Perwira TRI yang dimaksud adalah Let.Kol Daan Jahja. Awalnya dirinya adalah mahasiswa Kedokteran Ika Daigaku yang dikeluarkan karena melalwan instruksi penggundulan oleh Jepang. Atas usul dari H.Agus Salim diterima dalam pendidikan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air. Selanjutnya berkarir di tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI) terakhir di TNI. Sempat menjadi Gubernur Militer Jakarta dengan pangkat Let.Kol....ucu juga ya Dr M.Jamil dan Mr Amir Sjarifoedin berpakaian ala pasukan gerilya. Sementara Let.Kol Daan Jahja berpakaian sipil seperti PNS....Namanya juga zaman Revolusi...
Monday, April 22, 2013
Sunday, April 21, 2013
Destrukturisasi sejarah Kartini...kapan ?
Kapan kita melakukan destrukturisasi sejarah Kartini ? Rasanya tidak ada minat kesana ya ? Dalam wujud alam pikir kita, Kartini itu mulia, terhormat, berjasa, membela kaumnya dan perintis kemerdekaan bangsanya yang revolusioner...? Mungkin Kartini kurang senang pada pencitraan itu. Dia lebih senang kalau Belanda dan Indonesia bisa mewujudkancita-citanya yang mungkin yang lebih pasti adalah sebuah konsep emansipasi ? Bukan hanya emansipasi yang dangkal seperti berbicara soal gender tok. Tapi yang lebih luas. Kartini mewakili suku Jawa dalam arti yang sebenar-benarnya. Orang Belanda meghargai kaum priayi Jawa ini...merekalah yang mendapat kesempatan untuk mengatur pemerintahan dalam negeri dalam bayang-bayang payung kolonial yang sudah desentralistik itu. Kala itu pada akhir abad ke 19 kalau mau jujur adalah terjadinya perubahan tatanan sosial yang paling menguntungkan kelompok feodal. Bahasa Belandanya "schakel van" Bergantung pada....ya kekuasaan feodal pribumi itu. Belanda berterima kasih kepada mereka. Kartini tidak mungkin melawan kekuasaan ayahnya maupun suaminya Raden Adipati Joyodiningrat. Justru harus dicari jalan bagaimana menyatukan kepentingan Belanda dan Hindia dalam arti kata sebenar-benarnya. Itulah sebabnya bayang-bayang Abendanon dan Deventer amat melekat pada cerita kisah sang Raden Ajeng dari Jepara ini. Haramkah pemikiran ini bisa terjadi ? Juga tidak karena ini zaman perubahan zaman Politik Etis. Kita tidak bisa membawa semangat Revolusi Kemerdekaan kezaman itu. Itu justru yang haram yang mestinya karena pakemnya beda. Ada yang mau menanggapi ? Mungkin banyak yang tertarik barangkali ? Foto: Pencitraan Sjuman Djaya sosok Kartini dalam filmnya yang diperankan oleh Yeni Rachman dan Bambang Hermanto....Masih jauh bukan ? Kalau saja benar Kartini menderita dan bersedia mengakhiri cita-citanya maka dia lahir terlalu cepat.
Wednesday, April 17, 2013
Monday, April 08, 2013
Margaret Thatcher telah tiada
Margaret Thatcher lebih dikenal sebagai "Wanita besi" meninggal Senin karena stroke pada usia 87 tahun. Untuk ini pemerintah Inggris mengumumkan bahwa mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher akan menerima upacara pemakaman kenegaraan dengan kehormatan militer.. Perdana Menteri David Cameron memutuskan menunda perjalanannya ke Spanyol dan Perancis setelah mendengar berita menyedihkan ini. Kantor Perdana Menteri di Downing Street mengatakan Ratu Elizabeth II memiliki wewenang menetapkan upacara pemakaman kenegaraan bagi Margaret Thatcher yang akan diselenggarakan di St Paul's Cathedral London. Dikatakan pemakaman akan dihadiri oleh pejabat tinggi negara dan masyarakat Inggris. Pelayanan pemakaman juga diikuti oleh kremasi pribadi. Hal itu tidak diperinci lebih lanjut, hanya mengatakan bahwa keputusan yang diambil itu adalah "sesuai dengan keinginan" Thatcher dan keluarga. Foto: Margaret Thatcher saat Perdana Menteri Inggris
Wednesday, April 03, 2013
Dr Jacob Bernadus Sitanala
Dr Jacob Bernadus Sitanala Pahlawan dan Tokoh Nasional Asal Maluku. JACOB Bernadus Sitanala dilahirkan dalam suatu keluarga pengusaha kecil pada 18 September 1889 di Kayeli, Pulau Buru. Ia keturunan keluarga besar Sitanala dari Desa Suli di Pulau Ambon. Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Ambonsche Burger School” di Ambon dan pendidikan menengah MULO pada 1904, ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran yaitu “STOVA” di Jakarta. Pada tahun 1912 Sitanala berhasil memperoleh ijasah dokter dan ditempatkan di berbagai tempat di Indonesia. Karena prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, ia mendapat tugas belajar ke Negeri Belanda tahun 1923 dan mendalami ilmu Penyakit Kusta (Lepra). Pada tahun 1926 berhasil memperoleh diploma “Nederlandsche Arts” dan pada tahun 1927 mendapat gelar doctor dan guru besar dalam Ilmu Penyakit Kusta. Setelah kembali ke Indonesia dan bertugas sebagai ahli Penyakit Kusta, Dr Sitanala diangkat sebagai Kepala Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia. Dr Sitanala adalah ahli Penyakit Kusta yang bertama di Indonesia. Sebagai perintis pemberantasan Penyakit Kusta, ia dikenal pula di dunia Internasional karena karya-karya ilmiah hasil penelitian dan metode baru pengobatan Penyakit Kusta yang ia kembangkan. Untuk itu, raja Kerajaan Swedia berkenan memberikan bintang kehormatan tertinggi “Wasa Orde” yang setaraf dengan “Nobelprijs” (hadiah nobel) kepadanya dan juga sebuah bintang jasa dari perkumpulan sarjana-sarjana internasional dalam bidang kesehatan. Ia terkenal pula sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan Indonesia. Selama studi di Negeri Belanda, menjabat Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia, sangat aktif dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia serta menjadi penasehat dari organisasi politik Sarekat Ambon. Perasaan nasionalismenya sangat tinggi dan terlihat dalam usaha-usaha untuk membela rakyat kecil yang diperlakukan tidak manusiawi dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan juga menentang ras diskriminasi di kalangan profesi kedokteran. Selain itu, ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri Palang Merah Indonesia (PMI). Setelah bertugas ke Ambon pada tahun 1947, masih tetap mengabdi sepanjang hayatnya. Beliau meninggal dunia pada 30 Agustus 1958 dan oleh Pemerintah RI dihargai sebagai “Perintis Kemerdekaan” dan tokoh nasional yang besar. (Sumber: BPNB Ambon). Foto: np. 3 dari kiri adalah JB Sitanala saat ikut ekspedisi di Irian Jaya pada tahun 1912-1913.
Dokter Willem Karel (Wim) Tehupeiory
Pada musim semi tahun 2001 seorang wartawan Belanda keturunan Maluku, Herman Keppy menemukan sebuah koper dengan tumpukan penuh dokumen pada sebuah kamar di sebuah desa di Alkmaar negeri Belanda. Koper ini juga berisi foto-foto dan dokumen pribadi dari Wim Tehupeiory (1883-1946),yang bertugas sebagai dokter pribumi pada tahun 20-an di Hindia Belanda. Bahan-bahan dokumen ini sungguh amat berguna dalam rangka kerja Keppy menulis novelnya yang berjudul Antara Ambon dan Amsterdam (Tussen Ambon en Amsterdam). Buku ini diterbitkan pada tahun 2004. Setelah itu semua dokumen di kirimnya kepada IISH (International Institute of Social History) di Belanda. Bahan dokumen ini terdiri dari sebanyak 250 surat pribadi, surat-surat yang kaitannya dengan profesi kedokteran (tahun 1883-1946) dan sejumlah bahan-bahan lainnya, termasuk laporan bulanan tentang Rumah Sakit pemerintah di Blinjoe di pulau Bangka (dari tahun 1910-1915), juga dokumen dari Vereeniging Ambonsch Studiefonds (1914-1921) serta sejumlah koleksi foto.
Dokter Maluku Willem Karel (Wim dari Empie) Tehupeiory lahir pada tahun 1883 di Ema pulau Ambon Hindia Belanda. Setelah menamatkan sekolah umum, bersama kakak laki-lakinya Johannes Everhardus (Nannie) pergi ke Batavia untuk sekolah di STOVIA. Keduanya lulus pada tahun 1902. Perlu diketahui Stovia memang dalam proses yang secara resmi terbentuk pada tahun 1902. Setelah itu Wim Tehupeiory yang masih berumur 19 tahun bekerja sebagai dokter pribumi di sebuah penjara di Medan. Kemudian di perkebunan Deli guna memberikan pelayanan kesehatan bagi buruh kebun orang Jawa dan Cina. Pada tahun 1907 kakak beradik Tehupeiory ini bersama saudara perempuannya Leentje Jacomina yang belajar ilmu farmasi berangkat ke Belanda guna melanjutkan studinya di Universitas Amsterdam. Tahun 1908 rampunglah sudah pendidikan mereka dan diizinkan menyandang gelar Arts. Beberapa saat setelah lulus, tiba-tiba Johannes Everhardus meninggal secara mendadak dalam umur 26 tahun pada sebah kejadian fatal yang tidak diperkirakan.
Dalam karirnya sebagai Arts asal Indonesia, Wim Tehupeiory memberikan kursus bagi dokter-dokter pribumi yang dibayar murah di Belanda dalam lembaga Indisch Genootschap in Leiden yang juga merupakan gerakan politik etis saat itu dipimpin oleh C. Th. van Deventer dan J. H. Abendanon. Saat bersekolah di Belanda sempat pula dibangunnya perkumpulan dokter pribumi di Belanda . Pada bulan Juli tahun 1909 Wim menikah dengan Anna Ommering seorang wanita Belanda yang dikaruniai 2 anak , Pada tahun yang sama saat kembali ke Indonesia, Wim mendirikan lembaga beasiswa Ambon (Ambonsch Studiefonds) yang maksudnya guna mendukung beaya bagi pendidikan orang Indonesia di negeri Belanda. Setelah kembali ke Indonesia, Wim bekerja di pulau Bangka pada perusahaan pertambangan timah (1910-1916). Pada bulan Juli 1916 keluarga Wim kembali ke Belanda. Dan saat itu dia menjadi anggota dari lembaga budaya perkumpulan MUDATO guna meningkatkan minat masyarakat Ambon dalam pendidikan. Perlu diketahui pula dalam kongres pendidikan kolonial di Den Haag pada tahun 1919 disetujui akan berdirinya Universitas di Hindia Belanda termasuk berdirinya fakultas Kedokteran sebagai perkembangan STOVIA. Pada tahun 1922 karena kesulitan keuangan Tehupeiory harus kembali ke Indonesia tanpa ikut sertanya keluarganya. Dalam situasi ini dia bekerja sebagai dokter di kapal cargo bernama SS Rondo, yang bertugas mengangkut jamaah haji ke Mekah melalui pelabuhan Jedah. Setelah berhenti, dia melakukan praktek umum di Batavia . Disampin kegiatan tersebut sempat pula dirinya aktif dalam organisasi nasional Sarekat Ambon dan tentu saja dalam lembaga beasiswa bagi orang Maluku. Selain itu dia juga anggota komisi supervise sekolahnya terdahulu yaitu STOVIA. Pada tahun 1928, Wim merupakan salah seorang pendiri Perhimpunan Politik Maluku (Molukus Politiek Verbond). Seorang yang memilik pribadi menarik dokter Willem Karel (Wim) Tehupeiory meninggal dunia setelah Indonesia Merdeka di Jakarta pada tahun 1946 dengan tenang. (diterjemahkan bebas dari bahan internet padahttp://www.iisg.nl/collections/tehupeiory/).....Foto: Wim dengan keluarga di Batavia...
Dokter Maluku Willem Karel (Wim dari Empie) Tehupeiory lahir pada tahun 1883 di Ema pulau Ambon Hindia Belanda. Setelah menamatkan sekolah umum, bersama kakak laki-lakinya Johannes Everhardus (Nannie) pergi ke Batavia untuk sekolah di STOVIA. Keduanya lulus pada tahun 1902. Perlu diketahui Stovia memang dalam proses yang secara resmi terbentuk pada tahun 1902. Setelah itu Wim Tehupeiory yang masih berumur 19 tahun bekerja sebagai dokter pribumi di sebuah penjara di Medan. Kemudian di perkebunan Deli guna memberikan pelayanan kesehatan bagi buruh kebun orang Jawa dan Cina. Pada tahun 1907 kakak beradik Tehupeiory ini bersama saudara perempuannya Leentje Jacomina yang belajar ilmu farmasi berangkat ke Belanda guna melanjutkan studinya di Universitas Amsterdam. Tahun 1908 rampunglah sudah pendidikan mereka dan diizinkan menyandang gelar Arts. Beberapa saat setelah lulus, tiba-tiba Johannes Everhardus meninggal secara mendadak dalam umur 26 tahun pada sebah kejadian fatal yang tidak diperkirakan.
Dalam karirnya sebagai Arts asal Indonesia, Wim Tehupeiory memberikan kursus bagi dokter-dokter pribumi yang dibayar murah di Belanda dalam lembaga Indisch Genootschap in Leiden yang juga merupakan gerakan politik etis saat itu dipimpin oleh C. Th. van Deventer dan J. H. Abendanon. Saat bersekolah di Belanda sempat pula dibangunnya perkumpulan dokter pribumi di Belanda . Pada bulan Juli tahun 1909 Wim menikah dengan Anna Ommering seorang wanita Belanda yang dikaruniai 2 anak , Pada tahun yang sama saat kembali ke Indonesia, Wim mendirikan lembaga beasiswa Ambon (Ambonsch Studiefonds) yang maksudnya guna mendukung beaya bagi pendidikan orang Indonesia di negeri Belanda. Setelah kembali ke Indonesia, Wim bekerja di pulau Bangka pada perusahaan pertambangan timah (1910-1916). Pada bulan Juli 1916 keluarga Wim kembali ke Belanda. Dan saat itu dia menjadi anggota dari lembaga budaya perkumpulan MUDATO guna meningkatkan minat masyarakat Ambon dalam pendidikan. Perlu diketahui pula dalam kongres pendidikan kolonial di Den Haag pada tahun 1919 disetujui akan berdirinya Universitas di Hindia Belanda termasuk berdirinya fakultas Kedokteran sebagai perkembangan STOVIA. Pada tahun 1922 karena kesulitan keuangan Tehupeiory harus kembali ke Indonesia tanpa ikut sertanya keluarganya. Dalam situasi ini dia bekerja sebagai dokter di kapal cargo bernama SS Rondo, yang bertugas mengangkut jamaah haji ke Mekah melalui pelabuhan Jedah. Setelah berhenti, dia melakukan praktek umum di Batavia . Disampin kegiatan tersebut sempat pula dirinya aktif dalam organisasi nasional Sarekat Ambon dan tentu saja dalam lembaga beasiswa bagi orang Maluku. Selain itu dia juga anggota komisi supervise sekolahnya terdahulu yaitu STOVIA. Pada tahun 1928, Wim merupakan salah seorang pendiri Perhimpunan Politik Maluku (Molukus Politiek Verbond). Seorang yang memilik pribadi menarik dokter Willem Karel (Wim) Tehupeiory meninggal dunia setelah Indonesia Merdeka di Jakarta pada tahun 1946 dengan tenang. (diterjemahkan bebas dari bahan internet padahttp://www.iisg.nl/collections/tehupeiory/).....Foto: Wim dengan keluarga di Batavia...
Subscribe to:
Posts (Atom)