Sunday, April 21, 2013
Destrukturisasi sejarah Kartini...kapan ?
Kapan kita melakukan destrukturisasi sejarah Kartini ? Rasanya tidak ada minat kesana ya ? Dalam wujud alam pikir kita, Kartini itu mulia, terhormat, berjasa, membela kaumnya dan perintis kemerdekaan bangsanya yang revolusioner...? Mungkin Kartini kurang senang pada pencitraan itu. Dia lebih senang kalau Belanda dan Indonesia bisa mewujudkancita-citanya yang mungkin yang lebih pasti adalah sebuah konsep emansipasi ? Bukan hanya emansipasi yang dangkal seperti berbicara soal gender tok. Tapi yang lebih luas. Kartini mewakili suku Jawa dalam arti yang sebenar-benarnya. Orang Belanda meghargai kaum priayi Jawa ini...merekalah yang mendapat kesempatan untuk mengatur pemerintahan dalam negeri dalam bayang-bayang payung kolonial yang sudah desentralistik itu. Kala itu pada akhir abad ke 19 kalau mau jujur adalah terjadinya perubahan tatanan sosial yang paling menguntungkan kelompok feodal. Bahasa Belandanya "schakel van" Bergantung pada....ya kekuasaan feodal pribumi itu. Belanda berterima kasih kepada mereka. Kartini tidak mungkin melawan kekuasaan ayahnya maupun suaminya Raden Adipati Joyodiningrat. Justru harus dicari jalan bagaimana menyatukan kepentingan Belanda dan Hindia dalam arti kata sebenar-benarnya. Itulah sebabnya bayang-bayang Abendanon dan Deventer amat melekat pada cerita kisah sang Raden Ajeng dari Jepara ini. Haramkah pemikiran ini bisa terjadi ? Juga tidak karena ini zaman perubahan zaman Politik Etis. Kita tidak bisa membawa semangat Revolusi Kemerdekaan kezaman itu. Itu justru yang haram yang mestinya karena pakemnya beda. Ada yang mau menanggapi ? Mungkin banyak yang tertarik barangkali ? Foto: Pencitraan Sjuman Djaya sosok Kartini dalam filmnya yang diperankan oleh Yeni Rachman dan Bambang Hermanto....Masih jauh bukan ? Kalau saja benar Kartini menderita dan bersedia mengakhiri cita-citanya maka dia lahir terlalu cepat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Makasih Artikelnya Ya....
Post a Comment