Hari-hari
sekitar proklamasi Sumber:
Majalah TEMPO 16 Agustus 1975
Tangal 3 Oktober 1943 oleh penguasa Jepang
di Jawa dibentuklah Tentara Pembela Tanah Air PETA). Pasal 1 Maklumat pembentukan
PETA itu berbunyi, (aslinya ejaan doeloe). "Mengingat semangat jang
berkobar-kobar oentoek memenuhi keinginan jang sangat besar dari 50 djoeta
pendoedoek di djawa jang hendak membela tanah airnja dengan tenaga sendiri maka
Bala tentara Dai Nippon membentoek Tentara Pembela Tanah Air, jakni pasoekan
soekarela oentoek membela tanah Djwa, dengan pendoedok asli ialah berdiri atas
dasar tjita-tjita membela Asia Timoer Raja bersama-sama". PETA dalam
bahasa Jepang disebut Booei Giyuugun. Di Jakarta terdapat satu Daidan (batalyon
dan di Purwakarta satu Daidan masing-masing di bawah Daidancoo Dan Yon) Kasman
Singodimedjo dan R. Soerjodipoetro. Daidan membawahi Honbu (staf batalyon) dan
4 cuudan (kompi), sedang cuudan terdiri atas 3 syoodan (peleton) yang kemudian
masing-masing terdiri atas 4 bundan (regu). Sejak awal 1945 Daidan Jakarta
diberi tugas memberikan latihan-latihan militer diluar ketenteraan. Menurut
Latief Hendraningrat yang waktu itu salah satu komandan kompi, mereka juga
sempat nemberikan latihan singkat kepada para anggota Chuuo Sangi In yang
dipimpin Bung Karno. Team Pelatih itu, diresmikan oleh Daidanchoo (Dan Yon)
Kasman Singodimedjo terdiri atas 3 orang yaitu Latief sendiri (Dan kie) sebagai
Ketua dan Mufreini serta Singgih masing-masing Dan Ton sebagai anggota. Dari
Team ini Singgih kemudian yang melakukan "penculikan" terhadap
Soekarno Hatta dan melarikannya ke Rengasdengklok � tentara Latief
Hendraningrat kenudian yang mendampingi Bung Karno membacakan teks Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agusns 1945. Atas perm intaan TEMPO Latief Hendraningrat Brigjen
Pensiunan, AD dan kini aktf dalam usaha swasta menuliskan pengalamannyaa
sekitar peristiwa bersejarah ini dan setelah kami lakukan editing seperlunya
bahkan di bawah ini: BERITA "Jepang akan menyerah" disampaikan kepada
kami oleh seorang pemuda bernama Yusuf Kunto (tidak ada hubungan dengan Suroto
Kunto!) seorang yang militan yang kami kenal di kamp interniran Belanda di
garut (1942). Perlu kami tambahkan, ketika Perang Pasifik pecah (Desember 1941)
kami ditawan dan diinternir oleh Pemerintah Hindia Belanda. Alasannya mungkin
karena kami pernah bekerja di kantor Konsul Jenderal Jepang di Jakarta sebagai
halftimer (1938), sebab belum pernah diadakan pemeriksaan (penyidikan) terhadap
diri kami! Dalam kamp tersebut diinternir pula semua orang-orang Jepang yang
pada saat pecahnya perang itu masih berada di Indonesia. Selain itu juga
tokoh-tokoh politik Indonesia seperti Sukarni, Pandu Kartawiguna, Adam Malik
dan lain-lain. Dalam kamp ini kami berkenalan dengan Jusuf Kunto yang telah
membawa berita itu pada kami tanggal 13 Agustus 1945 pada sore hari setelah
kami kembali di suatu latihan dengan kompi kami. Suatu surprise juga bagi kami
menjumpai saudara Kunto tersebut setelah beberapa tahun tidak menjumpainya.
Peranan apa yang telah dipegangnya di kalangan pemuda kamipun kurang
mengetahui. Ia muncul secara tiba-tiba dan melaporkan tentang Situasi di waktu
itu. Pada waktu itu kami secara kebetulan bertugas piket yang disebut
"syuuban cuudancoo" atau "syuuban sirei" Dan secara
kebetulan pula kami sedang menjabat sebagai Pjs Daidancoo (daidancoo yoin) oleh
karena Daidancoo Kasman sedang dipanggil ke Bandung oleh Panglima Komando
Tentara Jawa Bagian Barat (Riyoodancoo) di mana semua daidancoo di dalam wilayah
komando itu dikumpulkan (daidancoo syuugo). Jadi kami pada waktu itu mempunyai
sekedar wewenang ! "Paksaan": Apa Maksudnya? Saudara Kunto juga
melaporkan bahwa utusan-utusan dari Pemuda sedang menghadap Pemimpin-pemimpin
Soekarno-Hatta untuk meyakinkan kedua tokoh itu tentang pentingnya segera
mengadakan Proklamasi Kemerdekaan mumpung Jepang masih menderita suatu knock
down berhubung kekalahan perangnya. Ia menyanggupi kami untuk memberi la-poran
setiap hari tentang perkembangan situasi. Pada tanggal 14 Agustus 1945 saudara
Kunto kembali melaporkan pada kami bahwa usaha Pemuda untuk meyakinkan
Soekarno-Hatta itu telah gagaL Bahwa kegelisahan di kalangan Pemuda dan
Mahasiswa telah memuncak. Di Menteng 31 (Gedung Juang) kini sedang diadakan
rapat-rapat dengan perdebatan yang sengit-sengit. Ia tidak mengungkapkan lebih
lanJut tentang perdebatan itu. Ia hanya mengatakan bahwa para utusan Pemuda
akan melanjutkan usahanya untuk menghadap Soekarno-Hatta sekali lagi agar
Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan "sekarang juga" Tiada orang lain
yang dapat memproklamir sesuatu kecuali Soekarno-Hatta yang dikenal dan ditaati
oleh rakyat. Apabila usaha ini gagal maka Pemuda akan bertindak "dengan
paksaan". Saudara Kunto sendiri belum mengetahui dengan jelas apa yang
dimaksud dengan 'paksaan" itu. Kebetulan bulan Agustus 1945 itu jatuh pada
bulan Ramadhan. Para prajurit bangun dan kami bersama-sama bersaur Pada waktu
itu fikiran kami telah tenang kembali. Tekad sudah menjadi bulat. Sekalipun
demikian, kami anggap belum waktunya untuk mengungkapkan keadaan tersebut pada
anak-buah kami sebelum kami mempunyai gambaran yang jelas tentang situasi dan
maksud para Pemuda & Mahasiswa! Lagi pula kami harus tetap berhati-hati
agar gerak-gerik kami jangan sampai mencurigakan fihak Jepang, yaitu para
sidookan. Sebab, semua perbuatan atau tindakan yang akan kami adakan untuk
membantu gerakan tersebut itu adalah bertentangan dengan hukum-hukum yang saat
itu sedang berlaku, bahkan bagi kami bertentangan dengan hukum militer!
Keesokan harinya, tanggal 15 Agustus ]945, kami cek laporan yang telah kami
terima dari saudara J. Kunto itu pada Eisei Cuudancoo Dr Soetjipto yang
mempunyai hubungan yang luas dan erat dengan para Pemuda & Mahasiswa. Kami
kenal baik dengan Dr Soetjipto semenjak sekolah A.M.S. di Malang, kemudian
ketika ia mahasiswa pada Fakultas Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) di
Jakarta dan di P.P.P.I. Dengan Dr Soetjipto itu kami dapat bertukar fikiran
secara cofidential, walaupun tidak banyak atau lama, mengingat bahwa kami
berdua diawasi oleh Jepang. Uraian Dr Soetjipto dalam garis-garis besarnya
adalah Sama dengan laporan saudara J. Kunto sehingga menambah rasa keyakinan
pada diri kami. Kami telah meminta pula padanya untuk memberi laporan tentang
perkembngan situasi di luar daidan. Sore harinya kami menunggu kedatangan
saudara J. Kunto yang tidak muncul-muncul. Kami mulai gelisah lagi, sebab kami
ingin merencanakan sesuatu apabila kami telah menerima laporan terakhir dari
perkembangan situasi ini. Tapi saudara Kunto tak kunjung datang. Maka muncul
pada malam hari itu (jam tidak teringat) secara mendadak Syoodancoo Singgih
yang memberitahukan kepada kami bahwa kehadirannya diperlukan oleh MENTENG 31
(Gedung Juang sekarang), malam ini juga! Hati kami merasa lega campur bana
bahwa Syoodancoo Singgih betul-betul dapat diikut sertakan dalam gerakan ini.
Rupa-rupanya para Pemuda dan Mahasiswa menaruh kepercayaan penuh padanya,
berkat latihan-latihan di daidan itu! Tapi tetap kami berhati-hati dan menanya
padanya siapa-siapa saja yang memerlukan kehadirannya itu. Ia sebut beberapa
nama antara lain nama-nama Sukarni, Pandu Kartawiguna, Chaerul Saleh, Adam
Malik, dan sebagainya. Nama-nama itu sudah merupakan jaminan cukup bagi kami
untuk mengizinkannya berangkat ke Menteng 31. Sebab orang-orang yang telah
disebutnya itu telah lama kami kenal semenjak zaman Hindia Belanda sebagai
pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan. Bahkan Sukarni dan Pandu Kartawiguna sendiri
pernah menjadi murid kami di sekolah guru tingkat atas dari Perguruan Rakyat
(1934). Kepada Syoodancoo Singgih itu kami berikan semua fasilitas yang
diperlukannya dalam menunaikan tugasnya yang telah diminta padanya oleh Pemuda
& Mahasiswa. Pertama: mobil dinas daidancoo, suatu mobil militer yang
menurut dia perlu untuk rapat-rapat!? Ternyata, menurut laporannya sendiri,
mobil itu digunakan untuk "mengambil" Soekarno-Hatta dari rumah
masing-masing, kasarnya "menculik"! Kemudian dipinjamnya lagi sebuah
truck (power) untuk memindahkan para beliau itu dari sedan,ke power tersebut
untuk dibawa terus ke Rengasdengklok. Pemindahan itu terjadi di dekat rumah
penjara Cipinang, Jatinegara. Selain itu juga satu pistol ekstra, satu karung
beras dan lain-lain bahan makanan serta pakaian seragam hijau untuk para beliau
guna menyamar apabila di perjalanan terjadi pemeriksaan kendaraan oleh fihak
Jepang. Di Rengasdengklok itu terdapat satu cuudan (kompi) dari daidan
Purwakarta yang dipimpin oleh Cuudancoo Soebeno. Tempat ini telah dipilih
Singgih dengan perhitungan bahwa tiada seorang resmipun yang akan mengetahuinya.
Kedatangannya di situ dengan membawa kedua Pemimpin beserta Bu Fatmawati,
Guntur dan Sukarni, menurut laporan telah menggerakkan masyarakat
Rengasdengklok secara keseluruhan. Tentera-Pamong Praja-Polisi dan Rakyat
menggabung menjadi satu, menahan beberapa orang Jepang yang bertugas di sana,
termasuk sidookan kasikan cuudan, dan mengibarkan bendera merah-putih di rumah
masing-masing dan di kantor-kantor Pemerintah. Kekuasaan penuh dari daerah itu
berada di tangan Indonesia (100%). Pun bapak Soetardjo, yang waktu itu menjabat
sebagai Residen Jakarta (Jakarta Syuucoo-kan) yang secara kebetulan sedang
memeriksa pembelian padi di daerah itu, turut ditahan. Jadi, secara de facto,
daerah (kecamatan) Rengasdengklok itu adalah daerah pertama yang "bebas
merdeka" ! Seperti KNIL Dulu Di dalam sebuah rumah di kota kecil ini,
dengan diliputi ketegangan penuh, maka Syoodancoo Singgih berhasil mendapatkan
kesanggupan dari Bung Karno untuk segera memproklamasikan Kemerdekaan
Indonesia! Ini dicapainya pada tanggal 16 Agustus 1945. Tanggal 16 Agustus 1945
mendapatkan seluruh masyarakat Jakarta dalam keadaan gempar setelah penduduk
bangun tidur dan mendengar tentang kejadian itu. Demikian juga kalangan
Pemerintah Militer Jepang. Kami di daidan telah siap-siap untuk menanggung
segala akibat daripada perbuatan kami itu. Walaupun sudah lebih banyak lagi
anak buah karni yang mengetahui tentang gerakan itu tetapi tampaknya, para
sidookan Jepang tidak mengetahui apa-apa. Sebab mereka sedang tidur nyenyak
ketika kami tadi malam mengeluarkan power dan sebagainya itu karena jam sudah
liwat tengah malam. Tetapi kami ingin mengetahui rencana apa selanjutnya akan
dibuat oleh fihak Pemuda/Mahasiswa. Untuk itu kami mengadakan latihan jalan
jauh (koogun), yaitu berjalan dengan kompi dari asrama di Jagamonyet ke arah
Kebon Binatang melalui Menteng 31. Harapan kami saat itu ialah agar dapat
menjumpai salah seorang pimpinan Pemuda yang dapat dihubungi. Tapi, sayang
beribu sayang, sidookan kasikan Jepang juga turut serta sehingga kami merasa
kurang bebas. Gedung Menteng 31 tampaknya sepi-sepi saja. Ada beberapa pemuda
yang berkeliaran di halaman depan tapi kami tidak mengenal mereka. Kami
berjalan terus sampai Kebon Binatang dan masuk dengan memberi kesempatan pada
anak buah untuk berjalan-jalan secara bebas. Untung sidookan ikut dengan
mereka. Rupa-rupanya ia ingin pula melihat binatang-binatang Indonesia.
Tiba-tiba kami melihat saudara Chaerul Saleh di belakang pagar kawat dari
pekarangan tengah Kebon Binatang itu: Ia mengangguk-angguk meimanggil kami.
Kami bertanya langsung kepadanya tentang Bung Karno dan Bung Hatta dan
sebab-sebabnya mereka itu dibawa ke luar kota. Menurut saudara Chaerul
maksudnya ialah "untuk menjauhkan mereka dari Gunseikan" (Kepala
Pemerintahan Militer Jepang). "Sebab, katanya selanjutnya, di Jakarta
mereka itu terlampau terpengaruh oleh Gunseikan sehingga ada baiknya jika
mereka itu dijauhkan dari pengaruh ini agar cita-cita kita lekas
tercapai". Ia juga menanyakan pada kami bagaimana rencana kita
selanjutnya. Kami agak heran sebab kami mengira bahwa Pemuda sudah punya
rencana yang matang! Saudara Chaerul Juga menambah bahwa direncanakan agar
alat-alat radio dapat diangkut ke luar kota, ke Rengasdengklok, sehingga
Proklamasi Kemerdekaan dapat diucapkan dari situ. Kemudian ia bertanya
"cara bagaimana kita dapat menguasai kota Jakarta?" Jawab kami:
"Salah satu jalan ialah melucuti Jepang terlebih dulu. Tapi hal itu tidak
dapat PETA kerjakan sendiri. Di daidan hanya terdapat 2 kompi, sebab 2 kompi
lainnya sedang bertugas ke luar kota dan tidak dapat dihubungi per telepon.
Selain itu kita memerlukan massa, yaitu massa Barisan Pelopor (dengan bambu
runcing) dan para Pemuda & Mahasiswa. Kemudian kita sangat memedukan
bantuan dari HEIHO supaya mereka memberontak dari dalam" kata kami tanpa
menyadari bahwa sesungguhnya Jepang di Jakarta itu sangat kuat. Heiho itu
adalah tentera pembantu tentera Jepang yang terdiri dari orangrang Indonesia
yang dipersiapkan seperti tentera Jepang dan yang tinggal se-asrama dengan
tentera Jepang. Semacam KNIL dulu. Ketika kami berdua berbicara itu kami belum
mengetahui kalau Syoodancoo Singgih telah berhasil. Karena laporan belum masuk.
Usaha kami ialah pertama-tama menghbungi Heiho di Rumah Sakit Gatot Subroto
(RSPAD) sekarang ini tapi di gedung tempat bersalin. Tapi usaha itu tidak
berhasil. Memang sukar untuk menghubungi mereka secara diam-diam. Sampai jauh
sore belum ada satupun yang dapat dihubungi. Untuk usaha-usaha seperti itu
memang diperlukan waktu yang lama. Harus diakui sekarang bahwa kami dulu itu
sama sekali belum berpengelaman apa-apa, terlampau naif seperti kanak-kanak.
Fikiran tidak berjalan wajar, hanya emosi, terdorong oleh hasrat besu untuk
lekas merdeka! Ditambah lagi bahwa Pimpinan Barisan Pelopor tidak bersedia
membantu suatu "rencana yang gegabah" (roekeloos), tanpa perhitungan,
yang hanya dapat membunuh Pemuda dan Mahasiswa saja, yang justru diperlukan
sebagai pemimpin-pemimpin Negara Indonesia yang merdeka di kemudian hari!
Berhubung faktor-faktor yang sangat tidak menguntungkan itu maka rencana untuk
menyerbu dan melucuti Jepang kami batalkan! Dalam pada itu kami terpikir kedua
Pemimpin-pemimpin Bangsa yang berada di Rengasdengklok itu. Kami kuatir akan
keselamatan mereka juga. Kami merasa turut bertanggungjawab. Maka kami bertekad
untuk meninggalkan asrama dan menuju ke tempat tersebut. Bersama-sama dengan Dr
Moewardi dengan berkendaraan mobil kami pergi tanpa memberi tahukan siapa-siapa
kecuali Sikihancoo kami, Sdr Soekardi (= bundancoo yang tertua dalam staf kami)
yang telah kami beri instruksi selama kami tidak berada di daidan. Setibanya
kami berdua di Rengasdengklok itu maka kami dapatkan markas cuudan
"kosong". Artinya Bung Karno dan Bung Hatta tiada lagi di tempat.
Menurut keterangan Cuudancoo Soebeno kedua Pemimpin itu telah dijemput oeh Mr
Soebardjo yang telah "menjamin" bahwa Proklamasi bisa diadakan
keesokan harinya (tanggal 17 Agustus 1945) tapi Bung Karno dan Bung Hatta harus
segera kembali untuk menyusun teksnya bersama-sama pemimpin-pemimpin lain. Atas
dasar jaminan itu maka Cuudancoo Soebeno melepaskan mereka. Kami segera kembali
ke Jakarta dan setelah tanya sini tanya sana dapat mengetahui bahwa kedua
Pemimpin itu berada di Jalan Imam Bonjol sekarang, di rumah Laksamana Maeda
(rumah Duta Besar Inggeris). Kami tidak masuk hanya lalu saja dan segera menuju
ke asrama untuk mempersiapkan pengamanan Proklamasi itu. Baru malam itu tanggal
16 ke 17 Agustus 1945 kami memberi uraian tentang segala kejadian pada
anak-buah kami dan memberi. Instruksi tentang segala persiapan yang perlu
dilaksanakan untuk esok harinya itu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 kompi kami
telah memulai persiapannya setelah appel pagi dan taiso sebagaimana diadakan
setiap hari. Pada malam hari sebelumnya mereka berhasil membongkar (secara
halus) pintu dari gudang mesiu (kunci dipegang oleh sidookan) dan peluru-peluru
tajam yang diperlukan telah � diambil dari gudang itu. Semua
berpakaian/berseragam untuk bertempur (battle dress). Dua power telah
dipersiapkan secara diam-diam. Hal itu telah menarik perhatian sidookan dan ia
menanya pada kami latihan apa yang akan kami selenggarakan untuk hari itu.
Sebab, menurut jadwal latihan-latihan dalam bulan Puasa harus
seringan-ringannya. Kami menjelaskan padanya bahwa kami ingin mengadakan
latihan "pertempuran dalam kota" oleh karena dalam hal ini anak buah
belum begitu mahir. Dan bahwa kami akan berangkat terlebih dulu mencari
tempat-tempat di dalam kota yang sekiranya dapat dipergunakan untuk latihan
itu. Selama itu para, prajurit tetap menunggu di asrama sambil membersihkan
ruang-ruang tidurnya (naimuhan) sampai kami kembali. "Apakah sidookan juga
mau ikut?" tanya kami. Secara kebetulan sidookan itu baru sembuh dari
sakit malaria yang telah dideritanya 1 bulan lamanya dan badan masih lemah
untuk turut memimpin latihan "perang-perangan" itu. Ia terpaksa
menjawab: "kali ini kami serahkan latihan itu kepada Cuudancoo".
Untung sekali bahwa ia tidak memeriksa alat-alat senjata dan tempat-tempat
pelurunya yang semuanya itu sudah berisi penuh dengan peluru-peluru tajam!
Rencana kami untuk mengamankan jalannya Upacara Proklamasi adalah sangat
sederhana. Maklum hal itu harus diukur dengan pengetahuan militer kami pada
waktu itu. Lagi pula kekuatan senjata kami tidak seberapa jika dibandingkan
dengan senjata tentara Jepang. Karenanya maka kami bermaksud menggunakan massa
Rakyat dari Barisan Pelopor yang bersenjatakan bambu runcing dan golok di
pinggang. Hal itu soal psikologis saja terhadap militer Jepang. Kami dapat
mengetahui bahwa Jepang segan menghadapi massa rakyat, lebih-lebih yang sedang
mengamuk. Karena itu maka taktik kami ialah untuk menghasut massa ini apabila
Jepang datang mengganggu. Hasutan itu akan kami kerjakan dengan letusan-letusan
senapan sebagai tanda untuk memulai. Untuk itu maka satu regu kami tempatkan di
belakang Gedung Proklamasi, bersembunyi di belakang tanggul kereta api.
Dipimpin oleh Sapri Bundancoo. Sedangkan kompi kami tetap di asrama dalam
keadaan siap untuk berangkat dengan power. Menunggu telepon dari kami bila
diperlukan. Dan menyerang dari belakang/samping. Untuk ini kami tugaskan
Syoodancoo Arifin Abdulrachman (Honbu) untuk senantiasa berada dekat pada
telepon. Larangan Jepang Kami meninggalkan asrama kurang lebih pada jam 09.30
(dulu jam 12.00 waktu Tokyo) bersama-sama Dr Soetjipto dengan berkendaraan
mobil daidan (kami saat itu masih tetap Pjs Daidancoo). Setibanya di Jl.
Pegangsaan Timur (sekarang Jl. Proklamasi) maka Daidancoo Abdul Kadir (dari
Sidoobu) datang pada kami (agak tergesa-gesa) dan mengatakan pada kami:
"Mas Latief mari kita jemput Bung Hatta. Saya dengar beliau tidak mau
datang! Dan jika ia tidak datang maka Bung Karno tidak mau
memproklamasikan!" Kami masuk lagi dalam mobil dan bersama-sama Daidancoo
Abdul Kadir menuju ke rumah Bung Hatta. Kami dapatkan beliau sedang menerima
tamu (orang Jepang). Kami masuk dan melaporkan bahwa Bung Hatta sedang ditunggu
kedatangannya di Pegangsaan. Beliau bertanya: Sudah siap? Mari kita
pergi". Kami agak keheranan. Menurut' Daidancoo Abdul Kadir beliau tidak
mau datang. Nyatanya beliau bersedia secara spontan. Bahkan meninggalkan
tamunya. Jadi upacara Proklamasi toh lebih penting bagi beliau! Demikian kami
berpikir. Setiba kami di Gedung Proklamasi bersama-sama Bung Hatta maka segera
kami check keadaan di sekitar gedung itu. Dari jauh kami melihat anak buah
sedang bersiap di belakang tanggul kereta api. Di halaman depan telah berjajar
Barisan Pelopor yang kami taksir 1000 orang lebih. Syoodancoo Arifin telah siap
dekat telepon yang berada di rumah itu. Mikropon telah dipasang, hanya ada satu
di atas standar. Tiang bendera di atas mana bendera Pusaka akan dikibarkan
nanti adalah dari bambu dan katrol biasa sedangkan talinya agak kasar. Para
tamu telah memenuhi ruangan depan (voorgallerij) sedangkan di halaman depan
bawah juga terdapat rombongan-rombongan tamu. Kami tidak begitu memperhatikan
para hadirin itu. Pikiran kami tegang terus. Semenjak tanggal 15 Agustus malam.
Lebih-lebih pada saat upacara hendak dimulai! Pikiran kami tetap tertuju pada
jalan besar dari mana mungkin gangguan akan datang! Kami dari Jakarta Daidan
telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. 'To be or not to be"
(merdeka atau mati) adalah semboyan setiap Prajurit dari Jakarta Daidan pada
waktu itu! Pada kurang lebih jam 10 kami melapor pada Bung Karno bahwa upacara
sudah siap untuk dimluai. Bung Karno dan Bung Hatta berjalan bergandengan ke
ruang depam Kami mendampingi Bung Karno di sebelah kanannya. Ketika sudah dekat
mikropon Bung Hatta berhenti sehingga beliau tidak lagi berdampingan dengan
Bung Karno sedangkan kami masih tetap di sebelah kanan beliau. Ketika Sdr .
Mundur hendak memotret Bung Karno maka kami melangkah ke samping 2 langkah
untuk menghormati beliau. Pikiran kami tetap tegang dan mata tetap tertuju ke
jalan besar. Setelah Bung Karno membaca teks Proklamasi menyusul acara
pengibaran Sang Dwiwarna. Dari halaman di bawah datang berbaris seorang pemuda
dan seorang puteri membawa baki dengan bendera Pusaka di atasnya. Kami mengenal
pemuda itu: Sdr Suhud tapi tidak kenal puteri di sebelahnya. Dengan rasa heran
kami melihat kedua pembawa bendera itu menuju langsung ke ternpat kami berdiri
dan tanpa kami sadari baki telah disodorkan pada kami! Kami heran karena kami
berada di situ bukan untuk urusan protokol melainkan untuk mendampingi Bung
Karno dan Bung Hatta. Untuk urusan pengamanan upacara! Tapi secepat kilat pula
dapat kami pahami bahwa dalam suatu gerakan politik seperti Proklamasi ini si
pengerek bendera dapat dianggap sebagai "biang keladi"-nya dengan
segala risiko yang bersangkutan dengan itu. Maka untuk menanggung risiko itu kami
bersedia. Maka bendera kami terima dan kami bawa ke tiang bambu itu dengan
dibantu oleh seorang pemuda lain yang bercelana pendek, jika tak salah Sdr
Suharsono (sekarang pilot Garuda). Bendera dikerek secara perlahan-lahan sesuai
dengan panjangnya bambu itu diiringi nyanyian "Indonesia Raya" oleh
para hadirin. Selesai Upacara Proklamasi dan Pengerekan Bendera maka kedua
Pemimpin Bangsa menuju kembali keruang belakang. Upacara telah selesai dengan
selamat. Kemudian Bapak Suwirjo (saat itu Walikota Jakarta) membaca nama-nama
para Anggota Komite Nasional Indonesia (K.N.I.) di Pusat di mana-mana mendapat
kehormatan untuk turut duduk pula sebagai nggota. Baru setelah upacara itu
selesai muncul seorang Jepang, menurut keterangan utusan dari Gunseikan,
disertai orang Jepang lain sebagai penterjemah. Menurut keterangan ia datang
untuk menyampaikan "larangan dari Pemerintah Jepang untuk mengadakan
aktifitas politik" tapi oleh Bung Karno dijawab bahwa Kemerdekaan
Indonesia telah diproklamir! Jika memang demikian halnya maka analisa kami,
golongan muda, sudah betul yaitu "seandainya Proklamasi itu terlambat
diadakan maka Bangsa Indonesia dan sejarahnya bisa lain!" Jakarta, Agustus
1975.
1 comment:
Majen DIDI KARTASASMITA adalah salah satu orang Indoneia yg berpengalaman perang melawan Jepang di Ambon( bersama Kapt.J.Kaseger)Hanya mereka yg berpengalaman perang /nyatakonkrit. Didi Kartasasmita MENOLAK terlibat dalam pembentukan PETA yg bermaskdud membela kepentingan Jepang tetapi beliau AKTIF dalam pembemtukan BKR sampai ke TNI.
Post a Comment