Ketika cucu Abdul Latief Hendradiningrat, pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945, Arif Wicaksono Hendradiningrat mengajak saya agar sebagai sejarawan universitas sekelas UI seharusnya tidak perlu meragukan lagi kebenaran fakta sejarah mengenai pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945, yaitu kakeknya dan Soehoed., saya hanya terdiam lama. Apalagi ditambah kalimat “Keluarga kami, sudah lama bersabar atas pembohongan publik oleh ILYAS KARIM. Puncaknya yaitu ketika diadakan acara oleh stasiun TVONE di Gedung Juang 31, padahal disitu ada ruangan yang memuat siapa pelaku dan saksi sejarah mengenai Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945.”
Mengapa saya terdiam lama? Karena saya mengalami hal-hal sebagai berikut:
- Saya mendengar sendiri dari Burhanuddin Muhammad Diah (B.M.Diah) ketika menulis buku beliau: Butir-Butir Padi B.M.Diah (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), betapa geramnya beliau membaca Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, yang menganggap yang merumuskan materi Pancasila ialah Mr.Muh.Yamin. Buku ini bukan main-main diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 1975 dalam enam jilid dan penulisnya Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo, Dr.Marwati Djoened Poesponegoro dan Dr.Nugroho Notosusanto. Bahkan menurut berita, Presiden Soeharto waktu itu memerintahkan agar buku tersebut dipergunakan di sekolah-sekolah pemerintah. Menurut B.M.Diah sejarawan-sejarawan Indonesia masih dipengaruhi sejarawan Barat atau didominasi pandangan sejarawan Barat, karena menurut F.A. Sutjipto dalam kata pengantarnya pada jilid IV, bahwa sebagian besar sumber adalah sumber sekunder walaupun di sana sini juga dilakukan sumber primer. Sehingga saya menganggap ini sebuah kekeliruan besar, karena kelihatannya sumber primer B.M.Diah tidak terlalu diperhitungkan dalam menyusun Buku Sejarah Nasional ini, sementara sumber primernya masih ada (hidup).
- Tentang buku yang saya tulis sendiri: Butir-butir Padi B.M.Diah (1992), meski Toeti Kakiailatu menuliskannya kembali dengan judul B.M.Diah Wartawan Serba Bisa tahun 1997, sumber primer sama yaitu B.M.Diah tetapi situasi dan kondisi berbeda. Hal ini terlihat dari komentar Wartawan Senior H.Rosihan Anwar ketika meresensi buku Toeti Kakiailatu di dalam Majalah Ggatra, 13 September 1997 halaman 130 bahwa: “Toeti Kaiailatu, mantan wartawan Tempo, menulis biografi B.M.Diah Wartawan Serba Bisa (1997).Lima tahun yang lalu B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman, buku yang menguraikan riwayat hidup Diah, sebagaimana diungkapkan kepada Dasman Djamaluddin. Maka, kedua buku itu mengandung bahan yang kurang lebih sama.” Di bahagian lain komentarnya Rosihan Anwar mengatakan:.....”Kendati dalam buku ini saya mendeteksi berbagai ketidakcermatan dalam keterangan Diah—yang diwawancarai oleh Toeti ketika mulai sakit-sakitan dan ingatannya tidak lagi begitu sempurna.” Jadi sumber primer yang sama, bisa juga mempengaruhi informasi ketika sumber itu sudah sakit-sakitan. Saya mewawancarai B.M.Diah ketika usianya 75 tahun dan masih sehat, baik lahir maupun bathin.
- Ketika saya berkunjung ke rumah H.Asnawi Mangku Alam, mantan Gubernur Sumatera Selatan, hari Minggu, 12 Januari 1997 beliau menunjukkan buku nya atas gugatan buku H.Alamsyah Ratu Perwiranegara berjudul: “ Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu” yang ditulisnya tahun 1996 dan telah diberikannya kepada Alamsjah tetapi tidak memperoleh jawaban. Barulah setelah saya menulis di surat pembaca di Tabloid Swadesi edisi No.1483 Tahun 1997, Alamsjah menjawab di Majalah Tajuk No.9 Tahun I,Maret 1997 halaman 54 – 57. Saya hanya ingin menyatakan bahwa di masa yang sama di mana nara sumber primernya ada, masih ada perbedaaan dalam menuliskan sejarah. Apalagi apabila sumber primernya tidak ada? Itulah sebabnya saya menahan diri dulu untuk menyatakan setuju dan percaya karena masih ada orang lain mengklaim dialah yang mengibarkan bendera pusaka tanggal 17 Agustus 1945. Jadi saya memberi kesempatan kepada masing-masing pihak, sekarang yang saya tahu masih tiga orang, membuktikan sungguh-sungguh data siapa yang otentik, shahih dan dapat dipercaya. Ya, mau tidak mau, ketiganya harus duduk di satu meja. Jadi melalui proses yang panjang, apalagi kalau membuktikan sumber sekunder, ya ingat lagi kata Pak Asvi, siapa sejarawannya, dan di mana dia bekerja ikut mempengaruhi tulisannya.
2 comments:
EMAIL LETJEN (PURN) RAIS ABIN DARI MABES AD DINAS SEJARAH
Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Letjen (Purn) Rais Abin, mantan Panglima Pasukan PBB di Timur Tengah yang sekarang menjadi Ketua Umum Legiun Veteran RI (LVRI). Beliau berkenan mengirimkan foto copy dari Markas Besar Angkatan Darat Dinas Sejarah yang saya terima hari ini. Intinya mengatakan bahwa tidak terdapat nama Ilyas Karim menurut penelitian Dinas Sejarah Mabes AD sewaktu mengibarkan bendera pusaka 17 Agustus 1945. Saya setuju dan saya dukung.
Pola dalam mencari kebenaran biasanya duduk di satu meja. Setiap orang mengklaim bahwa dia adalah pengibar bendera, maka dia harus mempertanggungjawabkannya. Ilyas Karim ingin berdialog, dan sebentar lagi saya menerima buku dari seorang teman tentang Supriyadi. Pengantar katanya dari Asvi Warman Adam. Tapi saya belum baca karena baru dikirim. Jadi setiap orang punya hak untuk membuktikan kebenarannya. Saya setuju saja ketiga pihak mengajukan bukti-bukti. Sekali lagi saya katakan, jika berbicara sumber sekunder maka kita harus hati-hati. Jangan sampai terjadi kesalahan sejarah ketika membuat Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, yang menganggap yang merumuskan materi Pancasila ialah Mr.Muh Yamin. Ini keliru besar. Yang benar adalah Ir.Soekarno. Inilah yang menyebabkan B.M.Diah menggugat.Pendapat B.M.Diah ini didukung AB.Koesoema dari Fakultas Hukum UI.
Buku ini bukan main-main diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 1975 dalam enam jilid dan penulisnya Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo, Dr.Marwati Djoened Poesponegoro dan Dr.Nugroho Notosusanto. Bahkan menurut berita, Presiden Soeharto waktu itu memerintahkan agar buku tersebut dipergunakan di sekolah-sekolah pemerintah. B.M.Diah geram dan menganggap sejarawan-sejarawan Indonesia masih dipengaruhi sejarawan Barat atau didominasi pandangan sejarawan Barat, karena masih memakai sumber sekunder, sementara beliau (B.M.Diah) sebagai sumber primer atau AB.Koesoema pada waktu itu masih hidup.F.A. Sutjipto dalam kata pengantarnya pada jilid IV, memang mengatakan bahwa sebagian besar sumber adalah sumber sekunder walaupun di sana sini juga dilakukan sumber primer. Saya yang pada waktu itu menulis buku beliau (B.M.Diah) melihat betul wajahnya yang geram. Ini sebuah kekeliruan besar, jangan hendaknya terulang lagi.Hanya ini yang saya perhitungkan ketika sudah tiga orang mengklaim pengerek bendera 17 Agustus 1945.
Komentar Suwito Hadiatmojo: Dalam buku "Mencari Supriyadi", Asvi Warman Adam sebagai Penelaah Ahli (maaf buka penulis Pengantar). Dalam buku itu nanti akan ada informasi bahwa Teks Proklamasi TIDAK di tulis di rumah Laksanama Maeda, tapi di rumah Bung Karno. Kalau sel...ama ini dikatakan di rumah Laksamana Maeda, itu katanya merupakan "trik" Bung Karno agar Proklamasi tidak diganggu oleh Jepang. Itu kata Andaryoko (d/a. Supriyadi, Pejuang PETA, yg selama ini dikenal hilang, dan yg belum lama ini, sekitar 2 tahun yg lalu, meinggal dunia di Semarang). Nah sejarah perlu ditelaah, agar kita benar2 membaca HISTORY, bukan HIS STORY - siapapun dia (pelaku sejarah) tidak masalah, yg penting benar2 (mendekati) fakta yg sebenarnya. sHSee More
Tuesday at 4:15am · LikeUnlike · 1 person
Post a Comment