Wednesday, December 23, 2009
kuur house
Sunday, December 20, 2009
gambar penuh misteri

Salju di Den Haag
Friday, December 18, 2009
Matahari terbit tanggal 1 Januari 1950
Proses panjang yang menyita tenaga dan pikiran selesai sudah pada tanggal 27 Desember 1949 yaitu Penyerahan Kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Kalau di Belanda berlangsung di Istana Dam oleh Ratu Belanda Juliana kepada Perdana Menteri RIS Mohamad Hatta, di Jakarta dari Wakil Mahkota Belanda Lovink kepada Sri Sultan Hamengkubuwono. Sementara sejak tanggal 17 Desember 1949 Bung Karno mantan Presiden RI telah dinobatkan (begitu istilahnya waktu itu) di Yogyakarta menjadi Presiden RIS. Publikasi Negara baru ini menjadi perhatian publik. Salah satu yang menarik yang mungkin sudah dipersiapkan lebih dahulu, dibuatlah Almanak atau Penanggalan pertama untuk tahun 1950. Pada gambar awal untuk tanggal 1 Januari 1950, terpampang gambar Presiden RIS Soekarno sedang berpidato. Gambar inbi menjadi simbol kebanggaan tak terhingga yang banyak digantung diruang muka rumah penduduk. Semua bangga kepada Presidennya mungkin pada saat itu. Kemana Republik Indonesia yang sudah diakui kedaulatannya itu ? Republik Indonesia selanjutnya berlaku sebagai Negara Bagian. Untuk ini pada tanggal yang sama dengan pengakuan kedaulatan RI tersebut, diangkatlah Mr Asaat (mantan ketua KNIP) menjadi Pemangku Jabatan Presiden RI. Pelantikan dilakukan oleh Presiden RIS, Ir Soekarno. Sejak itu Sang Merah Putih berkibar tanpa gangguan diseluruh peloksok tanah air, kecuali Irian Barat. Merah Putih resmi di Irian Barat setelah PEPERA tahun 1962. Inilah sejarah......Friday, November 20, 2009
Dukungan masyarakat Belanda pada RI
Pada tahun 1949, ketika para pemimpin Republik Indonesia ditawan di Bangka, tidak sedikit dari masyarakat Belanda yang berdemo kepada pemerintahnya dan menuntut dibebaskannya para tawanan politik tersebut. Tampak pada gambar para anggota Kongres Rakyat Anti Imperialisme sedang bedemo dikota Den Haag. Banyak dari mereka adalah masyarakat Belanda Totok.
Tuesday, November 10, 2009
Negara Pasundan Versi Kartalegawa

Oleh H. ROSIHAN ANWAR Wartawan Senior
SETELAH meliput Konperensi Malino sebagai wartawan Merdeka pertengahan Juli 1946, saat Letnan Gubernur Jenderal Van Mook memulai langkah ke arah pembentukan Negara Indonesia Timur sebagai pengimbang Republik Indonesia, bulan November saya terkejut karena di Bogor didirikan Partai Rakyat
Pasoendan (PRP) yang menentang RI. Penggerak di belakang partai itu ialah eks Bupati Garut Raden Soeria Kartalegawa. Dia tidak suka dengan perjuangan kemerdekaan. Dia ingin kembali ke zaman feodal, tatkala kaum menak punya kedudukan istimewa dan seorang regent (bupati) dilayani oleh rakyat selaku abdi setia. Pada hematnya Urang Sunda juga kepingin balik ke zaman baheula yang bagus. Mereka tidak mau diperintah oleh seorang Gubernur Republik. Urang Sunda masih tergantung pada dalam-dalamnya. Maka tanggal 18 November 1946 dibentuklah PRP. Sedikit sekali orang yang menghadiri rapat pendiriannya. Yang datang pun tidak tahu apa tujuan rapat. Kendati begitu kejadian itu mendapat publisitas dalam mingguan yang diterbitkan oleh Dinas Penerangan Belanda (RVD) Pandji Rakjat yang dipimpin oleh pegawai Nica-Belanda Almasawa, keturunan Arab Palembang.
NEVIS Intel Belanda
Saya tidak tahu banyak tentang perkembangan politik di kalangan Urang Sunda waktu itu, sehingga sedikit informasi yang saya peroleh berasal dari penerbitan Nica seperti Pandji Rakjat. Baru kemudian saya baca dalam buku "Nationalism and Revolution in Indonesia" karangan George McTurnan Kahin (1952 - 238) bahwa Kartalegawa mendapat ide untuk membentuk PRP dari eks perwira KNIL Kolonel Santoso, penasehat politik Van Mook. Pelaksanaannya dibantu oleh intel militer Belanda NEVIS. Karena di zaman kolonial Soeria Kartalegawa telah mempunyai riwayat buruk, Van der Plas menamakan fraudeur alias koruptor, maka bukanlah dia yang menjadi ketua PRP. Fungsi ini diberikan kepada Raden Sadikin, pegawai pusat distribusi pangan milik Belanda di Bandung Utara. Sedangkan sebagai sekretaris dan bendahara ditunjuk dua orang yang sebelum perang menjadi sopir dan di zaman Jepang mandur kebun sayuran. Untuk anggota-anggotanya diusahakan "paksaan halus" dan semata-mata di daerah yang dikuasai oleh tentara Belanda. Soeria Kartalegawa dan PRP berusaha mewujudkan sebuah negara Sunda merdeka yang kelak akan jadi bagian dari Negara Indonesia Serikat dan sama sekali terlepas dari Republik Indonesia. Usaha ini mendapat dukungan Residen Belanda di Bandung M. Klaassen yang menulis sebuah laporan tanggal 27 Desember 1946.
Politik adu domba
Residen Preanger itu menulis dalam laporannya bahwa sejak berabad-abad lamanya ada persaingan antara orang-orang Jawa dan Sunda. Ini akibat perbedaan dalam adat, kebiasaan dan mentalitas. Oleh karena Republik dipimpin oleh orang-orang Jawa dan Minangkabau, maka menurut Klaassen PRP itu bisa dipandang sebagai suatu "gerakan rakyat spontan." Residen merasa berbahagia di Priangan timbul suatu gerakan anti-Republik. Banyak pejabat Belanda di Jawa Barat setuju dengan Klaassen. Asisten-Residen M. Hins di Bogor mengatakan gerakan PRP harus didukung betapa pun di antara pimpinannya terdapat orang yang tidak seluruhnya bisa dipercaya, Cuma mengutamakan kepentingan diri sendiri dan bukan karena mencintai tanah Pasundan. Pendapat ini juga disetujui oleh Gubernur Abbenhuis. Akan tetapi Letnan Gubernur Jenderal Van Mook tidak setuju dengan PRP,
partai yang tidak berarti dan dipimpin oleh "tokoh korup oud-regent van Garoet".
Kup di Bogor
Kartalegawa menjadi nekad setelah melihat sikap Van Mook. Dengan bantuan pegawai-pegawai BB Beladna setempat dia mengangkat dirinya sebagai ketua PRP. Pada sebuah pertemuan taggal 4 Mei 1947 di Bandung yang dihadiri oleh 5000 orang dia memproklamasikan Negara Pasundan. Kendati dilarang oleh Van Mook pejabat Belanda setempat toh menyediakan truk-truk untuk mengangkut para pengikut Kartalegawa ke Bogor. Di sini mereka disambut baik oleh Kol. Thompson, komandan tentara Belanda dan Residen Statius Muller. Kemudian diulang lagi upacara proklamasi Negara Pasundan. Karena tindakan tadi pers Republikein menyatakan Soeria Kartalegawa sebagai musuh negara nomor satu dan memberikan kepadanya penamaan: "Soeria-Nica-Legawa". Ketika akhir bulan Mei Presiden Soekarno datang dari Yogya meninjau Jawa Barat ternyata sebagian besar rakyat Sunda menolak Kartalegawa. Bung Karno berpidato di berbagai tempat dalam bahasa Sunda. Rakyat menyambutnya dengan penuh semangat. Dalam rombongan Presiden ikut anggota parlemen Belanda mewakili Partai Buruh Lambertus Nico Palar yang datang meninjau Indonesia. Palar yang kelak jadi wakil Republik di PBB tahun 1948-50 mengatakan Soekarno masih didukung oleh banyak rakyat dan Soeria Kartalegawa dianggap pengkhianat. Tapi ini tidak mencegah Kartalegawa melancarkan gerakan kup di Bogor tanggal 23 Mei dengan menduduki kantor-kantor Republik serta stasiun, kemudian meminta perlindungan Kol. Thompson dan Residen Statius Muller yang diberikan dengan segala senang hati. Di pihak Republik semakin kental perasaan bahwa di balik tindakan gerakan Pasundan bersembunyi tangan Belanda yang jahat dan Soeria Kartalegawa hanyalah alat politik kolonial Belanda
Thursday, November 05, 2009
Hasil K.M.B diterima pleno KNIP

Wednesday, November 04, 2009
Kabinet RIS mulai aktif awal Januari 1950

Tuesday, November 03, 2009
Sejarah panjang Republik ini

Perundingan Indonesia-Belanda pasca perang dunia ke II untuk dekolonisasi, merupakan hal yang baru bagi kedua bangsa, mengingat pada waktu-waktu sebelumnya yang baru dikenal ada adalah bangsa Belanda dan kaum Pribumi (Inlander) penduduk Hindia Belanda. Jadi mana mungkin sesama penduduk dibawak kekuasaan Kerajaan Belanda melakukan perundingan dengan status sama tinggi dan sama rendah ? Tapi Kemerdekaan R I ahirnya terjadi juga. Bagaimana hal itu mungkin ? Bisa saja, kenapa tidak ! Bukankah hak menentukan nasib sendiri sebagaimana tertera dalam naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 sah-sah saja ? (Baca : "Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia") . Dan bukankah hal ini sejalan dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dideklarasikan dalam sidang umum PBB tanggal 10 Desember 1948 bertempat di Palais de Chaillot Paris ? Dimana pada artikel pertamanya jelas dikatakan "All human beings are born free and equal in dignity and rights.". Lebih hebat lagi dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dideklarasikan tahun 1966 dan menjadi amat berpengaruh sejak 23 Maret 1976, dimana pasal pertamanya mengatakan : "All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development". Jadi konperensi Meja Bundar yang berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan 2 November 1949, dilihat dari perspektif sekarang sungguh sangat legal dan didukung dunia ! Tapi proses Demokrasi ini tidak pernah didukung oleh Negara dan Rakyat Indonesia sendiri secara baik dan benar. Contohnya, Indonesia Merdeka ditujukan untuk melindungi setiap individu Warga negara Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia. Ternyata Pemerintah yang sah, dalam hal ini Pemerintahan Negara Republik Indonesia, dari tahun 1945 sampai sekarang belum mampu melaksanakan hal itu dengan baik. Juga, rakyat Indonesia yang mestinya melaksanakan fungsi dan perannya serta bertanggung jawab sebagai warga negara juga belum pas. Masih untuk kepentingan dewe-dewe. Apalagi para wakil rakyatnya. Pegimana nih ? Masalah lain yang belum tuntas adalah, soal penyelesaian Negara Kesatuan. Kalau dilihat, tahun 1945, Self Determination itu tidak lengkap kalau ditentukan sendiri. Selain harus ada pengakuan negara lain, maka saat itu kemerdekaan hanya mungkin melalui penyelesaian bersama dengan negara penjajah. Makanya amat cocok kalau berkali-kali ada perundingan Indonesia-belanda (Hoge Veluwe,Linggajati, Renville, Roem Roijen, meja bundar) . Apalagi dilengkapi ikut sertanya pihak ketiga (Inggris, KTN, UNCI). Namun semua usaha perjuangan diplomasi ini hanya menghasilkan Kemerdekaan Negara Indonesia Serikat. lalu terjadilah sebuah pernyataan sendiri pada tahun 1950 yaitu Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lucunya kaum Federalis diam saja, bahkan ikut-ikutan mendukung NKRI. Terus terang saja Belanda amat kaget pada perubahan ini. Baru belakangan hal ini menimbulkan kekisruhan. Kekuasaan sentral Jakarta tidak dapat mengendalikan perkembangan daerah yang tambah hari, tambah komplek. terjadilah pemberontakan separatis, perlawanan pada pusat, terorisme, tuduhan dominasi jakarta, Pimpinan daerah yang mbalelo dan sebagainya. Kemudian muncullah kebijaksanaan itu yang namanya "Otonomi Daerah". Apakah semua itu cukup ? Ternyata belum. Ditambah semua keadaan yang menyedihkan, mulai dari bencana alam, kebangkrutan ekonomi, birokrasi yang retak, korupsi, kecelakaan sistim pengangkutan didarat, laut dan udara. Sungguh amat miris nasib bangsaku ini !
Tulisan ini bisa dibaca sebagai Original Message From: Husein Rusdhy To: mediacare@yaho... Sent: Thursday, February 01, 2007 9:48 PM Subject: Re: [mediacare] Re: Danny Lim for Wapres RI 2009
Monday, November 02, 2009
Hari ini 60 tahun yang lalu K.M.B berakhir
Tanggal 2 November 1949, sidang formil Konperensi Meja Bundar ditutup secara resmi di Den Haag Negeri Belanda. Tanggal 7 November 1949, Mr Mohamad Roem kembali ke Indonesia karena akan bertugas selaku panitia pemilihan Presiden R.I.S yang akan di jabat oleh Bung Karno. Bung Hatta baru kembali tanggal 14 November 1949 ke tanah air. Namun akan mampir lebih dahulu di Cairo Mesir, Karachi Pakistan dan Singapura. Di Ibu Kota RI Yogyakarta, pada tanggal 18 November 1949, pemerintah Republik Indonesia menerima baik hasil-hasil KMB. Dan pada tanggal 25 November 1949, oleh Perdana Menteri Hatta soal KMB dijelaskan dimuka sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat Republik Indonesia. Hal ini merupakan bagian dari pertanggung jawaban pemerintah RIyang akan dilakukan terhadap sidang pleno KNIP pada permulaan bulan Desember 1949. Dalam pidatonya tersebut berkatalah Perdana Menteri Hatta : “Kami tahu, bahwa ada diantara kita jang akan berkata bahwa hasil K.M.B itu belumlah kemerdekaan 100%. Berbubung dengan itu kami hanja ingin bertanja: apakah jang dikatakan. kemerdekaan 100% ? Indonesia Merdeka bukanlah tudjuan achir bagi kita. Indonesia Merdeka adalah sjarat untuk mentjapai kebahagiaan dan kemakmuran rakjat. Indonesia Merdeka tidak ada gunanja bagi kita, apabila kita tidak sanggup mempergunakannja untuk mentjapai tjita-tjita rakjat kita: hidup bahagia dan makmur dalam pengertian djasmani maupun rohani. Maka dengan tertjapainja penjerahan kedaulatan, perdjuangan belum lagi selesai. Malahan kita baru pada permulaan perdjuangan jang lebih berat dan lebih mulia, jaitu perdjuangan untuk mentjapai kemerdekaan manusia daripada segala tindasan. Kemadjuan jang diperoleh dalam perdjuangan itu tidak sadja bergantung kepada.kemadjuan jang kita peroleh didalam negeri, tetapi djuga dan istimewa terpengaruh oleh keadaan dunia dan masjarakat internasional. Perdjuangan ini menghendaki idealisme jang tetap, pandangan realiteit jang benar dan rasa sabar jang tak kunjung lenjap….”
“Soal Irian mendjadi suatu soal perundingan antara dua Negara jang sama-sama berdaulat jaitu R.I.S dan Keradjaan Belanda. Dengan putusan sematjam ini Indonesia tidak melepaskan tuntutannja pada Irian…”
“Orang jang mempunjai kepertjajaan bahwa waktu ada pada fihak kita, berani menerima pendjelasan soal Irian dimasa datang”.
Wednesday, October 28, 2009
Ruma Maida

Tuesday, October 27, 2009
Erasmus
Tanggal 27 Oktober 1466 adalah hari lahir dari Desiderius Erasmus Tuesday, October 13, 2009
-----------------------------------------------------------------------
Ladies and Gentlemen,
No country can escape its history; nor can it forget its past. But we can draw lessons from both.
The Linggajati agreement, which was signed in 1946 by
The agreement was reached by statesmen of both countries who were prepared to have a genuine meeting of minds, and who would negotiate with respect for each other. Some of the participants paid dearly in both their private and public lives.
The problems of international conferences today are not so much caused by reams of policy papers written to solve the problems; rather, most problems are in the attitudes of in the participants. As someone once remarked, there are more problems sitting around the table than are on the table. In that sense, Linggajati today is highly relevant.
Linggajati is a “bridge to the future.” This is possible only if the pillars supporting the bridge are solid, which they will be if we do not deny our colonial heritage.
After sixty years, both our countries demonstrate that the bridge will be strong. This became clear at the Seminar in Den Haag initiated by His Excellency Mr Habibi, Ambassdor of Indonesia in the
At the seminar, Mrs. Upik Syahrir, the daughter of the great statesman Sutan Syahrir, told the participants about the suffering her father and his family suffered at the hands of their Indonesian compatriots. She described how her father had been imprisoned for years—without due process—in Madioen. In my view, the fact that
Mrs. Syahrir was considerate in not mentioning that in 1933, her father, who had returned from the
She emphasized how her father could forgive those who had harmed him and that he always managed to keep faith in his country,
But Sultan Syahrir was also a father who loved his wife and children. Upik told me that when she, her mother and brother made a long trip to visit her father in Madioen, they were accompanied by an aunt. As they returned to the prison exit her aunt realized that she had forgotten something. So she returned to the cell where she found Syahrir in tears, holding a picture of his children in his hands.
When Mrs. Syahrir mentioned this experience during her talk at the seminar in den Haag, there wasn’t a dry eye in the audience. She received a standing ovation. The Dutch, the Indonesians, the Indo’s all of us recognized ourselves in Mrs. Syahrir. She showed us another lesson—that healing from past wounds is possible when people and countries face their history and past mistakes, and, together, decide to build a new future.
Ladies and gentlemen, since 1945 many things have changed. White is no longer the only beautiful skin colour. Brown, Black, we all count; we all want to be recognized for who we are, and be treated with respect. Now we must put our combined efforts in finding ways to make a multicultural society work for everyone. The reality that inside our hearts we are all alike is increasingly accepted. We have entered a new century. Mankind is confronted with overwhelming challenges. We need each other in order to successfully meet these challenges.
The younger generation needs to know more about the colonial times, the mixed culture of the Dutch–Indonesian mix; the treaty of Linggajati and what that meant for both our peoples; the exodus of the former citizens of the Dutch East Indies; the life of the Indonesian Founding Fathers, and the great Dutch statesmen, Schermerhorn, van Mook Sanders who were present.
Through Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir and the Treaty of Linggajati, our youth in
It is note worthy to mention their success in dealing with some large natural disasters .
Ladies and gentlemen Linggajati : the bridge to the future.
Joty ter Kulve–van Os
Dr. W.A.A. van Os
Foundation ‘’ Vrienden van Linggajati”
October 2009
Friday, October 09, 2009
Obyek Wisata Mercusuar
Tim Ekspedisi Sriwijaya Menemukan Bangkai Kapal di Perairan Pulau Nangka Kompas cetak, Jumat, 9 Oktober 2009. Mercusuar di perairan Bangka Belitung, seperti di Pulau Pelepas, Selat Bangka, merupakan tujuan wisata yang potensial. Tim ekspedisi Sriwijaya mengunjungi mercusuar di Pulau Pelepas yang disebut warga setempat sebagai Pulau Lampu, Kamis (8/10). Mercusuar tersebut dibangun pada zaman kolonial Belanda, tetapi belum diketahui tahun pembuatannya. Di atas pintu masuk ke mercusuar terdapat plakat besi yang menjelaskan mercusuar tersebut dipugar pada tahun 1893. Mercusuar itu memiliki tinggi sekitar 50 meter. Tim ekspedisi Sriwijaya mendatangi mercusuar dengan menumpang kapal nelayan dari Dermaga Tanjung Tedung, Kabupaten Bangka Tengah. Perjalanan dengan menggunakan kapal nelayan memakan waktu sekitar 30 menit. Pulau Pelepas hanya ditunggui empat petugas penjaga mercusuar karena pulau kecil tersebut tidak berpenghuni. Dari puncak mercusuar, pengunjung bisa melihat ke arah Selat Bangka dan memandang Pulau Bangka di kejauhan. Pengunjung juga dapat menikmati pemandangan indah berupa laut berwarna biru kehijauan dan deretan pulau-pulau berpasir putih. Menurut Soleh, petugas penjaga mercusuar, di perairan Bangka Belitung ada tiga mercu- suar yang semuanya dibangun pada zaman Belanda, yaitu di Pulau Lampu, Pulau Pelepas, dan Pulau Dapur. Ketiga mercusuar tersebut ada penjaganya. "Pulau ini hanya ramai saat Lebaran, banyak wisatawan lokal datang ke sini. Akan tetapi, setiap hari banyak nelayan yang beristirahat di sekitar pulau," kata Soleh. Soleh mengungkapkan, mercusuar di Pulau Pelepas sudah 2 tahun memakai tenaga surya untuk menghidupkan lampu suar. Sebelumnya, mercusuar tersebut menggunakan tenaga genset untuk menghidupkan lampu suar. "Jangkauan lampu suar mencapai 16 mil atau sekitar 30 kilometer. Dulu mercusuar sangat bermanfaat untuk membantu pelaut menentukan arah, tetapi sekarang dengan adanya GPS (global positioning system) dan radar, fungsi mercusuar semakin berkurang," kata Soleh. Jalur perdagangan
Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti mengutarakan, banyaknya mercusuar yang dibangun Belanda di perairan Selat Bangka menunjukkan ramainya jalur pelayaran di perairan tersebut. Jalur itu sudah ratusan tahun merupakan jalur pelayaran yang ramai. Pada masa kolonial Belanda, mercusuar dijadikan pedoman para pelaut, sedangkan pada zaman Sriwijaya memakai tanda-tanda alam yang ada di Pulau Bangka, seperti Bukit Menumbing dan tanda-tanda alam, seperti hutan bakau di pantai timur Sumatera. "Belanda masuk ke Bangka Belitung karena timah. Timah memang komoditas yang penting pada abad ke-19 sehingga Belanda mendirikan banyak benteng di pesisir Bangka. Oleh karena transportasi perdagangan timah ramai, Belanda membangun mercusuar," kata Nurhadi. Mengenai potensi mercusuar di Bangka Belitung sebagai wisata arkeologi, Nurhadi menuturkan, wisata arkeologi tidak bisa berdiri sendiri.Bangkai kapal
Tim ekspedisi Sriwijaya berhasil menemukan dan mendokumentasikan bangkai kapal yang tenggelam di perairan Pulau Nangka, Selat Bangka. Kapal yang tenggelam di kedalaman sekitar 17 meter tersebut bisa menjadi obyek wisata yang menarik di Selat Bangka. Kepala Seksi Kerja Sama Direktorat Peninggalan Bawah Air Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Yudi Wahyudin mengungkapkan, kapal itu diduga tenggelam karena terkena torpedo. Namun, karena hambatan arus yang kuat dan rendahnya jarak pandang (visibilitas) di dalam laut yang hanya 1 meter, tim ekspedisi belum berhasil mengidentifikasi bangkai kapal tersebut secara lengkap. Menurut Yudi, koordinat bangkai kapal tersebut adalah 02 derajat 22’45.6" Lintang Selatan dan 105 derajat 43’31.5" Bujur Timur. Kapal memiliki panjang 70 meter. Kondisi bangkai kapal telah ditutupi karang dan menjadi rumah yang disukai ikan-ikan. "Kondisi bangkai kapal relatif utuh, tidak banyak bagian kapal yang hilang. Menurut para nelayan, jarang ada orang yang mengambil besi tua dari bangkai kapal tersebut. Para nelayan hanya mengambil ikan di sekitar lokasi," ujarnya. (WAD)
Wednesday, October 07, 2009
Pada hari Rabu 7 Oktober 2009 saya ikut tour di Binenhof. Tiba-tiba saya begitu emosional. Dalam hati saya, bukan main 60 th yang lalu (Agustus-November 1949) para anggota delegasi Indonesia berada disini untuk ikut dalam Ronde Tafel Conferentie (gambar atas). Didalam gedung ini ada Ridderzaal. Ternyata ruangan bergengsi Belanda ini tidak terlalu besar dan tidak terlalu megah Biasa-biasa saja. Disebelah kiriri ada sayap Eerste Kamer disebelah kanan (tampak) Tweede Kamer yang sudah diperluas dengan bangunan baru. Meskipun dilarang, saya mencuri membuat foto (tidak terlampir) dalam Ridderzaal. Cuma sayangnya oleh Tour Leader engga disebutkan bahwa disini ada konferensi meja bundar untuk dekolonisasi Indonesioa. Dia menjelaskan panjang lebar soal sejarah mulai dibangun sebagai puri, dipakai Napoleon untuk markas tentara sampai tempat konferensi Ekonomi Eropah tahhun 2008. Itulah sayangnya, sejarah itu kayaknya cuman bangsa Indonesia yang ingat. Apa kita perlu lupa juga ?
Sunday, October 04, 2009
Ridderzaal Den Haag
Ada yang tahu Ridderzaal di Den Haag ? Gedung ini terletak dikomplek parlemen Belanda. Mungkin yang penting pada bulan Agustus-November 1949 disini berlangsung Konperensi Meja Bundar. Bagi saya gedung ini saksi mati perundingan Indonesia-Belanda untuk mengakhiri kolonialisme Belanda. Reportase lainnya menysul. Ada yang bisa menambahkan ?Saturday, October 03, 2009
Para pengunjung Penyerahan Kedaulatan tgl 27 Desember 1949 dimuka Istana Dam
Pada tanggal 27 Desember 1949 bertempat dilapangan dimuka Istana Dam Amsterdam berkumpullah sejumlah besar (mungkin mendekati ribuan ya) anggota masyarakat Indonesia. Meskipun udara dingin bulan Desember amat menyengat, mereka tetap bersabar karena ingin menyaksikan sebuah peristiwa besar, yaitu "Penyerahan Kedaulatan", Sovereniteit Overdracht dari Ratu Belanda Juliana kepada Drs Mohamad Hatta, Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat. Ya, sejak itulah dengan perkataan lain Bangsa Belanda dan juga bangsa-bangsa lainnya diseluruh dunia yang tergabung dalam Perserikatan bangsa-Bangsa mengakui Kedaulatan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, meskipun sejak tanggal tersebut RI merupakan bagian dari Negara Federal RIS. Anehkan uraian sejarah kontemporer ini ? Rasanya tidak, karena itu fakta yang sukar dipungkiri. Hari Minggu besok tanggal 4 Oktober 2009, dalam rangka menghadiri acara Halal-Bihalal dirumah sahabat saya Sdr Tossi, di Amsterdam, saya akan mampir dilapangan ini. Sudah beberapa kali saya datang dilapangan tersebut, dan hati saya selalu terkenang pada peristiwa ini, meskipun pada saat kejadiannya saya hanya memahami melalui foto dan film. Tentu saja saya amat mencintai bangsa dan negara saya yang telah kita perjuangkan bersama. Senang dan susah melalui perjuangan yang berliku dan berat, dan semua itu dihadapi dengan penuh tabah dan penuh tawakal. Terkadang dalam perjuangan diplomasi maupun bertempur terjadi hambatan yang sukar dihindari, dan hilang harapan untuk mencapai titik selesainya dekolonisasi itu. Tahun 1949 merupakan tahun yang amat indah meskipun bersahaja. 60 tahun yang lalu dengan saling pengertian dan kerja sama bangsa Indonesia dan bangsa Belanda, setelah 4 tahun lamanya kedua bangsa saling bermusuhan dan saling bunuh, akhirnya semuanya berjalan dan berakhir dengan baik dan mencapai tujuannya masing-masing. Seyogyanya tanggal 27 Desember 2009 yang akan datang, dapat diperinagti peristiwa diatas dengan hati dan jiwa yang besar. Kita berdoa semoga para pahlawan dikedua bangsa dapat diterima disisiNya sesuai dengan amal bakti dan perbutannya.
Thursday, October 01, 2009
Sjahrir Straat dikota Leiden Belanda
Wednesday, September 16, 2009
Prof Slamet Iman Santoso
Prof. Slamet Iman Santoso 1907-2004Oleh Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono
03 November 2007
Beberapa mahasiswa di tahun 1960-an (ketika saya masih kuliah di Fakultas Psikologi UI) pernah menyebutnya "si Kelinci", bukan karena telinganya atau giginya yang seperti kelinci, melainkan karena bajunya yang selalu putih-putih dan rambutnya yang juga putih, sehingga seperti kelinci putih. Dan memang sejak saya mengenal beliau di tahun 1961 (saya mulai menjadi mahasiswa psikologi UI), sampai terakhir kali saya (sebagai dekan Fakultas Psikologi UI) menengok beliau pada bulan Maret 2003 (dalam rangka Dies Fakultas Psikologi UI ke 50), saya tidak pernah melihat beliau berbusana selain putih. Tetapi buat saya, putih bersih itu bukan hanya menunjukkan keunikkan berbusana (kondangan ke pengantin pun tetap serba putih, bahkan mobilnya pun VW Kodok warna putih), melainkan mencerminkan kebersihan hatinya.
Saya selalu ingat salah satu ajaran beliau, "Jadi orang itu harus pintar dan jujur. Orang pintar tetapi tidak jujur akan jadi penipu; orang jujur yang tidak pintar selalu ditipu; sedangkan orang bodoh dan tidak jujur paling-paling jadi maling ayam yang tertangkap pula".
Ucapan beliau itu bukan seperti ucapan kebanyakan selebritis zaman sekarang (dari artis sampai politisi) yang hanya jadi hiasan bibir belaka. Pak Slamet (demikian para mahasiswa memanggilnya) sendiri adalah seorang yang sungguhsungguh bersahaja dan konsisten, serta konsekuen dengan ucapan-ucapannya. Salah satu konsekuensinya adalah beliau tidak pernah jadi rektor UI (apalagi jadi menteri), walau pun sudah berkali-kali menjabat sebagai Pembantu Rektor I, bahkan pernah menjadi Pejabat Ketua Presidium IKIP Jakarta.
Beliau adalah seorang yang sangat lurus, walau pun jarang sekali beliau mengucapkan "ikhdinaz sirotol mustakim", apalagi menghujani mahasiswanya dengan ayat-ayat yang tidak dimengerti, baik oleh umat maupun oleh pengucapnya sendiri. Tetapi justru hal yang tidak diinginkan Pak Slamet itulah yang sekarang menjadi kenyataan. Negara kita diatur oleh orang-orang pintar yang tidak jujur, sehingga banyak orang yang pandai membaca seribu ayat kitab suci, tampil bersorban dan berjanggut, namun juga melakukan KKN, rebutan jabatan, atau melakukan terorisme atas nama agama.
Di sisi lain, Indonesia sekarang juga dikelola oleh orang-orang bodoh yang tidak jujur. Celakanya, di era reformasi ini mereka tidak cukup puas jadi maling ayam, tetapi mereka bisa juga menduduki kursi legislatif dan eksekutif, sehingga tidak mengherankan jika banyak undang-undang dan peraturan yang justru bisa mengherankan orang-orang yang masih berakal sehat.
Kecemasan Pak Slamet tentang masa depan bangsa sudah timbul sejak ia membacakan pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Psikiatri Fakultas Kedokteran UI di Fakultas Teknik UI, Bandung (sekarang ITB) pada tanggal 3 Maret tahun 1952. Pada waktu itu beliau menyatakan bahwa masalah bangsa yang pada waktu itu sedang mengalami transisi dari era kolonial ke era kemerdekaan, tidak mungkin ditangani oleh para psikiater sendiri. Psikiater hanya bisa mengobati orang-orang dengan gangguan kejiwaan pada masa itu, namun tidak bisa menanganinya sampai tuntas.
Psikiater, misalnya, harus menangani berbagai masalah yang timbul akibat gagalnya sistem pendidikan sehingga banyak murid yang drop out, namun psikiater tidak bisa membantu para guru untuk melaksakana penddikan yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak.
Demikian pula psikiater bisa mengurangi gejala stres pada para pejabat yang pada waktu itu harus mengisi pos-pos penting yang ditinggalkan Belanda, sementara mereka sendiri hanya mantan tentara revolusi yang tidak berpengalaman dan/atau berpendidikan.
Namun psikiatri tidak bisa memecahkan masalah "the right man in the right place". Maka dalam pidatonya itu ia mengusulkan agar di UI ada pendidikan psikologi, yang diawali pada tahun 1953 (dianggap sebagai lahirnya Fakultas Psikologi UI), dengan pembukaan Balai Psikoteknik di UI yang mendidik asisten psikolog. Balai psikoteknik ini kemudian menjadi Jurusan Psikologi dari Fakultas Kedokteran UI, dan pada tahun 1960 menjadi Fakultas Psikologi UI yang berdiri sendiri.
Dalam pidatonya sebagai Doctor HC dalam bidang psikologi, pada tanggal 3 Maret 1973, Prof. Dr (HC) dr. R. Slamet Iman Santoso mengulangi lagi komitmen dan harapannya pada psikologi di Indonesia. Beliau mengatakan daam pidatonya tersebut, "Sekalipun semua usaha sosial di Indonesia mempunyai potensi nation building, namun ilmu Psikologilah yang langsung menghubungi manusia Indonesia, baik yang muda maupun yang tua, baik yang tidak mau berubah, maupun yang saking berubahnya sampai tergelincir. .... Justru dalam negara yang kebudayaan terbentang antara jaman batu di Irian Barat, sampai jaman nuklir dan ruang angkasa, maka peran Psikologi adalah sangat perlu untuk menjadi perantara dalam hal modernisasi".
Sekarang ilmu Psikologi yang pertama sekali dicanangkan oleh pak Slamet itu sudah menjadi ilmu yang mapan dan Alumninya sudah ribuan, tersebar di seluruh Indonesia dan dihasilkan oleh puluhan (konon sudah mencapai angka 70) program studi di berbagai Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta.
Pertanyaan kita sekarang adalah mengapa justru pada saat imu Psikologi di Indonesia sedang menuju puncak, kondisi bangsa malah terpuruk sampai tingkat yang paling rendah (antara lain menjadi salah satu negara terkorup dan paling sadis di dunia, di samping juga paling miskin). Apakah Pak Slamet telah salah ketika ia mulai menggagas tentang perlunya pendidikan psikologi di Indonesia 52 tahun yang lalu? Tentu saja tidak. Di berbagai negara maju, psikologi telah dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan manusia, mulai dari pendidikan, sampai dengan periklanan dan konseling perkawinan. Tetapi orang Indonesia nampaknya memang belum siap betul menerima masukan dari psikologi. Sebagai contoh adalah kebijakan pembangunan bangsa, yang menurut psikologi, sejak Repelita I, seharusnya berfokus pada manusia (pendidikan berkualitas tinggi, gaji dan kesejahteraan yang mencukupi, kesempatan untuk berkembang dan berkarir yang sehat). Dalam praktiknya, dengan alasan keterbatasan dana dan sebagainya, maka pembangunan fisiklah yang diutamakan.
Akhirnya pemerintah Suharto tumbang sebagai sebuah rezim yang paling dinista oleh rakyatnya sendiri. Tetapi rezim-rezim yang berikut (Habibi, Gus Dur sampai Megawati), juga tidak terlalu menganggap penting psikologi, karena asyik dengan permainan mereka masing-masing, mulai politik sampai klenik. Bagaimana dengan era SBY-JK? Walau telah diawali dengan tragedi rebutan kursi di DPR, nasib bangsa kita pasti akan membaik jika saja kita mau melaksanakan amanat Prof. Dr (HC) dr. R. Slamet Iman Santoso: fokus pada pembangunan manusia (baca: pendidikan), jadikan bangsa ini sebagai bangsa yang tidak hanya pandai, tetapi sekaligus juga jujur. Diambil dari
http://sarlito.hyperphp.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=12
Monday, September 07, 2009
Mengapa Soekarno "Ganyang Malaysia" ?

Tuesday, September 01, 2009
Sidang KNIP pertama yang gaduh itu
Badan KNIP sesuai dengan UUD 1945 adalah hanya sekedar pembantu Presiden. Republik Indonesia belum memiliki badan legislatif sebagaimana mestinya negara Demokrasi. Setelah para anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dilantik tanggal 29 Agustus 1945 di gedung kesenian Jakarta. Pada tanggal 16 dan 17 Oktober 1945, sidang KNIP pertama diadakan bertempat di Balai Muslimin jalan Kramat Raya Jakarta. Sidang dipimpin Kasman Singodimedjo. Soekarno tidak hadir, tapi Hatta hadir. Demikian pula sebagaian besar menteri hadir. Sidang hari pertama ini sangat gaduh tidak menentu. Nampaknya para pemuda-mahasiswa yang sudah tidak puas pada golongan tua yang membuat gaduh. Meskipun demikian sidang bisa mengambil keputusan guna meminta hak legislatif kepada presiden sebelum MPR dan DPR terbentuk. Rapat berkali-kali ditunda guna merumuskan apa yang diinginkan para hadirin. Karena keadaan masih tetap kacau, Kasman yang tidak dapat menguasai keadaan menyerahkan pimpinan sidang kepada Adam Malik sebagai wakil ketua III. Menanggapi semua kejadian diatas, akhirnya pada hari itu juga selaku pimpinan pemerintah, Wakil Presiden Mohammad Hatta menerbitkan maklumat no X. Isinya antara lain, kepada KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahkan kekuasaan legislatif, ikut menetapkan Haluan Negara, serta untuk kegiatan sehari-hari ditunjuk sebuah Badan Pekerja (BP) yang bertanggung jawab kepada KNIP. Keesokannya, tanggal 17 Oktober 1945 sidang dilanjutkan, dipimpin Latuharhary. Acaranya, mendengarkan pidato Soekarni. Soekarni mengusulkan agar perjuangan RI menjadi lebih Revolusioner. Katanya: “KNIP harus mempunyai pimpinan yang yang bertanggung jawab dan birokrasi bertele-tele harus dihapuskan dari sistim kerja KNIP”. Sekalipun ada usaha dari Sartono dan Latuharhary untuk membela pimpinan KNIP lama (Kasman) dan membela pemerintah, namun sebagian besar anggota sidang setuju agar pimpinan KNIP lama mengundurkan diri dan diganti oleh orang baru. Saat itulah nama Sjahrir dan Amir Sjarifudin disebut-sebut untuk menjadi pimpinan baru. Mereka dicari utusan KNIP dan diundang datang ke Balai Muslimin serta ditunjuk selaku formatir pada pembentukan Badan Pekerja (BP) KNIP. Itulah karir awal Sjahrir pasca Proklamasi dan merupakan pembuka jalan menuju korsi Perdana Menteri. Gambar atas : Kasman tampak sedang berpidato selaku ketua KNIP. Gambar bawah : Soekarni berpidato agar Republik Indonesia lebih Revolusioner.
Sunday, August 30, 2009
Penangkapan dr AK Gani
Tanggal 21 Juli 1947, Belanda mulai melancarkan Agresi militernya. Saat itu Wakil Presiden Hatta sedang berada di Sumatera. Mantan Perdana Menteri Sjahrir berhasil meloloskan diri keluar negeri yang nantinya pada bulan Agustus 1947 berbicara dalam sidang PBB untuk membeberkan keganasan Belanda tersebut. Tapi sebelum itu setelah dari India, dia sempat menyusul H.Agus Salim di Timur Tengah yang telah lebih dahulu tiba di Cairo. Memang salah satu tugas H.Agus Salim bersama sejumlah anggota pemerintahan seperti AR Baswedan adalah sedang membuat perjanjian dengan negara-negara Arab dalam rangka mereka memberikan dukungan terhadap Revolusi Indonesia. Saat itu Perdana Menteri RI sejak awal Juli 1947 adalah Mr Amir Sjarifudin. dr AK Gani mantan menteri Kemakmuran diangkat sebagai wakil Perdana Menteri. Seperti biasa dia berkantor dan tinggal di Rumah Proklamasi jalan Pegangsaan Timur no.56 Jakarta. Pada tanggal 24 Juli 1947, rumah milik Republik Indonesia ini diserbu tentara Belanda dan seluruh penghuninya ditangkap. dr AK Gani adalah pejabat paling tinggi yang berada disana. Bersamanya ditangkap sejumlah pegawai Republik Indonesia termasuk para pengawal. Penggeledahan juga dilakukan tentara Belanda yang menemukan sejumlah besar senjata dan amunisi. Ada tulisan yang menceritakan kalau pimpinan penangkapan adalah Westerling ? Dan terjadilah dialog antara Westerling dengan dr Adnan Kapau Gani (lulus dokter dari GH pada tahun 1937). Westerling : "Saya Westerling pimpinan Pasukan Khusus (KST-DST) Kerajaan Belanda".dr AK Gani tidak mau kalah dan bilang : "Saya AK Gani penyelundup terbesar dari Indonesia musuh Belanda" Apa benar Westerling yang datang kesitu dan dialog ini benar ?Jenderal Sudirman bisa menerima supremasi sipil ?
Dalam bukunya "Laporan dari Banaran" Pak Sim (panggilan akrab May.Jen TB SImatupang) pada halaman 194-195 bercerita. Ketika pemerintah RI kembali ke Yogya (6 Juli 1949) sebetulnya Pak Dirman sedikit keberatan untuk kembali. Tapi karena ada surat Sri Sultan HB ke IX dan surat Kolonel Gatot Soebroto serta pemimpin lainnya yang meminta supaya lekas pulang, akhirnya Pak Dirman bersedia kembali ke Yogyakarta. Setelah berangkat dari Markas Besar Gerilya didesa Sobo daerah Pakis Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan menuju Yogya, Pak dirman sebentar menunggu sambil menanti kedatangan Pak Sim. Pak Sim menjemput bersama May.Jen Soehardjo. Setelah istirahat sebentar ketiganya memasuki mobil yang akan membawa ke Yogya. Dari pembicaraan didalam mobil, tampak Pak Dirman belum bisa menerima perkembamngan terakhir (maksudnya berunding dengan Belanda). Hal ini dapat dipahami sebab mereka yang pernah mengalami perang rakyat sejak beberapa bulan terakhir, telah hidup dengan alam pikiran yang berbeda sama sekali dengan para pemimpin (sipil) yang menjalankan perundingan dengan Belanda di Jakarta maupun di Bangka. Namun Pak Dirman membenarkan juga bahwa sekarang ini tidak ada jalan lain melainkan mendukung persetujuan yang dicapai sambil menyusun kekuatan. Cuma Pak Dirman bermaksud mengemukakan usul dan saran untuk mencegah timbulnya hal-hal yang dapat menimbulkan kekecewaan kelak. Dalam amanat Panglima Besar tanggal 1 Mei 1949, memang telah dikatakan : "Saya telah bersiap lengkap dengan syarat-syarat dan usul-usul mana saya sesuaikan dengan jiwa dan semangat dan jiwa perjuangan tentara dan rakyat pada dewasa ini, pula mengingat serta memperhatikan suara-suara dari para komandan terutama yang langsung memimpin pertempuran ". Beberapa tahun yang lalu ada isue kuat bahwa konflik internal antara pimpinan sipil dan militer sudah mulai berkembang saat itu. Kini setelah 64 tahun berakhirnya perjuangan gerilya khususnya setelah Pak Dirman kembali ke Yogya, apakah tidak perlu ditelusuri ulang detik-detik peristiwa sehingga kebijakan akhir adalah Supremasi sipil tetap diatas kekuasaan militer ?Monday, August 24, 2009
dr Leimena
Friday, August 21, 2009
Lupa-lupa Ingat "Indonesia Raya"
Oleh Saifur Rohman
Lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” karya WR Soepratman terlewat dinyanyikan dalam pidato kenegaraan di Jakarta, Jumat (14/8).Setelah diinterupsi, pada akhir acara Ketua DPRD Agung Laksono mengajak peserta menyanyikan ”Indonesia Raya”. Ini menandakan, acara simbolik, rutin, dan ritual telah melupakan simbol penting sejarah kehidupan berbangsa.Seperti sarapan yang siap di atas meja, tetapi lupa menanak nasi. Disebutkan, kesalahan itu tidak disengaja. Saat geladi bersih, lagu itu ada, tetapi saat pelaksanaan, tiba-tiba ”menghilang”. Hukuman berupa peringatan, sanksi, atau apa pun akibat kelalaian tidak bisa menghapus pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi dalam kesadaran pelaku ritus kenegaraan? Jawabannya menjadi penting jika kita menganggap membangun bangsa didasarkan kesadaran untuk mengingat, bukan melupakannya.
Tidak sadar
Lupa adalah gerakan tidak sadar. Leo Tolstoy dalam Diary (1897) menulis, jika kehidupan berlalu tanpa disadari, kehidupan itu tidak pernah terjadi. Secara psikologis, lupa adalah peristiwa yang menyusup dalam arus kesadaran sehingga ada di luar kendali. Edmuns Husserl melihat, saat peristiwa lupa berlalu, kesadaran melakukan refleksi. Hasil refleksi memutuskan, kejadian sebelumnya telah melupakan sesuatu. Keputusan lupa adalah produk sadar, sedangkan peristiwa lupa itu kejadian di luar sadar. Dalam kajian antropologis terungkap, ritus yang dijalankan dengan tingkat duplikasi yang tinggi dari waktu ke waktu adalah gerakan sadar untuk melawan lupa. Dalam perspektif kebudayaan, pelestarian tradisi pada zaman yang terus berubah bukan melawan perubahan, tetapi melawan diri sendiri agar tidak lalai. Tradisi memang monoton, tetapi itulah satu-satunya cara agar bisa mengingat. Karena itu, produk- produk kebudayaan intangible memerlukan mekanisme mengingat untuk menegakkan harkat kemanusiaan itu sendiri. Wajar manakala Ben Anderson merumuskan entitas kebangsaan sebagai ”komunitas yang dibayangkan” karena entitas itu harus terus dipupuk agar bayangan itu tetap ada. Betapa berat beban negara-bangsa yang lahir setelah Perang Dunia (PD) II. Pelaku negara-negara baru harus kerja keras melawan lupa. Sebab, sebelum PD II, alam kesadaran masyarakat dalam bingkai kolonial. Ritus negara-bangsa yang lahir setelah PD II, termasuk Indonesia, adalah eksplisitasi dari tiap upaya anak bangsa melawan lupa bahwa sebagai ”Indonesia Raya” telah ”merdeka”. Dalam proses melawan lupa itu setidaknya ada dalam syair lagu WR Soepratman. Berdasar analisis semantik, ada tesis bahwa lagu itu memberi wasiat tentang mekanisme melawan lupa. Syair-syairnya berisi identifikasi tentang Indonesia. Jawabannya, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Soepratman lalu menjelaskan asal-usul kita sebagai bangsa. Kejelasan asal-usul itu dimanfaatkan untuk mengingatkan visi ke depan. Dia menegaskan, Marilah kita berseru Indonesia bersatu. Asal-usul dan tujuan itu memberi kerangka pikir bagi tiap individu tentang kehadiran kesadaran baru yang tidak boleh dilupakan. Kerangka pikir itu lalu dibangkitkan dengan Hiduplah bangsaku, hiduplah negeriku untuk Indonesia Raya. Kesadaran sebagai negara-bangsa harus dihidupkan, dihayati, dimaknai. Paralelisme syair itu ada dalam Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Indonesia dihidupkan dalam kesadaran agar kita tidak melupakan. Pengulangan terus-menerus dan aneka simbol yang diciptakan untuk entitas Indonesia adalah upaya optimal untuk melawan lupa.
Ingat yang lain
Indonesia sudah diproklamasikan sejak 1945. Maka ironis saat lagu kebangsaan terlupa justru dalam ritus melawan lupa. Maka, kita patut mempertanyakan kesadaran kita sebagai bangsa.
Kesadaran untuk ingat sebagai bangsa ternyata tertumpuk kesadaran untuk ingat yang lain. Dan nasionalisme tidak lebih besar ketimbang kesadaran untuk rutinitas baru yang mengatasnamakan demokrasi. Tiap hari elite sibuk kampanye untuk meningkatkan citra. Pebisnis sibuk menggagas pencitraan yang menarik dalam pemasaran calon kepala negara dan kepala daerah. Para selebritas akademisi rutin membangun retorika baru sebagai produk yang dipertontonkan. Lembaga swadaya masyarakat bermodal pengetahuan statistik sibuk mengiklankan diri sebagai akurat dan ahli mengantar orang menjadi pemimpin. Tiap warga sibuk mencari posisi dalam kursi publik. Kita telah berlarut-larut dengan atribut-atribut itu dan melupakan esensi keindonesiaan. Setelah sekian lama kita berlalu, kita patut mempertanyakan kembali pembangunan semangat kebangsaan selama ini.
Saifur Rohman Alumnus Filsafat UGM; Bekerja dan Menetap di Semarang
Gambar atas : Peristiwa yang seharusnya tidak boleh dilupakan. Diiringi lagu Indonesia Raya, pada tanggal 27 Desember 1949, untuk pertama kali Sang Saka Merah Putih dinaikkan dan berkibar diatas puncak Istana Merdeka. Hal ini disambut rakyat dengan gegap gempita. Foto, capture dari film Belanda : souvereiniteit overdracht
Mengenang Diplomat Critchley
Mengenang Diplomat Critchley
Jumat, 21 Agustus 2009 04:41 WIB
Oleh : Rosihan Anwar
Akhir Juli lalu, TV One mewawancarai saya, siapa orang asing yang mendukung perjuangan Indonesia pada masa perang kemerdekaan? Saya sebut beberapa nama, antara lain Kolonel Laurens van der Post (Inggris), saudagar Jack Abbott (Amerika Serikat), diplomat Thomas Critchley (Australia), Kapten Sen Gupta (India), pengusaha Biju Patnaik (India), dan wartawan Frans Goedhart (Belanda). Tak lama kemudian, saya menerima berita sedih dari Susan di Sydney. Ia mengabarkan, suaminya, Thomas Kingston Critchley, meninggal dunia pada 14 Juli 2009 dalam usia 93 tahun. Sebelum menikah, Susan adalah warga negara AS. Dia bekerja sebagai sekretaris di Perwakilan Indonesia di New York yang dipimpin oleh LN Palar dengan staf Dr Sumitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Charles Tambu. Tanggal 24 Agustus mendatang, Susan mengadakan pertemuan di Pilu Restaurant, Freshwater, untuk mengenang Thomas Critchley. Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 31 tahun datang ke Indonesia setelah Belanda melancarkan aksi militer pertama terhadap Indonesia pada 21 Juli 1947. Kendati ada Persetujuan Linggajati yang ditandatangani 25 Maret 1947 dalam Istana di Jakarta, hal itu tidak menghalangi militer Belanda untuk menyapu bersih Indonesia dengan peperangan.
Menunjuk Australia
Belanda menunjuk Belgia untuk mewakilinya pada Komite ini dan Indonesia menunjuk Australia. Kedua negara itu kemudian bersama-sama menunjuk Amerika Serikat. Delegasi Australia diwakili Justice Richard C Kirby dengan Thomas Critchley sebagai deputinya. Indonesia memilih Australia karena negeri ini mendukung kuat perjuangan Indonesia. Serikat buruh Australia terkenal sebagai pemboikot pemuatan ke dalam kapal-kapal Belanda barang-barang untuk digunakan mengembalikan penjajahannya. Ternyata Komite Jasa Baik tidak berdaya karena disabot Belanda yang memang tidak mempunyai maksud baik. Belanda terus menuduh Indonesia melanggar ketentuan gencatan senjata dan memajukan tafsirannya sendiri mengenai pasal-pasal Persetujuan Renville. Dalam keadaan buntu itu, wakil Amerika Serikat dalam Komite, Court DuBois, yang sebelum perang pernah menjadi Konjen AS di Hindia Belanda, bersama Critchley menyusun sebuah rencana usul kompromi guna mengatasi kebuntuan. Prinsip-prinsip itu dikenal sebagai DuBois-Critchley Plan yang disampaikan secara privat kepada delegasi Belanda dan Indonesia tanggal 19 Juni 1948. Dasar Belanda tidak mau menerima, lalu diputuskan perundingan dengan Indonesia dengan memakai alasan ”DuBois telah membocorkan isinya kepada Daniel Schorr, koresponden majalah Amerika, Time, di Jakarta”.
DuBois menyangkal keras sudah menjadi pembocor rencana itu. Yang sebenarnya terjadi ialah Belanda telah memata-matai berita/tulisan koresponden luar negeri yang dikirim melalui kantor pos. Belanda-lah yang membocorkan kepada Daniel Schorr. Notabene berita itu tidak sampai dimuat oleh Time. Belanda terus memojokkan Indonesia. Blokade angkatan lautnya diperketat sehingga praktis tidak ada barang yang keluar atau masuk melalui pelabuhan yang masih dikuasai Indonesia. DuBois kembali ke AS karena kesehatannya terganggu. Kedudukannya digantikan Dr Graham yang terkenal karena ucapannya kepada Perdana Menteri Amir Syarifuddin dalam perundingan di atas kapal Renville, ”You are what you are”. Justice Kirby kembali ke Australia digantikan Tom Critchley.
Belanda melancarkan aksi militer kedua tanggal 19 Desember 1948. Pimpinan pemerintah agung Indonesia ditangkap militer Belanda dan diasingkan ke Prapat dan Bangka. Kembali Dewan Keamanan PBB turun tangan dalam konflik Indonesia-Belanda. Pasal 17 Persetujuan Linggajati mengenai soal arbitrase telah membuat soal Indonesia menjadi masalah internasional Komite Jasa Baik diubah namanya menjadi Komisi PBB untuk Indonesia pada tahun 1948-1950. Ketua delegasi Amerika Serikat adalah Merle Cochran dan ketua delegasi Australia Tom Critchley. Kedua diplomat itu memegang peran membawa Belanda dan Indonesia berunding kembali.
Bintang jasa utama
Sebagai wartawan yang meliput KMB, saya lihat Thomas Critchley sebagai diplomat berusia 33 tahun dengan percaya diri penuh ikut mengemudikan konferensi sampai berhasil. Thomas Critchley hilang dari radar pemantauan saya. Dia menjabat sebagai Duta Besar di Kuala Lumpur sewaktu Indonesia mengganyang proyek kolonialisme Malaysia. Thomas Critchley kembali ke Indonesia sebagai Duta Besar (1978-1981) dan menyelesaikan tugasnya dengan baik untuk merapatkan hubungan Australia-Indonesia. Pada tahun 1992 Thomas Critchley dianugerahi Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia. Upacara penyerahan penghargaan dilaksanakan di Sydney oleh Dubes Indonesia Sabam Siagian yang mengatur, agar mobil yang menjemput Critchley mengibarkan bendera Sang Merah Putih sebagai pernyataan kehormatan bagi Critchley yang menjadi amat terharu oleh beau geste itu. Tom dan Susan bersahabat baik dengan keluarga kami. Pernah dengan menyetir mobil sendiri, Dubes Australia itu membawa istri dan putra-putrinya bersilaturahim ke rumah kami. Terakhir kami bertemu dengan Tom dan Susan saat Zuraida dan saya diundang menghadiri dinner, ketika kami menghadiri Festival Film Asia Pasifik ke-39 di Sydney, Agustus 1994. Dalam Sydney Morning Herald saat itu ada kritik ke alamat Indonesia bertalian dengan soal Timor Timur. Namun, Tom tidak bicara soal politik untuk menjaga suasana batin akrab pada santap malam yang juga dihadiri Ratih Harjono dan ibunya, saat itu koresponden Kompas di Australia. Begitulah sikap Tom Critchley. Selalu diplomatis dan bijaksana (tactful). Kami dari generasi zaman Revolusi mengenang jasa-jasamu bagi perjuangan Republik Indonesia.
Semoga Tuhan memberkatimu, Tom.
Rosihan Anwar Wartawan Senior
Tuesday, August 11, 2009
Yang muda yang bergerilya
Para pemuda zaman sekarang sering bertanya, bagaimana pemuda dizaman perjuangan dahulu ? Maka saya memperlihatkan foto-foto koleksi yang saya miliki seperti diatas. Foto ini saya dapat tentu saja dari para pelaku yang kebanyakan sudah tiada. Pada gambar ini adalah pasukan SWK (Sub Wehr Kreise) 106 didaerah Solo. Tampak pakaian dinas militer, peci model prahu (muts) berwarna hitam, senjata ringan sampai berat yang dimiliki dan tentu saja sepatu yang cukup lumayan. Tidak sedikit yang pasang gaya dengan topi baja atau baret. Tapi yang pasti mereka adalah yang muda yang bergerilya dan gembira. Banyak dari mereka yang setelah pengakuan kedaulatan 1949, kemudian kembali ke sekolah atau melanjutkan ke Universitas. Tidak sedikit yang kemudian berhasil meraih titel sarjana.
Monday, August 10, 2009
Film Merah Putih

Untuk Sang Merah Putih

Pasukan Pengawal Presiden RI tahun 1945

