Sang Bupati dan Pangdam Siliwangi mengumpulkan
pengusaha sehingga terkumpul sumbangan Rp 400 juta untuk membangun pemakaman
yang layak bagi 431 jenazah korban Rawagede. Pembangunan Monumen Rawagede
rampung pada Oktober 1996. Setelah itu setiap 9 Desember, Muspida Karawang
mengadakan upacara di monument itu. Begitu monumen berdiri, sejumlah veteran
dan LSM HAM Belanda menyarankan Sukarman dan ahli waris menggugat pemerintah
Belanda untuk mendapatkan ganti rugi atas pembantaian itu. Pada 16 Agustus
2007, para janda korban dan ahli waris termasuk saksi mata pembantaian itu
Sya'ih bin Sakam, melakukan demo di kedubes Belanda di Jakarta. Tapi aksi itu
tidak direspons. Bukan hanya Belanda yang tidak merespon, pemerintah Indonesia
juga tidak peduli. Karena tidak direspons, para korban dan ahli waris lantas
menggugat secara hukum. Gugatan yang dilakukan bersama Komite Utang dan
Kehormatan Belanda, yang dipimpin Batara Hutagalung itu dilayangkan pada
Oktober 2008 di Belanda. Sejauh itu, pemerintah Indonesia tidak juga menunjukan
dukungan. "Pemerintah tidak berbuat apa-apa. Mungkin merasa tidak enak
sama Belanda," kata Sukarman. Untungnya akademisi, wartawan, serta anggota
parlemen Belanda dari partai oposisi mendukung gugatan itu. Bahkan 19 September
2008, dua anggota parlemen Belanda, Harry van Bommel dari Partai Sosialis dan
Joel Voordewind dari Partai Uni Kristen (ChristenUnie) bertemu para korban
termasuk Wasiah dan Sya'ih di Jakarta. Pada 2010, Sukarman dan Sya'ih datang ke Belanda untuk memberikan kesaksian.
Kemudian awal 2011, Sukarman datang lagi menghadap pengadilan Belanda. Melihat
jalannya persidangan, awalnya Sukarman pesimistis gugatan bakal menang. Itu
sebabnya Sukarman dan kuasa hukum penggugat mempersiapkan banding. Tapi
berbarengan proses sidang, ternyata media massa di Belanda mengulas keterangan
sejumlah veteran tentara Belanda (Veteran LMD). Media Belanda menulis
keterangan 5 orang bekas tentara Belanda yang pernah bertugas di Jakarta.
Mereka mengakui pernah melakukan penembakan di Rawagede. Bahkan kelima veteran
ini siap memberikan ganti rugi melalui koceknya sendiri sebagai kompensasi dari
kebrutalan mereka saat bertugas di Rawagede. "Awalnya pemerintah Belanda
ngotot kalau kasus ini sudah kadaluwarsa. Tapi karena kesaksian 5 pelaku pembantaian
itu, majelis hakim mungkin jadi berubah pikiran," duga Sukarman.
Foto: Sukarman mantan lurah Balongsari yang ketua Yayasan Rawagede
Saturday, October 01, 2011
Legende Soedirman
Jenderal Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun. Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dengan pangkat Letnan Jenderal TNI yang pertama dan termuda (31 tahun) Meski menderita sakit tuberkulosis paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI. Soedirman dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalah keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari Siyem. Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (Holandsche Indische Kweekschool atau sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi kepanduan Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) Muhammadiyah di Cilacap. Ketika zaman pendudukan Jepang yahun 1943, ia mendapat pendidikan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Setelah menyelesaikan pendidikan diangkat menjadi Komandan Batalyon PETA di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR). Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Pada masa pendudukan Jepang, sebelum menjadi tentara PETA, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Soedirman mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah keberhasilannya mengambil alih senjata pasukan Jepang secara damai di Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Tepatnya pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945. Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Letnan Jenderal oleh Presiden Soekarno. Saat terjadinya Agresi Militer II Belanda 19 Desember 1948, Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta, diduduki oleh tentara Belanda. Soedirman memimpin pasukannya untuk melakukan perang gerilya terhadap Belanda. Dalam perlawanan tersebut, Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Walaupun begitu dia ikut terjun ke medan perang bersama pasukannya dalam keadaan ditandu, memimpin para tentaranya untuk tetap melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda secara gerilya. Penyakit yang diderita Soedirman saat berada di Yogyakarta semakin parah. Paru-parunya yang berfungsi hanya tinggal satu karena penyakitnya. Saat itu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta dan beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Saat gerilya, Soedirman berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah dan dalam kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Setelah Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag Jenderal Soedirman kembali ke Yogya. Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki,
Dari Politik ke Kebathinan
Oleh SK Trimurti (dalam majalah Tempo 21 April 1990, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/04/21/MEM/mbm.19900421.MEM20311.id.html#
PAGI HARI, 17 Agustus 1945. kawan-kawan saya datang beramai -ramai menjemput. "Yu Tri, ayo ke Pegangsaan Timur 56, ke rumah Bung Karno untuk mendengarkan proklamasi," kata salah seorang. "Mengapa tidak ke lapangan Ikada seperti rencana semula?" "Ah, diam sajalah dulu. Di lapangan Ikada sudah banyak serdadu Jepang dengan senjata lengkap. Nanti kita ditembaki kalau ke sana." Segera saya berangkat ke Pegangsaan Timur. Jam 10 pagi, saya lihat sudah banyak orang berkumpul. Saya tak sempat lagi bertanya-tanya mengapa tempat proklamasi beralih sebab keterangan kawan-kawan agaknya masuk di akal. Apalagi saya lihat masih banyak kawan-kawan yang membawa kelewang dan senjata tajam lainnya. Mereka terutama dari Klender. Segalanya berjalan spontan, tanpa persiapan. Ketika kami berbaris, sempat juga saya lihat orang. orang Belanda di kiri -kanan rumah Bung Karno mereka mengintip dari pagar. Mereka menyaksikan tingkah laku kami dengan sikap melecehkan. Barangkali mereka menyangka kami sedang bermain-main. Mereka melempar senyum ngenyek, mengejek. Tapi saya tak peduli. Tak lama kemudian Bung Karno, Zus Fatmawati dan Bung Hatta datang. Pakaian dan wajah mereka sama lusuhnya karena semalam suntuk tidak tidur. Tiba-tiba, tanpa komando apa-apa, suasana jadi hening. Dan tibalah saatnya sang Dwiwarna dikerek. Kami saling memandang. Tak ada persiapan siapa yang harus mengerek bendera itu. "Yu Tri kerek bendera itu," kawan-kawan mendorong "Ndak mau. Lebih baik Saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia kan dari Peta," tampik saya. Saya kira, pejuang seperti Latief lebih layak untuk maju karena dialah yang bertempur di medan juang. Maka, Latief pun maju mengerek bendera Merah Putih, didampingi Soehoed Sastrokoesoemo. Saya berjejer dengan Zus Fatmawati, berdiri di depan bendera, berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta -- yang berdiri di beranda yang letaknya lebih tinggi dari kami. Hati saya berdebar-debar ketika melihat sepotong Merah Putih jahitan Zus Fat itu berkibar. Teks Proklamasi yang diketik oleh suami saya itu akhirnya dibaca oleh Bung Karno dengan suara rendah, perlahan-lahan, dan khidmat. * * *
Foto: Soehoed Sastrokoesoemo saat menjadi team Bung Karno pada tahun 1961, guna merancang Tugu Nasiona yang kemudian bernama Monumen Nasional (MONAS)
PAGI HARI, 17 Agustus 1945. kawan-kawan saya datang beramai -ramai menjemput. "Yu Tri, ayo ke Pegangsaan Timur 56, ke rumah Bung Karno untuk mendengarkan proklamasi," kata salah seorang. "Mengapa tidak ke lapangan Ikada seperti rencana semula?" "Ah, diam sajalah dulu. Di lapangan Ikada sudah banyak serdadu Jepang dengan senjata lengkap. Nanti kita ditembaki kalau ke sana." Segera saya berangkat ke Pegangsaan Timur. Jam 10 pagi, saya lihat sudah banyak orang berkumpul. Saya tak sempat lagi bertanya-tanya mengapa tempat proklamasi beralih sebab keterangan kawan-kawan agaknya masuk di akal. Apalagi saya lihat masih banyak kawan-kawan yang membawa kelewang dan senjata tajam lainnya. Mereka terutama dari Klender. Segalanya berjalan spontan, tanpa persiapan. Ketika kami berbaris, sempat juga saya lihat orang. orang Belanda di kiri -kanan rumah Bung Karno mereka mengintip dari pagar. Mereka menyaksikan tingkah laku kami dengan sikap melecehkan. Barangkali mereka menyangka kami sedang bermain-main. Mereka melempar senyum ngenyek, mengejek. Tapi saya tak peduli. Tak lama kemudian Bung Karno, Zus Fatmawati dan Bung Hatta datang. Pakaian dan wajah mereka sama lusuhnya karena semalam suntuk tidak tidur. Tiba-tiba, tanpa komando apa-apa, suasana jadi hening. Dan tibalah saatnya sang Dwiwarna dikerek. Kami saling memandang. Tak ada persiapan siapa yang harus mengerek bendera itu. "Yu Tri kerek bendera itu," kawan-kawan mendorong "Ndak mau. Lebih baik Saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia kan dari Peta," tampik saya. Saya kira, pejuang seperti Latief lebih layak untuk maju karena dialah yang bertempur di medan juang. Maka, Latief pun maju mengerek bendera Merah Putih, didampingi Soehoed Sastrokoesoemo. Saya berjejer dengan Zus Fatmawati, berdiri di depan bendera, berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta -- yang berdiri di beranda yang letaknya lebih tinggi dari kami. Hati saya berdebar-debar ketika melihat sepotong Merah Putih jahitan Zus Fat itu berkibar. Teks Proklamasi yang diketik oleh suami saya itu akhirnya dibaca oleh Bung Karno dengan suara rendah, perlahan-lahan, dan khidmat. * * *
Foto: Soehoed Sastrokoesoemo saat menjadi team Bung Karno pada tahun 1961, guna merancang Tugu Nasiona yang kemudian bernama Monumen Nasional (MONAS)
Wednesday, September 28, 2011
Dasman Djamaludin menulis tentang Sumber Sekunder
Ketika cucu Abdul Latief Hendradiningrat, pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945, Arif Wicaksono Hendradiningrat mengajak saya agar sebagai sejarawan universitas sekelas UI seharusnya tidak perlu meragukan lagi kebenaran fakta sejarah mengenai pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945, yaitu kakeknya dan Soehoed., saya hanya terdiam lama. Apalagi ditambah kalimat “Keluarga kami, sudah lama bersabar atas pembohongan publik oleh ILYAS KARIM. Puncaknya yaitu ketika diadakan acara oleh stasiun TVONE di Gedung Juang 31, padahal disitu ada ruangan yang memuat siapa pelaku dan saksi sejarah mengenai Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945.”
Mengapa saya terdiam lama? Karena saya mengalami hal-hal sebagai berikut:
- Saya mendengar sendiri dari Burhanuddin Muhammad Diah (B.M.Diah) ketika menulis buku beliau: Butir-Butir Padi B.M.Diah (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), betapa geramnya beliau membaca Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, yang menganggap yang merumuskan materi Pancasila ialah Mr.Muh.Yamin. Buku ini bukan main-main diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 1975 dalam enam jilid dan penulisnya Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo, Dr.Marwati Djoened Poesponegoro dan Dr.Nugroho Notosusanto. Bahkan menurut berita, Presiden Soeharto waktu itu memerintahkan agar buku tersebut dipergunakan di sekolah-sekolah pemerintah. Menurut B.M.Diah sejarawan-sejarawan Indonesia masih dipengaruhi sejarawan Barat atau didominasi pandangan sejarawan Barat, karena menurut F.A. Sutjipto dalam kata pengantarnya pada jilid IV, bahwa sebagian besar sumber adalah sumber sekunder walaupun di sana sini juga dilakukan sumber primer. Sehingga saya menganggap ini sebuah kekeliruan besar, karena kelihatannya sumber primer B.M.Diah tidak terlalu diperhitungkan dalam menyusun Buku Sejarah Nasional ini, sementara sumber primernya masih ada (hidup).
- Tentang buku yang saya tulis sendiri: Butir-butir Padi B.M.Diah (1992), meski Toeti Kakiailatu menuliskannya kembali dengan judul B.M.Diah Wartawan Serba Bisa tahun 1997, sumber primer sama yaitu B.M.Diah tetapi situasi dan kondisi berbeda. Hal ini terlihat dari komentar Wartawan Senior H.Rosihan Anwar ketika meresensi buku Toeti Kakiailatu di dalam Majalah Ggatra, 13 September 1997 halaman 130 bahwa: “Toeti Kaiailatu, mantan wartawan Tempo, menulis biografi B.M.Diah Wartawan Serba Bisa (1997).Lima tahun yang lalu B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman, buku yang menguraikan riwayat hidup Diah, sebagaimana diungkapkan kepada Dasman Djamaluddin. Maka, kedua buku itu mengandung bahan yang kurang lebih sama.” Di bahagian lain komentarnya Rosihan Anwar mengatakan:.....”Kendati dalam buku ini saya mendeteksi berbagai ketidakcermatan dalam keterangan Diah—yang diwawancarai oleh Toeti ketika mulai sakit-sakitan dan ingatannya tidak lagi begitu sempurna.” Jadi sumber primer yang sama, bisa juga mempengaruhi informasi ketika sumber itu sudah sakit-sakitan. Saya mewawancarai B.M.Diah ketika usianya 75 tahun dan masih sehat, baik lahir maupun bathin.
- Ketika saya berkunjung ke rumah H.Asnawi Mangku Alam, mantan Gubernur Sumatera Selatan, hari Minggu, 12 Januari 1997 beliau menunjukkan buku nya atas gugatan buku H.Alamsyah Ratu Perwiranegara berjudul: “ Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu” yang ditulisnya tahun 1996 dan telah diberikannya kepada Alamsjah tetapi tidak memperoleh jawaban. Barulah setelah saya menulis di surat pembaca di Tabloid Swadesi edisi No.1483 Tahun 1997, Alamsjah menjawab di Majalah Tajuk No.9 Tahun I,Maret 1997 halaman 54 – 57. Saya hanya ingin menyatakan bahwa di masa yang sama di mana nara sumber primernya ada, masih ada perbedaaan dalam menuliskan sejarah. Apalagi apabila sumber primernya tidak ada? Itulah sebabnya saya menahan diri dulu untuk menyatakan setuju dan percaya karena masih ada orang lain mengklaim dialah yang mengibarkan bendera pusaka tanggal 17 Agustus 1945. Jadi saya memberi kesempatan kepada masing-masing pihak, sekarang yang saya tahu masih tiga orang, membuktikan sungguh-sungguh data siapa yang otentik, shahih dan dapat dipercaya. Ya, mau tidak mau, ketiganya harus duduk di satu meja. Jadi melalui proses yang panjang, apalagi kalau membuktikan sumber sekunder, ya ingat lagi kata Pak Asvi, siapa sejarawannya, dan di mana dia bekerja ikut mempengaruhi tulisannya.
Latief Hendraningrat Pengibar Bendera Pusaka
Abdul Latief Hendraningrat (Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas). adalah seorang prajurit PETA (Pembela Tanah air)
berpangkat Cudanco. Dia adalah pengerek bendera Sang Saka Merah Putih tanggal
17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56. Untuk ini Latif didampingi Suhud
seorang anggota Pelopor. Pasukan PETA dimana Latief berada, bermarkas di bekas
markas pasukan kavaleri Belanda di Kampung Jaga Monyet, yang kini bernama jalan
Suryopranoto di depan Harmoni. Setelah bergabung dengan TNI, karier beliau
menanjak terus sampai berpangkat Mayor Jenderal, bahkan sempat menjadi Rektor
IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) pada tahun 1964-1965.
Telah terbit buku tentang Sang Pengibar Bendera Pusaka
17 Agustus 1945 yang ditulis olen Dr Nidjo Sandjojo M.Sc yang tidak lain adalah
menantu termuda dari Pak latief Hendraningrat. Diterbitkan oleh PT Pusataka
Sinar harapan.
Subscribe to:
Posts (Atom)