Oleh SK Trimurti (dalam majalah Tempo 21 April 1990, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/04/21/MEM/mbm.19900421.MEM20311.id.html#
PAGI HARI, 17 Agustus 1945. kawan-kawan saya
datang beramai -ramai menjemput. "Yu Tri, ayo ke Pegangsaan Timur 56, ke
rumah Bung Karno untuk mendengarkan proklamasi," kata salah seorang.
"Mengapa tidak ke lapangan Ikada seperti rencana semula?" "Ah,
diam sajalah dulu. Di lapangan Ikada sudah banyak serdadu Jepang dengan senjata
lengkap. Nanti kita ditembaki kalau ke sana." Segera saya berangkat ke
Pegangsaan Timur. Jam 10 pagi, saya lihat sudah banyak orang berkumpul. Saya
tak sempat lagi bertanya-tanya mengapa tempat proklamasi beralih sebab
keterangan kawan-kawan agaknya masuk di akal. Apalagi saya lihat masih banyak
kawan-kawan yang membawa kelewang dan senjata tajam lainnya. Mereka terutama
dari Klender. Segalanya berjalan spontan, tanpa persiapan. Ketika kami
berbaris, sempat juga saya lihat orang. orang Belanda di kiri -kanan rumah Bung
Karno mereka mengintip dari pagar. Mereka menyaksikan tingkah laku kami dengan
sikap melecehkan. Barangkali mereka menyangka kami sedang bermain-main. Mereka
melempar senyum ngenyek, mengejek. Tapi saya tak peduli. Tak lama kemudian Bung
Karno, Zus Fatmawati dan Bung Hatta datang. Pakaian dan wajah mereka sama
lusuhnya karena semalam suntuk tidak tidur. Tiba-tiba, tanpa komando apa-apa,
suasana jadi hening. Dan tibalah saatnya sang Dwiwarna dikerek. Kami saling
memandang. Tak ada persiapan siapa yang harus mengerek bendera itu. "Yu
Tri kerek bendera itu," kawan-kawan mendorong "Ndak mau. Lebih baik
Saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia kan dari Peta," tampik saya. Saya
kira, pejuang seperti Latief lebih layak untuk maju karena dialah yang
bertempur di medan juang. Maka, Latief pun maju mengerek bendera Merah Putih,
didampingi Soehoed Sastrokoesoemo. Saya berjejer dengan Zus Fatmawati, berdiri
di depan bendera, berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta -- yang
berdiri di beranda yang letaknya lebih tinggi dari kami. Hati saya
berdebar-debar ketika melihat sepotong Merah Putih jahitan Zus Fat itu
berkibar. Teks Proklamasi yang diketik oleh suami saya itu akhirnya dibaca oleh
Bung Karno dengan suara rendah, perlahan-lahan, dan khidmat. * * *
Foto: Soehoed Sastrokoesoemo saat menjadi team Bung Karno pada tahun 1961, guna merancang Tugu Nasiona yang kemudian bernama Monumen Nasional (MONAS)
No comments:
Post a Comment