Foto putera satu-satunya RA Kartini, yaitu Raden Mas Singgih yang waktu
kecilnya bernama Susalit (Jawa : susah wiwit alit atau dalam bahasa Indonesia
susah sejak kecil). Foto saat pelantikan Batalyon Sudjono dan Batalyon Darjatmo pada tanggal 5 Mei 1948 oleh Jenderal Mayor Susalit. Tampak ikut hadir Panglina Besar Jenderal Soedirman.
Friday, February 24, 2012
Friday, February 17, 2012
Salemba 6, 90 tahu (bag ke II)
Atas tuntutan yang lebih meningkat lagi, pada th 1927 didirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundig Hooge School atau GH). STOVIA tidak dibubarkan tapi berjalan terus dimana baru ditutup dengan resmi pada tahun 1937. Kalau sebelumnya untuk memperoleh gelar
Arts harus pergi kenegeri Belanda, sejak GH tidak perlu lagi. Untuk memberikan peluang pada para mahasiswa ex STOVIA untuk ikut dalam pendidikan GH, mahasiswa tingkat IV keatas mendapat kesempatan melalui testing. Tentu saja mata kulia lebih dikembangkan dan fasilitas pendidikan jauh lebih baik. Lama pendikan GH adalah 7 tahun dan menerima calon mahasiswa dari sekolah menengah atas. Berbeda dengan STOVIA yang menganut sistim pendidikan Guided Study atau pendidikan terpimpin, GH menganut sistim Free Study (pendidikan bebas) dimana sang mahasiswa menentukan kapan untuk menempuh ujian. Dengan perkataan lain jumlah mahasiswa yang lulus setiap tahun sukar diperkirakan. Saat itu timbul fenomena yang disebut sebagai Mahasiswa Abadi (de eeuwige student). Dalam kehidupan mahasiswa muncul dan tumbuh organisasi seperti Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) dan Bataviasche
Studentcorps (BSC).
Jepang mulai menduduki Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942. Sejak itu kedua sekolah kedokteran GH dan NIAS (Nederlands Indisch Arts School) di Surabaya ditutup.
Pada tahun 1943 keduanya disatukan dan pendidikan diadakan di Jakarta dengan nama Ika dai Gaku. Tempat pendidikannya di Salemba 6 juga. Karena banyaknya mahasiswa dari luar kota, didirikanlah asrama yang terletak di jalan Prapatan 10. Berbeda dengan GH, lama pendikan Ika Dai Gaku adalah 5 tahun. Selama zaman Jepang berhasil lulus dua angkatan tahun 1944 dan 1945. Hampir semua lulusan menjadi dokter militer dalam kesatuan PETA. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Salemba 6 dan CBZ berubah menjadi Pergoeroean Tinggi Kedokteran dan Roemah sakit Pergoeroean Tinggi. Dalam perjalanan sejarah pendikan kedokteran di Indonesia ini sempat berpindah tempat beberapa kali. Mula-mula ke Malang dan Klaten, kemudian pada tahun 1950 kembali ke Jakarta. Pada saat itulah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditetapkan berdiri. Zaman Revolusi di Jakarta (1948) Rumah sakit dan Pergoeroean Tinggi Kedokteran sempat diambil alih pihak Belanda. Pihak Republik Indonesia tidak bisa menerima keadaan ini sehingga pihak tenaga pelaksana Dokter, Perawat dan tenaga administrasi termasuk para pasien meninggalkan Rumah sakit.
Bagaimana Salemba 6 dan RSCM (Diponegoro 71) saat ini ? Telah berubah banyak. Menyongsong akan dibangunnya Twin Tower di halaman dalam FKUI dan telah dibangunnya Rumah Sakit Kencana di ujung barat, Kita tidak mengenal lagi bagaimana CBZ dan STOVIA pada tahun 1919 dan 1920.
90tahun telah berlalu biarlah kenangan tetap melekat yang dapat mencitrakan sulitnya perjuangan, jatuh bangunnya dan geliat keras melawan tantangan dan cobaan dalam alam pendidikan dokter, penelitian kedokteran serta pelayanan yang memadai bagi rakyat Indonesia...
Foto atas: Penandatanganan Prasasti dan peletakan batu pertama oleh Nyonya Gubernur Jenderal Van Limburstirum.
Arts harus pergi kenegeri Belanda, sejak GH tidak perlu lagi. Untuk memberikan peluang pada para mahasiswa ex STOVIA untuk ikut dalam pendidikan GH, mahasiswa tingkat IV keatas mendapat kesempatan melalui testing. Tentu saja mata kulia lebih dikembangkan dan fasilitas pendidikan jauh lebih baik. Lama pendikan GH adalah 7 tahun dan menerima calon mahasiswa dari sekolah menengah atas. Berbeda dengan STOVIA yang menganut sistim pendidikan Guided Study atau pendidikan terpimpin, GH menganut sistim Free Study (pendidikan bebas) dimana sang mahasiswa menentukan kapan untuk menempuh ujian. Dengan perkataan lain jumlah mahasiswa yang lulus setiap tahun sukar diperkirakan. Saat itu timbul fenomena yang disebut sebagai Mahasiswa Abadi (de eeuwige student). Dalam kehidupan mahasiswa muncul dan tumbuh organisasi seperti Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) dan Bataviasche
Studentcorps (BSC).
Jepang mulai menduduki Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942. Sejak itu kedua sekolah kedokteran GH dan NIAS (Nederlands Indisch Arts School) di Surabaya ditutup.
Pada tahun 1943 keduanya disatukan dan pendidikan diadakan di Jakarta dengan nama Ika dai Gaku. Tempat pendidikannya di Salemba 6 juga. Karena banyaknya mahasiswa dari luar kota, didirikanlah asrama yang terletak di jalan Prapatan 10. Berbeda dengan GH, lama pendikan Ika Dai Gaku adalah 5 tahun. Selama zaman Jepang berhasil lulus dua angkatan tahun 1944 dan 1945. Hampir semua lulusan menjadi dokter militer dalam kesatuan PETA. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Salemba 6 dan CBZ berubah menjadi Pergoeroean Tinggi Kedokteran dan Roemah sakit Pergoeroean Tinggi. Dalam perjalanan sejarah pendikan kedokteran di Indonesia ini sempat berpindah tempat beberapa kali. Mula-mula ke Malang dan Klaten, kemudian pada tahun 1950 kembali ke Jakarta. Pada saat itulah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditetapkan berdiri. Zaman Revolusi di Jakarta (1948) Rumah sakit dan Pergoeroean Tinggi Kedokteran sempat diambil alih pihak Belanda. Pihak Republik Indonesia tidak bisa menerima keadaan ini sehingga pihak tenaga pelaksana Dokter, Perawat dan tenaga administrasi termasuk para pasien meninggalkan Rumah sakit.
Bagaimana Salemba 6 dan RSCM (Diponegoro 71) saat ini ? Telah berubah banyak. Menyongsong akan dibangunnya Twin Tower di halaman dalam FKUI dan telah dibangunnya Rumah Sakit Kencana di ujung barat, Kita tidak mengenal lagi bagaimana CBZ dan STOVIA pada tahun 1919 dan 1920.
90tahun telah berlalu biarlah kenangan tetap melekat yang dapat mencitrakan sulitnya perjuangan, jatuh bangunnya dan geliat keras melawan tantangan dan cobaan dalam alam pendidikan dokter, penelitian kedokteran serta pelayanan yang memadai bagi rakyat Indonesia...
Foto atas: Penandatanganan Prasasti dan peletakan batu pertama oleh Nyonya Gubernur Jenderal Van Limburstirum.
Salemba 6, 90 tahun
Ir Hein von Essen pada tahun 1914-1915 mendapat tugas dari Pemerintah Hindia Belanda untuk merencanakan dan membangun sebuah kompleks Pelayanan Kesehatan diatas sebuah persil ditepi kali Ciliwung Jakarta. Pada tanah di Salemba ini pada waktu sebelumnya, di
sebelahnya memang sudah dibangun Pabrik Madat (Opium Fabriek). Hein adalah sarjana tehnik sipil terkenal saat itu dari biro pembangunan bernama Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W.). Kompleks terdiri dari sebuah Rumah Sakit Umum sebagai pengganti Rumah Sakit Umum pemerintah di Glodok (Stadsverband) yang dianggap sudah tidak memenuhi syarat. Rumah Sakit baru di Salemba ini rampung pada tahun 1919 dan kemudian terkenal sebagai Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ). Disebelahnya berhasil dibangun laboatorium kedokteran. Tentu saja setelah 90 tahun bangunan Rumah Sakit yang kini bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini telah banyak berubah. Beruntung laboratorim yang kini bernama Lembaga Biologi Molekul Eijkman masih berdiri tegak sebagaimana aslinya. Pada tanggal 26 Agustus 1916, Gravin N van Limburg Stirum mewakili suaminya Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul Graaf van Limburg Stirum, untuk menandatangani Prasasti dimulainya pembangunan gedung School tot Opleiding van Indische Artsen. Sekolah kedokteran pribumi yang disingkat sebagai STOVIA ini sudah ada sejak tahun 1902 yang terletak di daerah Kwini Jakarta (kini jalan dr Abdurachman Saleh). Karena didesak perkembangan kemajuan dunia kedokteran sebagai institusi pendidikan dan penelitian dipindahkan ke Salemba. Selanjutnya STOVIA, CBZ dan laboratorium kedokteran merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Pendidikan ahli kesehatan di Hindia Belanda sudah ada sejak th 1851 yang dikenal sebagai sekolah Vaccinateur. (juru cacar). Dalam perkembangannya pendidikan yang hanya 2 tahun itu meningkat dari tahun ketahun. Lama pendidikan dan tambahan pengetahuan akhirnya menetapkan pada tahun 1853 berdirinya Dokter Djawa School (Sekolah Dokter Djawa). Pendidikan yang lebih ditingkatkan lagi pada th 1902 berhasil dibentuk pendidikan dokter pribumi dengan nama STOVIA. Rumah Sakit Pendikan untuk STOVIA adalah Militair Hospitaal (rumah sakit tentara) yang kini adalah RS Gatot Soebroto. Mungkin sejalan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit yang meningkat di Batavia, yang juga bisa dimanfaatkan sebagai rumah sakit pendidikan, kompleks di Salemba ini dibangun. Mahasiswa juga menjadi lebih nyaman untuk belajar di wilayah baru yang lebih luas tersebut.
sebelahnya memang sudah dibangun Pabrik Madat (Opium Fabriek). Hein adalah sarjana tehnik sipil terkenal saat itu dari biro pembangunan bernama Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W.). Kompleks terdiri dari sebuah Rumah Sakit Umum sebagai pengganti Rumah Sakit Umum pemerintah di Glodok (Stadsverband) yang dianggap sudah tidak memenuhi syarat. Rumah Sakit baru di Salemba ini rampung pada tahun 1919 dan kemudian terkenal sebagai Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ). Disebelahnya berhasil dibangun laboatorium kedokteran. Tentu saja setelah 90 tahun bangunan Rumah Sakit yang kini bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini telah banyak berubah. Beruntung laboratorim yang kini bernama Lembaga Biologi Molekul Eijkman masih berdiri tegak sebagaimana aslinya. Pada tanggal 26 Agustus 1916, Gravin N van Limburg Stirum mewakili suaminya Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul Graaf van Limburg Stirum, untuk menandatangani Prasasti dimulainya pembangunan gedung School tot Opleiding van Indische Artsen. Sekolah kedokteran pribumi yang disingkat sebagai STOVIA ini sudah ada sejak tahun 1902 yang terletak di daerah Kwini Jakarta (kini jalan dr Abdurachman Saleh). Karena didesak perkembangan kemajuan dunia kedokteran sebagai institusi pendidikan dan penelitian dipindahkan ke Salemba. Selanjutnya STOVIA, CBZ dan laboratorium kedokteran merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Pendidikan ahli kesehatan di Hindia Belanda sudah ada sejak th 1851 yang dikenal sebagai sekolah Vaccinateur. (juru cacar). Dalam perkembangannya pendidikan yang hanya 2 tahun itu meningkat dari tahun ketahun. Lama pendidikan dan tambahan pengetahuan akhirnya menetapkan pada tahun 1853 berdirinya Dokter Djawa School (Sekolah Dokter Djawa). Pendidikan yang lebih ditingkatkan lagi pada th 1902 berhasil dibentuk pendidikan dokter pribumi dengan nama STOVIA. Rumah Sakit Pendikan untuk STOVIA adalah Militair Hospitaal (rumah sakit tentara) yang kini adalah RS Gatot Soebroto. Mungkin sejalan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit yang meningkat di Batavia, yang juga bisa dimanfaatkan sebagai rumah sakit pendidikan, kompleks di Salemba ini dibangun. Mahasiswa juga menjadi lebih nyaman untuk belajar di wilayah baru yang lebih luas tersebut.
Suatu Malam di Proklamasi
Oleh: Rosihan Anwar (wartawan Senior)
Suatu Malam di Proklamasi 56 LELAKI yang mengenakan safari warna gelap itu berjalan sendirian. Suatu hari pada Januari 1948, sekitar pukul ...19.00 WIB, dengan raut wajah kusut dia mendekati beberapa pemuda yang tengah duduk santai di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat. Rumah ini memang menjadi tempat bersantai para pejabat negara dan aktivis kemerdekaan di malam hari. Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan sebotol kecil wiski dari kantong celana, kemudian menenggaknya. Lelaki itu adalah Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya "dipaksa" meletakkan jabatan. "Malam itu kami minum wiski bersama," kata Rosihan Anwar mengenang peristiwa itu. Dalam penglihatan wartawan senior ini, Amir terlihat agak tertekan setelah lengser dari jabatan perdana menteri. "Meski dia berusaha menutupi dengan tetap terlihat enjoy," katanya. Amir terpaksa melepaskan jabatan perdana menteri setelah meneken Perjanjian Renville. Tekanan dari lawan politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala pemerintahan, dia dinilai bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia setelah perundingan itu. l l lWajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah pagi itu, 8 Desember 1947. Di atas kapal USS Renville dia asyik berbicara tentang Frank Graham, perwakilan Amerika Serikat di Komisi Tiga Negara. "Mereka rileks sambil masing-masing memegang Injil di tangan," kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku melihat pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan Renville terjadi atas desakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus 1947, yang khawatir melihat pertikaian Indonesia-Belanda yang berlarut-larut. Dalam resolusinya itu, Dewan Keamanan mendesak kedua negara agar menyelesaikan pertikaian dengan menunjuk tiga negara sebagai penengah. Indonesia memilih Australia, Belanda menunjuk Belgia. Dua negara itu kemudian menunjuk Amerika sebagai anggota ketiga. Persekutuan ini kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara, yang diwakili Frank Graham (Amerika), Richard Kirby (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia). Sebelum berunding, di dalam negeri, Amir pasang kuda-kuda. Dia merangkul kembali Masyumi agar mau bergabung di pemerintahan. Tawaran itu diterima tanpa syarat. Pada 11 November 1947, Amir merombak kabinet dengan memberikan lima kursi menteri untuk Masyumi. Namun harapan tinggal harapan. Baru saja perundingan dibuka, delegasi Belanda menolak usul Indonesia untuk menyelesaikan persoalan politik sebelum membicarakan soal gencatan senjata. Tak hanya itu, Belanda juga menolak tuntutan komisi teknis Indonesia yang diketuai J. Leimena agar tentara kompeni ditarik kembali hingga batas garis demarkasi yang telah disepakati bersama 14 Oktober 1946. Sebaliknya, Belanda menuntut batas demarkasi itu adalah kesepakatan baru pada 28 Agustus 1947, yang disebut sebagai Garis van Mook. Pembahasan di komisi teknis buntu. Macetnya pembahasan di komisi teknis membuat Amir jengkel dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta. "Kapan saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanya kembali jika ada sesuatu yang harus dikerjakan," katanya seperti dikutip Naskah Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947, Amir kembali ke Yogyakarta. Pada saat yang sama, di sejumlah daerah tentara Belanda terus melakukan aksi militer. Tersiar kabar akan ada aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap ngotot menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank Graham sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan "Lima Besar RI", yaitu Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan Agus Salim. Graham meminta Indonesia tidak meninggalkan meja perundingan. Tidak memiliki pilihan, Indonesia akhirnya mengalah dan menerima tuntutan Belanda. Kemudian, 17 Januari 1948, di atas kapal Renville, Amir meneken persetujuan itu. Para pemimpin Republik mendukung. Presiden Sukarno mengatakan, meski Perjanjian Renville seakan-akan merugikan Indonesia, harus dilihat kemungkinan keuntungan yang bisa diperoleh. "Kalau bisa mencapai cita-cita dengan jalan damai, kenapa harus perang," katanya. Hatta mengatakan perjanjian ini tidak menjauhkan kita dari cita-cita. Panglima Besar Sudirman juga mengaku puas atas pencapaian itu. Di luar dugaan Amir, partai-partai pendukungnya justru menolak Perjanjian Renville. Sehari setelah perjanjian itu, sekitar 300 orang yang mengaku sebagai massa Hisbullah menggelar demonstrasi di depan Istana Yogyakarta. "Kabinet Amir Bubar. Kami menolak Perjanjian Renville," demikian kata salah satu dari mereka. Sumpah-serapah juga diarahkan ke Perdana Menteri, "Amir pengkhianat." Pemimpin Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia juga menyalahkan Amir. Mereka mengatakan menarik dukungan dari pemerintahan dan mengumumkan pengunduran diri para menteri. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik. "Sebaiknya serahkan mandat kepada saya," kata Sukarno. Amir tidak bisa berbuat banyak. Pada 23 Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno kemudian menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk kabinet baru. Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir, kemudian memutuskan bergabung di kabinet Hatta. Menurut Soemarsono, anggota Pimpinan Pusat Pesindo, Amir saat itu merasa seperti terjebak dalam sebuah permainan politik. "Aduh, begini permainan komplotan ini," katanya mengutip keluhan Amir. Kepedihan Amir tak berujung di situ. Di kalangan kelompok kiri, dia juga disalahkan, dinilai terlalu lemah dan mau begitu saja menyerahkan tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri. Menurut Soemarsono, sebuah rapat mendadak digelar kelompok kiri untuk mengadili Amir. "Semua yang hadir menyalahkan dia karena mau mundur begitu saja," katanya. Pemimpin Partai Komunis Indonesia, Musso, dalam dokumennya, Jalan Baru untuk Republik Indonesia, juga menyerang ketidakberdayaan Amir. Menurut dia, kaum komunis saat itu melupakan ajaran Lenin yang menyatakan pokok dari revolusi adalah kekuasaan negara. "Mundurnya Amir memberi jalan elemen borjuis memegang kendali pemerintah," katanya. Semua ini berlangsung cepat: Amir mendapati dirinya sekonyong-konyong jadi musuh bersama. Tak mengherankan malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai larut dengan minum wiski dan bernyanyi. Menurut Rosihan, pertemuan malam itu adalah terakhir kali dia bersua dengan Amir. "Setelah itu, saya hanya mendengar dia pergi ke Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat," katanya. "Sampai akhirnya ditembak mati.
Mengenang Amir Sjarifoedin
Amir Sjarifoeddin Harahap lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun. Dia adalah seorang tokoh Revolusi Indonesia, mantan menteri Penerangan, Pertahanan dan kemudian Perdana Menteri pada zaman Revolusi (1945-1948) Negara Republik Indonesia. Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli. Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang. Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin. Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Garis perjuangan ini dikenal sebagai garis Dimitrov. (Belakangan garis perjuangan ini berubah yang dikenal sebagai garis Sadanov). Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936. Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar. Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas. Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum kiri, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Partai Masyumi dan Partai Nasionalis Indonesia.
Foto: Amir ketika masih siswa Gymnasium di Haarlem.
Foto: Amir ketika masih siswa Gymnasium di Haarlem.
Tokoh kita: Des Alwi
Oleh Yayat Suratmo
Dari KabariNews.com
Pria yang kini berusia 81 tahun ini masih terlihat tampan. Alisnya tebal, hidungnya mancung dan dahinya lebar. Des Alwi Abu Bakar, demikian nama lengkap pria ini. Kakek dan orang tua Pak Des merupakan pengusaha mutiara di Banda Neira yang cukup sukses. Jika saja ia tak berkenalan dengan Bung Hatta dan Bung Sjahrir, mungkin ia akan menjadi pengusaha seperti Ayah dan Kakeknya. Hari itu sekitar tahun 1936, berlabuhlah sebuah kapal dari Papua. Kapal tersebut menurunkan sekelompok orang yang tak lain adalah para tokoh nasional Indonesia, yakni Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Sebagaimana layaknya anak kecil, Pak Des yang saat itu berusia 8 tahun, bersama teman-temannya senang sekaligus bertanya-tanya siapakah mereka. Akhirnya Pak Des dan teman-temannya mengantarkan rombongan hingga ke rumah pengasingan masing-masing.
Suatu hari Pak Des pernah diminta oleh rombongan tersebut untuk mengantarkan mereka ke tempat berenang dan bersantai. “Mereka juga senang melihat-lihat pemandangan di Banda Neira, saya dan teman-teman hanya memperhatikan mereka sembari sesekali diajak ngobrol.” tutur Pak Des.Perkenalan itu kemudian berlanjut, Pak Des jadi sering main ke rumah Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Pak Des memanggil mereka dengan sebutan Om. “Om Hatta orangnya serius, tekun dan selalu rapi. Sementara Om Rir agak terbuka dan senang mendengarkan musik.” kata Pak Des lagi.Pak Des juga kerap dimintai tolong untuk sekedar mengantar dan mengambil surat. Dari seringnya main ke rumah Bung Hatta, Pak Des belakangan baru tahu bahwa orang-orang yang diasingkan ke kampungnya itu adalah orang penting. “Saya diperbolehkan melihat-lihat foto, dan membaca tulisan-tulisan Om Hatta” kata Pak Des.Orang tua Pak Des juga tidak keberatan jika anaknya kerap main ke rumah Bung Hatta, karena mereka tahu Bung Hatta dan teman-temannya akan membawa pengaruh baik buat Pak Des.Yang diharapkan orang tua Pak Des memang benar adanya. Sejak bergaul dengan tokoh-tokoh tersebut, Pak Des jadi tahu banyak hal. Pak Des juga diajari Bahasa Inggris, Belanda dan sedikit bahasa Perancis.Keakraban Pak Des dengan tokoh-tokoh nasional tersebut, khususnya dengan Bung Hatta secara tidak langsung membentuk kepribadian Pak Des. “Berkali-kali Om Hatta mengingatkan saya untuk menjadi orang yang jujur. Sementara Om Rir selalu bilang janganlah jadi orang yang mudah menyerah.” kenang Pak Des sambil menerawang.Pak Des juga punya kenangan-kenangan tak terlupakan dengan Bung Hatta, suatu ketika ia dan teman-temannya bermain bola tak jauh dari kediaman Bung Hatta, karena menendang terlalu keras, bola yang ditendang Pak Des memecahkan kaca jendela rumah Bung Hatta. Bung Hatta lalu keluar dengan wajah marah. “Mana setan kecil itu!” teriaknya. Saat berusia 18 tahun, Pak Des diajak ke Pulau Jawa oleh Bung Hatta. Begitu sampai di Pulau Jawa dimulailah babak heroik kakek enam cucu ini. Ia memimpin pasukan mata-mata, semacam intelijen untuk TNI. Ia juga menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa penting yang terjadi di negeri ini, termasuk perang 10 November di Surabaya, perang Ambarawa, serangan umum satu 1 Maret, bahkan hingga proses pengalihan kekuasan dari Soekarno ke Soeharto.Des Alwi punya hobi memotret dan membuat film dokumenter, sehingga banyak hasil karya yang mengandung sejarah penting lahir dari tangannya.Ada satu peristiwa yang begitu ia sesalkan sampai sekarang. Ceritanya, pasca peristiwa PKI, ketika itu Soekarno yang sedang ‘diamankan’ oleh pemegang mandat Supersemar, Soeharto, dikabarkan tengah sakit keras. Di suatu kesempatan, Pak Des mendatangi tempat tersebut bermaksud mengambil gambar Soekarno. Di sana ia bertemu Cokropranolo, orangnya Soeharto yang bertugas ‘mengamankan’ Soekarno (menjadi Gubernur DKI 1977-1982), “Hei Nolly, sebentar ini Beta mau ambil gambar Soekarno, bisa heh?” kata Pak Des dengan logat Maluku. Cokropranolo menolaknya. Pak Des meminta lagi dengan sedikit ‘sok akrab’ “Ayolah Nolly, macam tak kenal Beta saja. Beberapa menit saja, Nolly..” tapi lagi-lagi Cokropranolo menolak. Akhirnya Pak Des pulang tanpa membawa gambar sang proklamator.Beberapa bulan kemudian, tak dinyana ia bertemu Bung Karno saat sedang membesuk seorang tokoh (nama tokoh lupa). “Saat itu saya bersalaman dengan beliau, kondisinya memang sedang tak sehat, tapi beliau masih mengenali saya. Yang saya sungguh sesalkan, saat itu saya tidak bawa kamera..aduuhh kacau ini..sayang sekali. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Bung Karno hingga dia wafat” kata Pak Des mengenang.
Mengenai kecintaannya pada dunia fotografi dan film, sampai saat ini Pak Des masih menyimpan ratusan film seluloid 14 mm yang berisi berbagai peristiwa penting di tanah air. Menurutnya, pita film seluloid koleksinya itu mencapai 14 km jika diukur panjangnya. Termasuk satu film langka yang mendokumentasikan detik-detik Soekarno ketika ‘dipaksa’ keluar dari Istana Negara. Saat itu Soekarno bercelana panjang dan berbaju singlet saja. Tampak juga Soekarno tengah membagi-bagikan dasi miliknya kepada para wartawan sebagai kenangan-kenangan.Namun sekarang, koleksi film-film Pak Des dalam kondisi memprihatinkan. Di kantornya di daerah Tanah Tinggi, Senen, film-film itu bergeletakan tak teratur. Ada beberapa yang sudah tampak usang dan berdebu. “Saya sendiri bingung, bagaimana kalau saya meninggal, siapa yang akan merawat dan menyimpan film-film ini?” Pak Des mengaku membutuhkan bantuan pemerintah untuk perawatan film-film ini. Ia mengatakan bahwa ia sedang mengajukan bantuan untuk proyek pentransferan film-filmya dari seluloid menjadi DVD. (yayat)
Lahir :Banda Neira,Kepulauan Maluku.17 November 1927
Pendidikan :- Ivevo Kramat Batavia (1941-19440- Matriculation, Poly Technical School bagian Sound & Radio di Nederland pada Nederlandse Seintoeshellen Fabric (Phillips)- Latihan Tropikal Frequency Menengah di PTT Bandung
Profesi :- Produser Film- Atase Kebudayaan RI di Bern, Swiss, Wina, Budapest dan Manila- Ketua Delegasi Indonesia dalam Festival Film Karlovy Varri tahun 1954- Pembina Pembuatan Film-film Dokumenter Kebudayaan- Pembantu Sutradara- Direktur Public dan International Relation Bouraq Airlines- Ketua Yayasan 10 November 45
Lunglai di Rawa Klambu
RAMBUT gondrong, jenggot berjuntai tak terurus. Mukanya pucat seperti kehilangan darah. Berhari-hari di rawa dengan bekal minim membuat Amir Sjarifoeddin lunglai dan terserang disentri. Bersama rombongannya, dia sulit keluar dari rawa di hutan Klambu, Grobogan, Jawa Tengah, yang terkenal angker. Mereka dikepung tentara yang menyeru supaya Amir menyerah. Amir menjawab hanya akan berpasrah kepada Pasukan Divisi Panembahan Senopati.
Permintaan Amir dipenuhi. Pasukan Senopati menjemput. Amir berjalan terpincang. Bekas perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu. Kacamatanya masih bagus. Pipa cangklong, yang biasanya tak pernah terpisahkan dengannya, absen. Siang itu, 29 November 1948, akhir pengembaraan Amir yang diburu TNI karena peristiwa Madiun.
Amir menyerah bersama tokoh PKI Soeripno, serta empat pengawal. Kuda Amir sebelumnya sudah tertinggal, dan anjing kesayangannya, Sora (sering dipanggil Zero), ditemukan tentara pada 26 November. "Dalam pernyataan pertamanya, Amir mengatakan akan kembali ke Solo dan Yogya dengan menyamar sebagai pedagang," kata Harry A. Poeze, dalam bukunya, PKI Bergerak: Pemberontakan atau Peristiwa?. Dua hari sebelum Amir ditangkap, tentara melancarkan operasi pembersihan di rawa Godong, dekat Nawangan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pasukan Kala Hitam, yang dipimpin Kemal Idris, menurunkan Seksi I Siradz dan Seksi III Sarmada. Ketika berpatroli, tentara menemukan beberapa orang di semak. Sewaktu dipanggil, mereka berpura-pura mati. Tentara mengancam akan menembak sehingga semua mengangkat tangan. Mereka mengaku dari desa dan menjadi tawanan PKI. Pasukan Kala Hitam tak percaya pengakuan itu, soalnya mereka memiliki pistol. Komandan Peleton Suratman, seperti ditulis Tempo pada 1976, melihat mereka putus asa, kelelahan, dan kelaparan. Bagaimanapun, mereka seperti orang kota yang tak terbiasa berkeliaran di hutan dan rawa. "Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit sekali. Pandangan terhalang oleh pepohonan," kata Suratman.
Setelah dibawa ke pos terdekat, baru diketahui bahwa orang yang mengaku penduduk desa itu pentolan Front Demokrasi Rakyat/PKI, yakni Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, dan Sardjono. Dalam pemeriksaan, Djoko Soedjono mengatakan Amir berada beberapa ratus meter dari tempat dia. Tujuan mereka bukan menyeberang ke daerah pendudukan Belanda, melainkan bergabung dengan pasukan PKI yang dikira masih aktif. Pengembaraan Amir dan pentolan PKI lainnya di rawa-rawa mulai dilakukan setelah Madiun direbut tentara. Musso, Amir, dan pucuk pimpinan yang lain buru-buru mengundurkan diri ke Dungus dan Ngebel, Ponorogo. Mereka dikawal pasukan tentara merah dan ribuan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan anak-anak. Mereka membawa berjuta ORI (Oeang Republik Indonesia), berkarung beras, mesin tulis, mobil, amunisi, kambing, ayam, bendi, kuda. Sebagian perbekalan itu berceceran di jalan. Dokumen tertulis saja yang tak pernah tertinggal. Mereka berjalan kaki, sebagian berkuda. Dalam buku Revolusi Agustus, Soemarsono bercerita semua perbekalan itu akan dipakai untuk persiapan setelah masuk wilayah kekuasaan Belanda. Sampai di Balong, Ponorogo, Musso berselisih dengan Amir. Surat kabar Sin Po menggambarkan konflik kedua pemimpin itu karena perebutan kekuasaan di Madiun. Sumber lain menyebutkan Musso dan Amir berbeda pendapat tentang basis penyerangan baru sesudah Madiun jatuh. Musso menghendaki ke selatan, sedangkan Amir ke utara. Muhammad Dimyati, dalam bukunya, Sedjarah Perdjuangan Indonesia, melontarkan pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Musso seorang diri? Mengapa ia tak mendapat pengawalan bersenjata, padahal ada ribuan prajurit merah aktif? Dimyati menulis: "Masih mendjadi soal gelap jang tidak mudah diterangkan." Musso dikawal beberapa orang yang bertualang ke selatan dan terdampar di pegunungan sekitar Ponorogo. Dia tewas dalam penyergapan pada 31 Oktober 1948. Sedangkan induk pasukan Amir meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan menuju Tegalombo ke Pacitan. Pasukan Amir bertemu dan bergabung dengan pasukan Ahmad Jadau di Purwantoro. Atas saran Ahmad Jadau, mereka bergerak ke utara. Iring-iringan lebih dari 2.000 orang itu dikawal Pesindo di depan, belakang, lambung kiri dan kanan. Poeze mengatakan rombongan itu meliputi pengikut PKI bersenjata, kader, dan keluarga. Ada juga orang desa yang dipaksa ikut sehingga jumlahnya membengkak terus dalam setiap perjalanan. Tentara mengepung PKI di segitiga Ponorogo-Pacitan-Wonogiri, tapi sama sekali bukan pagar betis kuat. Pasukan TNI tak bisa menutup semua akses sehingga tentara merah berhasil lari ke utara. Tapi long march menggerus sebagian kekuatan PKI. Dalam pertempuran di Purwantoro, PKI kehilangan tim Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk. Pasukan Amir sampai di Wirosari dan masih memiliki 800 personel bersenjata dan seribu anggota keluarga. Bekas Panglima Siliwangi, Himawan Soetanto, mengatakan pasukan Amir menuju ke daerah Belanda karena ada kemungkinan selamat dan terus hidup dibanding berada di daerah Republik.
Dua bulan pasukan PKI melakukan long march. Rombongan akhirnya sampai di daerah rawa di hutan Klambu, Grobogan, sekitar 50 kilometer dari Madiun. Kekuatan mereka tinggal sekitar lima ratus orang karena serangan tentara Indonesia. Dalam serangan 26-29 November di kawasan Klambu, sekitar 1.200 tentara PKI menyerahkan diri, termasuk Amir dan pemimpin lainnya yang menanti eksekusi. Gubernur Militer Madiun PKI Soemarsono selamat karena berhasil masuk ke daerah pendudukan Belanda yang digariskan dalam Perjanjian Renville.
Kabar kedatangan para tahanan dari Klambu ditunggu ribuan warga Yogyakarta. Amir, Soeripno, dan Harjono dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api pada 5 Desember 1948. Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hoek Gie menulis kereta sengaja dikosongkan untuk keperluan itu. Wartawan Antara mewawancarai mereka di kereta. Amir diam sambil membaca Rome and Juliet karya William Shakespeare. Dua lainnya mengatakan pasrah sejak meninggalkan Madiun. Amir dan kawan-kawan ditahan berdasarkan aturan yang menetapkan bahwa gubernur militer berwenang menjebloskan tahanan politik atau militer ke penjara. Ada 560 tahanan yang diatur dengan tata cara dan disiplin militer di Yogyakarta. Tahanan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni mereka yang sekadar ikut-ikutan, terlibat langsung, dan para pemimpin. Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu pedalaman Republik atau dikenal dengan Agresi Militer II. Tentara Indonesia harus siap perang gerilya karena sulit menandingi kekuatan Belanda. Sejumlah tahanan dibebaskan dan dipersenjatai. Pembebasan itu berlanjut sampai Januari 1949. Sekitar 35 ribu tahanan politik dibebaskan untuk menangkis Belanda. Pembebasan itu tak berlaku bagi Amir dan sepuluh orang lainnya yang dibawa ke Desa Ngalihan, sebelah timur Solo. Mereka adalah Amir, Soeripno, Maroeto, Sardjono, Oei Gee Hwat, Harjono, Djoko Soedjono, Sukarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangkoe. D.N. Aidit, seperti dikutip Lembaga Sedjarah PKI, melukiskan peristiwa di Ngalihan pada 1953. Larut malam di Ngalihan. Sekitar dua puluh orang sibuk menggali kuburan. Kepada Amir diperlihatkan surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto mengenai eksekusi pemimpin PKI itu. Amir dan kawannya bercakap dengan tentara. Soeripno sempat menulis surat untuk istrinya. Mereka lalu menyanyikan Indonesia Raja dan Internasionale. "Setelah selesai bernjanji Bung Amir menjerukan: bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!" Amir ditembak lebih dulu. Isu eksekusi Amir beredar beberapa hari kemudian di Jakarta. Namun pemerintah menolak memberikan pembenaran. Penjara Amir kosong, tapi keberadaannya tak terlacak. Wartawan Rosihan Anwar mengatakan, sejumlah media, termasuk Pedoman, luput memberitakan peristiwa malam berdarah di Ngalihan. Pada Januari 1949, Sin Po menulis bahwa Amir dan Maroeto dihukum mati. Wawancara Sin Po dengan Ketua Mahkamah Militer Tinggi Koesoemaatmadja menyebutkan pemimpin PKI dibawa ke Solo dan diserahkan ke Gubernur Militer Gatot Subroto ketika penyerangan Belanda. Sesudah penyerahan kedaulatan pada 1950, peristiwa eksekusi itu mencuat lagi. Istri Harjono dan Djoko Soedjono menerima kabar bahwa suami mereka dieksekusi pada 19 Desember 1948. Pada 15-18 November 1950, kuburan digali dan jenazah diidentifikasi. Pemakaman kembali pada 19 November disaksikan sepuluh ribu pengunjung.
Di Ngalihan, makam tak bernisan itu kini tak terawat. Penduduk setempat hanya mengenalnya sebagai kuburan PKI. Ngalihan menjadi semacam penutup episode Madiun yang menelan korban ribuan orang. Aidit menyebutkan, operasi tentara dalam Peristiwa Madiun menyebabkan sepuluh ribu buruh dan tani tewas.
Permintaan Amir dipenuhi. Pasukan Senopati menjemput. Amir berjalan terpincang. Bekas perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu. Kacamatanya masih bagus. Pipa cangklong, yang biasanya tak pernah terpisahkan dengannya, absen. Siang itu, 29 November 1948, akhir pengembaraan Amir yang diburu TNI karena peristiwa Madiun.
Amir menyerah bersama tokoh PKI Soeripno, serta empat pengawal. Kuda Amir sebelumnya sudah tertinggal, dan anjing kesayangannya, Sora (sering dipanggil Zero), ditemukan tentara pada 26 November. "Dalam pernyataan pertamanya, Amir mengatakan akan kembali ke Solo dan Yogya dengan menyamar sebagai pedagang," kata Harry A. Poeze, dalam bukunya, PKI Bergerak: Pemberontakan atau Peristiwa?. Dua hari sebelum Amir ditangkap, tentara melancarkan operasi pembersihan di rawa Godong, dekat Nawangan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pasukan Kala Hitam, yang dipimpin Kemal Idris, menurunkan Seksi I Siradz dan Seksi III Sarmada. Ketika berpatroli, tentara menemukan beberapa orang di semak. Sewaktu dipanggil, mereka berpura-pura mati. Tentara mengancam akan menembak sehingga semua mengangkat tangan. Mereka mengaku dari desa dan menjadi tawanan PKI. Pasukan Kala Hitam tak percaya pengakuan itu, soalnya mereka memiliki pistol. Komandan Peleton Suratman, seperti ditulis Tempo pada 1976, melihat mereka putus asa, kelelahan, dan kelaparan. Bagaimanapun, mereka seperti orang kota yang tak terbiasa berkeliaran di hutan dan rawa. "Pertempuran di hutan berawa-rawa itu sulit sekali. Pandangan terhalang oleh pepohonan," kata Suratman.
Setelah dibawa ke pos terdekat, baru diketahui bahwa orang yang mengaku penduduk desa itu pentolan Front Demokrasi Rakyat/PKI, yakni Djoko Soedjono, Maroeto Daroesman, dan Sardjono. Dalam pemeriksaan, Djoko Soedjono mengatakan Amir berada beberapa ratus meter dari tempat dia. Tujuan mereka bukan menyeberang ke daerah pendudukan Belanda, melainkan bergabung dengan pasukan PKI yang dikira masih aktif. Pengembaraan Amir dan pentolan PKI lainnya di rawa-rawa mulai dilakukan setelah Madiun direbut tentara. Musso, Amir, dan pucuk pimpinan yang lain buru-buru mengundurkan diri ke Dungus dan Ngebel, Ponorogo. Mereka dikawal pasukan tentara merah dan ribuan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bersenjata lengkap berikut kaum ibu dan anak-anak. Mereka membawa berjuta ORI (Oeang Republik Indonesia), berkarung beras, mesin tulis, mobil, amunisi, kambing, ayam, bendi, kuda. Sebagian perbekalan itu berceceran di jalan. Dokumen tertulis saja yang tak pernah tertinggal. Mereka berjalan kaki, sebagian berkuda. Dalam buku Revolusi Agustus, Soemarsono bercerita semua perbekalan itu akan dipakai untuk persiapan setelah masuk wilayah kekuasaan Belanda. Sampai di Balong, Ponorogo, Musso berselisih dengan Amir. Surat kabar Sin Po menggambarkan konflik kedua pemimpin itu karena perebutan kekuasaan di Madiun. Sumber lain menyebutkan Musso dan Amir berbeda pendapat tentang basis penyerangan baru sesudah Madiun jatuh. Musso menghendaki ke selatan, sedangkan Amir ke utara. Muhammad Dimyati, dalam bukunya, Sedjarah Perdjuangan Indonesia, melontarkan pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Musso seorang diri? Mengapa ia tak mendapat pengawalan bersenjata, padahal ada ribuan prajurit merah aktif? Dimyati menulis: "Masih mendjadi soal gelap jang tidak mudah diterangkan." Musso dikawal beberapa orang yang bertualang ke selatan dan terdampar di pegunungan sekitar Ponorogo. Dia tewas dalam penyergapan pada 31 Oktober 1948. Sedangkan induk pasukan Amir meneruskan perjalanan. Mereka menyusuri jalan menuju Tegalombo ke Pacitan. Pasukan Amir bertemu dan bergabung dengan pasukan Ahmad Jadau di Purwantoro. Atas saran Ahmad Jadau, mereka bergerak ke utara. Iring-iringan lebih dari 2.000 orang itu dikawal Pesindo di depan, belakang, lambung kiri dan kanan. Poeze mengatakan rombongan itu meliputi pengikut PKI bersenjata, kader, dan keluarga. Ada juga orang desa yang dipaksa ikut sehingga jumlahnya membengkak terus dalam setiap perjalanan. Tentara mengepung PKI di segitiga Ponorogo-Pacitan-Wonogiri, tapi sama sekali bukan pagar betis kuat. Pasukan TNI tak bisa menutup semua akses sehingga tentara merah berhasil lari ke utara. Tapi long march menggerus sebagian kekuatan PKI. Dalam pertempuran di Purwantoro, PKI kehilangan tim Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk. Pasukan Amir sampai di Wirosari dan masih memiliki 800 personel bersenjata dan seribu anggota keluarga. Bekas Panglima Siliwangi, Himawan Soetanto, mengatakan pasukan Amir menuju ke daerah Belanda karena ada kemungkinan selamat dan terus hidup dibanding berada di daerah Republik.
Dua bulan pasukan PKI melakukan long march. Rombongan akhirnya sampai di daerah rawa di hutan Klambu, Grobogan, sekitar 50 kilometer dari Madiun. Kekuatan mereka tinggal sekitar lima ratus orang karena serangan tentara Indonesia. Dalam serangan 26-29 November di kawasan Klambu, sekitar 1.200 tentara PKI menyerahkan diri, termasuk Amir dan pemimpin lainnya yang menanti eksekusi. Gubernur Militer Madiun PKI Soemarsono selamat karena berhasil masuk ke daerah pendudukan Belanda yang digariskan dalam Perjanjian Renville.
Kabar kedatangan para tahanan dari Klambu ditunggu ribuan warga Yogyakarta. Amir, Soeripno, dan Harjono dibawa ke Yogyakarta dengan kereta api pada 5 Desember 1948. Dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hoek Gie menulis kereta sengaja dikosongkan untuk keperluan itu. Wartawan Antara mewawancarai mereka di kereta. Amir diam sambil membaca Rome and Juliet karya William Shakespeare. Dua lainnya mengatakan pasrah sejak meninggalkan Madiun. Amir dan kawan-kawan ditahan berdasarkan aturan yang menetapkan bahwa gubernur militer berwenang menjebloskan tahanan politik atau militer ke penjara. Ada 560 tahanan yang diatur dengan tata cara dan disiplin militer di Yogyakarta. Tahanan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni mereka yang sekadar ikut-ikutan, terlibat langsung, dan para pemimpin. Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu pedalaman Republik atau dikenal dengan Agresi Militer II. Tentara Indonesia harus siap perang gerilya karena sulit menandingi kekuatan Belanda. Sejumlah tahanan dibebaskan dan dipersenjatai. Pembebasan itu berlanjut sampai Januari 1949. Sekitar 35 ribu tahanan politik dibebaskan untuk menangkis Belanda. Pembebasan itu tak berlaku bagi Amir dan sepuluh orang lainnya yang dibawa ke Desa Ngalihan, sebelah timur Solo. Mereka adalah Amir, Soeripno, Maroeto, Sardjono, Oei Gee Hwat, Harjono, Djoko Soedjono, Sukarno, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangkoe. D.N. Aidit, seperti dikutip Lembaga Sedjarah PKI, melukiskan peristiwa di Ngalihan pada 1953. Larut malam di Ngalihan. Sekitar dua puluh orang sibuk menggali kuburan. Kepada Amir diperlihatkan surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto mengenai eksekusi pemimpin PKI itu. Amir dan kawannya bercakap dengan tentara. Soeripno sempat menulis surat untuk istrinya. Mereka lalu menyanyikan Indonesia Raja dan Internasionale. "Setelah selesai bernjanji Bung Amir menjerukan: bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!" Amir ditembak lebih dulu. Isu eksekusi Amir beredar beberapa hari kemudian di Jakarta. Namun pemerintah menolak memberikan pembenaran. Penjara Amir kosong, tapi keberadaannya tak terlacak. Wartawan Rosihan Anwar mengatakan, sejumlah media, termasuk Pedoman, luput memberitakan peristiwa malam berdarah di Ngalihan. Pada Januari 1949, Sin Po menulis bahwa Amir dan Maroeto dihukum mati. Wawancara Sin Po dengan Ketua Mahkamah Militer Tinggi Koesoemaatmadja menyebutkan pemimpin PKI dibawa ke Solo dan diserahkan ke Gubernur Militer Gatot Subroto ketika penyerangan Belanda. Sesudah penyerahan kedaulatan pada 1950, peristiwa eksekusi itu mencuat lagi. Istri Harjono dan Djoko Soedjono menerima kabar bahwa suami mereka dieksekusi pada 19 Desember 1948. Pada 15-18 November 1950, kuburan digali dan jenazah diidentifikasi. Pemakaman kembali pada 19 November disaksikan sepuluh ribu pengunjung.
Di Ngalihan, makam tak bernisan itu kini tak terawat. Penduduk setempat hanya mengenalnya sebagai kuburan PKI. Ngalihan menjadi semacam penutup episode Madiun yang menelan korban ribuan orang. Aidit menyebutkan, operasi tentara dalam Peristiwa Madiun menyebabkan sepuluh ribu buruh dan tani tewas.
Foto atas, Saat Amir tiba di Yogyakarta dengan kereta api tanggal 5 Desember 1948...masyarakat tidak menyambutnya sebagai Pahlawan.
Sumber: Majalah TEMPO online 8 November 2010
GBPH Joyokusumo: Presiden Tak Pernah Belajar Sejarah
GBPH Joyokusumo: Presiden tak pernah belajar sejarah.
YOGYAKARTA –– Pakar politik pemerintahan Universitas Gadjah Mada, A.A.G.N. Arie Dwipayana, menilai pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahwa sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tak mungkin monarki merupakan konsekuensi politik. “Suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah dengan pemilihan, bukan penetapan,” ujar Arie kepada Tempo kemarin. Tapi, katanya, pernyataan Presiden itu belum juga memberikan jawaban bagaimana posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Presiden dalam sambutan pembuka rapat kabinet terbatas di kantor Presiden kemarin menegaskan, sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mungkin monarki. “Tidak mungkin ada sistem monarki, yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi,” kata Presiden. Menurut Presiden, Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tak boleh diabaikan. Selain itu, ada perangkat sistem nasional, juga keistimewaan, yang harus dihormati di Yogyakarta dan implementasi nilai demokrasi untuk negeri. Hal ini secara implisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, katanya, keistimewaan tetap akan dipahami dari sejarah dan aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar. “Harus tetap menampakkan dalam struktur pemerintah keistimewaan itu,”katanya. Arie Dwipayana mengatakan penilaian Presiden bahwa sistem monarki bertabrakan dengan demokrasi dan konstitusi terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab, kenyataannya, Inggris maupun negara Skandinavia, yang menggunakan sistem monarki, bisa hidup dalam demokrasi. “Jadi tak benar jika monarki tak bisa hidup dalam nilai-nilai demokrasi,”kata Arie. Menurut Arie, monarki perlu diterapkan dalam konteks Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan membuat desain bagaimana monarki bisa diakomodasi dalam demokrasi. Semisal dengan membuat sistem monarki konstitusional, yakni menggabungkan warisan tradisi monarki sebagai simbol pengayom dengan demokrasi. Adapun GBPH Joyokusumo, adik kandung Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan pernyataan Presiden itu menunjukkan bahwa pemerintah saat ini, termasuk Presiden Yudhoyono, tidak pernah belajar sejarah. “Tapi hanya belajar sejarah elite Barat,” ujar Joyokusumo, yang pernah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar. Tapi, menurut dia, langkah Hamengku Buwono IX telah mengajarkan soal demokrasi ala Jawa, yaitu semua kebijakan bermanfaat bagi rakyat, bukan sistem. “Kalau demokrasi ala Soeharto berdasarkan sistem.” Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY Janu Ismadi menegaskan, apa pun pernyataan Presiden, DPRD DIY tetap mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.“Ya, kami tidak bisa menerima pernyataan itu begitu saja,”kata Janu. Dewan berharap RUU Keistimewaan DIY bisa diselesaikan tahun ini, lantaran 2011 adalah masa berakhirnya perpanjangan masa jabatan Gubernur DIY.“Pengawalan yang dilakukan DPRD DIY tidak lagi melalui pengiriman delegasi yang ketiga, melainkan melalui perwakilan DPR RI dari daerah pemilihan DIY,”katanya. Saat ini posisi draf RUUK masih di Kantor Kementerian Dalam Negeri.
Foto: Lembaran Negara. Himpunan Undang2 1945, Koesnodiprodjo, Penerbit SK SENO Jakarta 1951.
YOGYAKARTA –– Pakar politik pemerintahan Universitas Gadjah Mada, A.A.G.N. Arie Dwipayana, menilai pernyataan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahwa sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tak mungkin monarki merupakan konsekuensi politik. “Suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah dengan pemilihan, bukan penetapan,” ujar Arie kepada Tempo kemarin. Tapi, katanya, pernyataan Presiden itu belum juga memberikan jawaban bagaimana posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Presiden dalam sambutan pembuka rapat kabinet terbatas di kantor Presiden kemarin menegaskan, sistem yang akan dianut pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mungkin monarki. “Tidak mungkin ada sistem monarki, yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi,” kata Presiden. Menurut Presiden, Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tak boleh diabaikan. Selain itu, ada perangkat sistem nasional, juga keistimewaan, yang harus dihormati di Yogyakarta dan implementasi nilai demokrasi untuk negeri. Hal ini secara implisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, katanya, keistimewaan tetap akan dipahami dari sejarah dan aspek lain yang memang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar. “Harus tetap menampakkan dalam struktur pemerintah keistimewaan itu,”katanya. Arie Dwipayana mengatakan penilaian Presiden bahwa sistem monarki bertabrakan dengan demokrasi dan konstitusi terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab, kenyataannya, Inggris maupun negara Skandinavia, yang menggunakan sistem monarki, bisa hidup dalam demokrasi. “Jadi tak benar jika monarki tak bisa hidup dalam nilai-nilai demokrasi,”kata Arie. Menurut Arie, monarki perlu diterapkan dalam konteks Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan membuat desain bagaimana monarki bisa diakomodasi dalam demokrasi. Semisal dengan membuat sistem monarki konstitusional, yakni menggabungkan warisan tradisi monarki sebagai simbol pengayom dengan demokrasi. Adapun GBPH Joyokusumo, adik kandung Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan pernyataan Presiden itu menunjukkan bahwa pemerintah saat ini, termasuk Presiden Yudhoyono, tidak pernah belajar sejarah. “Tapi hanya belajar sejarah elite Barat,” ujar Joyokusumo, yang pernah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar. Tapi, menurut dia, langkah Hamengku Buwono IX telah mengajarkan soal demokrasi ala Jawa, yaitu semua kebijakan bermanfaat bagi rakyat, bukan sistem. “Kalau demokrasi ala Soeharto berdasarkan sistem.” Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY Janu Ismadi menegaskan, apa pun pernyataan Presiden, DPRD DIY tetap mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.“Ya, kami tidak bisa menerima pernyataan itu begitu saja,”kata Janu. Dewan berharap RUU Keistimewaan DIY bisa diselesaikan tahun ini, lantaran 2011 adalah masa berakhirnya perpanjangan masa jabatan Gubernur DIY.“Pengawalan yang dilakukan DPRD DIY tidak lagi melalui pengiriman delegasi yang ketiga, melainkan melalui perwakilan DPR RI dari daerah pemilihan DIY,”katanya. Saat ini posisi draf RUUK masih di Kantor Kementerian Dalam Negeri.
Foto: Lembaran Negara. Himpunan Undang2 1945, Koesnodiprodjo, Penerbit SK SENO Jakarta 1951.
Mitos Amerika di Kaki Lawu
TEMPO online 08 November 2010
DI ketinggian seribu dua ratus meter, telaga itu membentang. Airnya tenang, dengan kedalaman hampir tiga puluh meter. Hawa sejuk senantiasa merapat di sekitarnya. Gunung Lawu yang menjulang kukuh terlihat menancapkan kakinya. Keindahan panoramanya membuat wisatawan rajin berlabuh di Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Seperti memenuhi hasrat turis, banyak hotel dan vila mengitari telaga seluas tiga puluh hektare ini. Dulu pun orang-orang Belanda membangun rumah dan hotel di kawasan Sarangan. Tapi, pada saat Agresi Militer Belanda Kedua, akhir 1948, tentara Republik membakar bangunan-bangunan itu. Sebagian sisa bangunannya masih terlihat hingga kini. Di sini pula, tersimpan rumor tentang pertemuan pemerintah Amerika dengan pemerintah Indonesia. Satu pertemuan yang oleh pihak komunis diduga ikut mempengaruhi penyingkiran orang-orang kiri oleh Kabinet Hatta dalam Peristiwa Madiun pada September 1948. Tuduhan keterlibatan Amerika di Madiun pada 1948 muncul setelah peristiwa itu sendiri. Adalah Paul de Groot, pemimpin komunis di Belanda, seperti ditulis ahli Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Ann Swift, dalam disertasinya berjudul The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948, yang membuka teori provokasi Peristiwa Madiun oleh Amerika. Di hadapan parlemen Belanda, sebulan setelah Peristiwa Madiun, De Groot menuduh Charlton Ogburn, penasihat politik delegasi Amerika dalam Komite Jasa Baik untuk Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertemu dengan Sukarno dan Hatta di Sarangan, tiga bulan sebelum Peristiwa Madiun meletus. Dalam pertemuan ini, Amerika menjanjikan pengiriman senjata dan penasihat teknis jika pemerintah Indonesia mau menyingkirkan komunis. Tuduhan ini langsung dibantah oleh Menteri Penerangan Mohammad Natsir. Belakangan, tuduhan De Groot ini diadopsi oleh komunis Rusia pada Januari 1949. Tiga tahun setelah Peristiwa Madiun, wartawan Prancis, Roger Vailland, juga menuliskan pertemuan itu dalam Boroboudour, Voyage à Bali, Java et autres Iles. Versi Roger ini ditelan oleh majalah Bintang Merah milik PKI. Berdasarkan tulisan Roger, pertemuan Sarangan digelar pada 21 Juli. Indonesia diwakili Presiden Sukarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Mohammad Natsir, Menteri Dalam Negeri Soekiman Wirjosandjojo, Mohamad Roem, dan Kepala Kepolisian Soekanto. Dari pihak Amerika, hadir Duta Besar Merle Cochran dan penasihat Presiden Harry Truman, Gerard Hopkins. Pertemuan ini disebut menghasilkan Red Drive Proposal. Salah satu isinya, Amerika memberikan US$ 56 juta untuk menghancurkan PKI. Bintang Merah juga menyebutkan Kabinet Hatta menggunakan Rp 3 juta untuk menyogok Dokter Muwardi, pemimpin Gerakan Revolusi Rakyat, untuk membuat insiden Solo yang kemudian memunculkan Peristiwa Madiun. Mantan Gubernur Militer Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun Soemarsono meyakini adanya Red Drive Proposal. Soemarsono mengaku mendengar dari mantan perdana menteri Amir Sjarifoeddin-yang digantikan Hatta setelah Perundingan Renville-soal pertemuan itu. Amir mengatakan adiknya saat pertemuan itu menyaksikan siapa saja yang hadir. Sukarno saat itu hanya diam. Sedangkan Hatta menyetujui tawaran Amerika. "Yang banyak bicara Hatta, Soekiman, dan Roem," katanya. Menurut Soemarsono, seperti tertulis dalam buku Revolusi Agustus, saat itu PKI memang menghadapi gerakan antikomunis dari sejumlah pihak. Partai Nasional Indonesia dan Masyumi, misalnya, semula mendukung Amir Sjarifoeddin yang memimpin delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville. Tak lama setelah perundingan itu, PNI dan Masyumi berbalik menentang hasil Perundingan Renville-yang akhirnya menjatuhkan Amir dari jabatannya. Belakangan, kabinet Hatta yang melaksanakan Perundingan Renville justru menyertakan orang-orang PNI dan Masyumi. Inilah yang membuat PKI yakin, penyingkiran orang-orang kiri sudah direncanakan setelah Perundingan Renville. Soemarsono tak heran, Hatta yang sering berseberangan dengan PKI, dan Menteri Dalam Negeri Soekiman yang tokoh Masyumi, menyetujui pemberangusan kaum kiri pada saat pertemuan Sarangan. Kondisi ini sejalan dengan niat Amerika membendung komunis di berbagai belahan dunia. Di sisi lain, Sukarno menginginkan pengakuan kedaulatan dari negara Barat. "Bung Karno waktu itu berpihak pada Hatta," kata Soemarsono. Banyak pihak meragukan adanya pertemuan Sarangan. Hersri Setiawan, mantan tahanan politik di Pulau Buru yang pernah mewawancarai Soemarsono, mengatakan pernah mencoba menelusuri dokumen pertemuan itu. Tapi nyatanya tak ada satu pun dokumen kuat yang mampu menjelaskan pertemuan dan Red Drive Proposal. "Saya menyimpulkan (proposal) itu mengada-ada," katanya. Sejarawan Rushdy Hussein menilai gejala keterlibatan Amerika memang ada. Misalnya, setelah Perundingan Renville, Amerika yang tadinya mendukung Belanda berbalik arah ke Indonesia. Selain itu, pihak komunis menganggap Kepala Kepolisian Soekanto merupakan binaan Amerika karena pada 1948 menjalani pelatihan di sana. "Tapi semua itu hanya gejala psikologis. Kaitannya tidak langsung. Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai mitos," ujar Rushdy. Ann Swift malah menunjukkan kelemahan mendasar versi PKI yang menganggap pertemuan dilakukan pada 21 Juli 1948. Padahal, "Merle Cochran baru tiba di Indonesia pada 9 Agustus 1948," tulis Swift. Toh, Swift menunjukkan Cochran membujuk Sukarno dan Hatta agar mengeliminasi komunis dari Indonesia, seperti tertulis dalam dokumen milik kantor Hubungan Luar Negeri Departemen Pertahanan Amerika. Dokumen itu menyebutkan, Cochran rajin menemui Presiden dan Perdana Menteri. Ia khawatir, komunis akan menjatuhkan kabinet Hatta. Sebagai imbalan menumpas komunis, Amerika akan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda yang lebih bisa diterima, meski sebelumnya Amerika lebih berpihak kepada Belanda untuk melawan blok Soviet di Eropa melalui bantuan Marshall Plan. Indonesia pun memanfaatkan ketakutan Amerika sebagai tekanan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda. Swift menilai peran Cochran yang memang antikomunis sangat besar dalam membujuk pelenyapan kaum Marxis. Meski menyarankan Hatta segera mengambil tindakan militer kepada komunis, Cochran tak terlihat menawarkan bantuan senjata. Menurut Swift, pada 6 September, seorang pejabat tinggi Indonesia, diduga dari Masyumi, mengirim telegram ke Konsul Jenderal Amerika di Jakarta. Isinya, Hatta telah menyiapkan aksi tanpa kompromi terhadap komunis. Tapi Hatta membutuhkan bantuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin muncul. Belanda sempat menawarkan bantuan tapi ditolak. Saat itu Amerika hanya menjawab upaya terbaik dari Hatta akan menjadi pintu kesepakatan dengan Belanda. Jika kesepakatan itu terjadi, Amerika akan membantu perekonomian Indonesia. Belakangan, saat berbicara dengan Cochran setelah Peristiwa Madiun, Hatta sendiri mengatakan membutuhkan peralatan persenjataan kepolisian. Tapi Cochran menjawab bantuan ekonomi tersedia begitu federasi Indonesia tercipta. Entah ada entah tiada bantuan dari Amerika, yang jelas, penumpasan PKI di Madiun akhirnya terlaksana. Pada 1 Oktober 1948, Konsulat Amerika menyatakan Peristiwa Madiun sebagai "kekalahan pertama komunis". Di Hotel Huisje Hansje, Red Drive Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika kepada pemerintah Indonesia. Tapi pengurus Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia serta warga setempat tak tahu persis lokasi hotel itu. Bung Karno memang pernah ke Sarangan sebelum Peristiwa Madiun. Saat itu ia membawa istrinya, Fatmawati, dan kedua anaknya, Megawati Soekarnoputri dan Guntur Soekarnoputra. "Tapi menginapnya di Hotel Merdeka," kata bekas karyawan Hotel Merdeka, Sukarno. Sejarawan Rushdy Hussein pernah mencari Hotel Huisje Hansje. Tapi tak ada petunjuk apa pun yang ditemukannya. Rushdy menduga, hotel itu ikut dibakar pada saat Agresi Militer Belanda Kedua. Huisje Hansje seperti lenyap membawa mitos bernama Red Drive Proposal.
---------------------------------
Foto atas jalan masuk ke Hotel Huize Hansje (jadi bukan Huisje Hansje) pada tahun 1935. Saya waktu bertugas di magetan, tinggal tidak jauh dari Sarangan yaitu didesa Plaosan. Hampir 3 tahun mencari bekas hotel yang namanya Huize Hansje. Rupanya sudah dihancurkan oleh TNI menjelang Agresi Belanda ke II (Desember 1948) agar tidak dipakai Belanda. Kemungkinan besar sisa bangunan juga sudah hilang. Kini Sarangan adalah daerah wisata yang banyak dikunjungi turis dalam negeri atau manca negara.
Biro Perjuangan, dan TNI Bagian Masyarakat
Oleh Marwati Djoened Poesponegoro,Nugroho Notosusanto
Usaha golongan kiri untuk menguasai Angkatan Perang dilakukan bertahap sejak Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Pertahanan, Usaha pertama ialah memanipulasi badan pendidikan tentara yang dibentuk oleh Markas Tertinggi TKR. Pembentukan badan pendidikan ini diusulkan oleh beberapa perwira dalam Rapat Besar TKR bulan November 1945. Usul tersebut disetujui olch pimpinan TKR dan sebagai realisasinya dibentuk suatu komisi yang bertugas monyusun garis-garis besar pendidikan tentara. Anggota komisi terdiri atas enam orang. Selain komisi dibentuk pula staf Badan Pendidikan Tentara, yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat. Ketua badan itu pada bulan Februari 1946 berhasil merumuskan lima bidang pendidikan bagi TRl, meliputi politik, agama, kejiwaan, sosial, dan pengetahuan umum. Anggota-anggota badan pendidikan itu kemudian diangkat sebagai perwira TRI. Sejalan dengan perkembangan TRI, pada bulan Mei 1946 diadakan reorganisasi dalam tubuh TRI dan Kementerian Pertahanan. Dalam pertemuan dengan pemimpin TRI dan pemimpin laskar-laskar pada tanggal 24 Mei 1946, Menteri Pertahanan berhasil mendesak keinginatuiya, sehingga Badan Pendidikan ini dialihkan dari Markas Tertinggi TKR ke Kementerian Pertahanan. Namanya diubah menjadi Staf Pendidikan Politik Tcntara (Pepolit), yang akan dipimpin oleh opsir-opir politik. Pada tanggai 30 Mei 1946, 55 opsir politik dilantik oleh Menteri Pertahanan. Sebagai pimpinan Pepolit, ditunjuk Sukuno Djojopratignjo dengan pangkat Letnan Jenderal Rumusan pendidikan yang semula dianggap masuk akal itu, sejak berubah menjadi Pepolit ternyata rnenimbulkan persoalan baru dalam tubuh TRI. Para opsir politik ditugasi untuk merapatkan hubungan tentara dan rakyat. Pada tiap-tiap divisi diperbantukan lima orang opsir politik yang berpangkat letnan kolonel, semuanya adalah anggota Pesindo, pendukung Amir Sjarifuddin. Pepolit tcrnyata dieksploitasi oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin untuk kepentingan politiknya sehingga tumbuh nienjadi semacam komisaris politik (komisar) seperti pada Angkatan Perang Uni Sovyet, yang berkedudukan sejajar dengan para komandan pasukan. Oleh karena itu, ditolak oleh sebagian panglima divisi dan para komandan pasukan, karena dianggap sebagai penyebar ideologi komunis. Kolonel Gatot Subroto, misalnya, mcnolak kehadiran opsir poiitik di lingkungan divisinya. Akibatnya adalah aktivitas Pepolit ini merosot di daeral-daerah. Scsuai dengan keputusan Panitia Besar Rcorganisasi Tentara, pada buian Mei 1946 Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk lembaga baru yaitu Biro Perjuangan dan dikukuhkannya Dewan Pcnasihat Pimpinan Tentara. Biro Perjuangan adalah badan pelaksana dari Kementerian Pertahanan yang bertugas menampung laskar-laskar yang semula didirikan oleh partai-partai politik. Dibentuknya Biro Perjuangan ini dilihat dari segi ketahanan nasional sesungguhnya sangat menguntungkan pemerintah. Laskar-laskar atau badan-badan pcrjuangan yang semula terpecah-pecah di dalam pelbagai kelompok ideologi dari "anak" partai poiitik, dapat disatukan dan dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintah akan memiliki potensi cadangan yang tangguh dan besar di samping tentara reguler. Diharapkan adanya pcmbagian tugas yang serasi dan harmonis antara tentara reguler dan Laskar-laskar rakyat sebagai partisan. Biro Perjuangan juga akan merupakan pusat cadangan nasional yang menyalurkan dan mengatur tugas cadangan di dalam rangka ketahanan nasional. Tugas cadangan tidak semata-mata untuk bertempur, tetapi merupakan tenaga yang aktif dan berperan di dalam masyarakat, seperti aktivitas menambah produksi. Namun, di dalam perkembangan selanjutnya Biro Perjuangan ini dijadikan arena adu kekuatan untuk menandingi tentara reguler. Menteri Pcrtahanan Amir Sjarifuddin berusaha keras mcnguasai biro ini untuk kepentingan politiknya. Pimpinan biro ini dipegang oleh kelompok yang seideologi dengan Amir Sjarifuddin, yaitu kelompok komunis. Mereka adaiah Djokosujono dan Ir. Sakirman sehagai kepala dan wakil kepalanya, yang masing-masing mendapat pangkat jenderal mayor. Biro ini kemudian mendapat peran yang kuat setelah Kabinet Sjahrir mendapat tantangan dari keiompok Persatuan Perjuangan terutama setelah terjadi penarikan atas diri Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pemerintah menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Organisasi Biro Perjuangan diperluas. Pada bulan September 1946 diberi wewenang untuk mengoordinasikan barisan cadangan. Pada bulan Oktober 1946 tugasnya ditambah dengan mengkoordinasikan Dewan Kelaskaran Seberang. Bahkan mereka mewakili resimen-resimen kelaskaran dan Polisi Tentara Laskar yang berdiri sendiri secara vertikal di bawah Biro Perjuangan, Fungsi cadangan sebagaimana vang dikehendaki tidak terlaksana, bahkan dengan adanya Biro perrjuangan ini seakan-akan terdapat dua macam tentara. Kelompok Amir yang memonopoli Biro Perjuangan ini memasukkan seluruh program dan konsepsi perjuangan partainya, sehingga biro ini lebih merupakan pendukung kekuatan politik Amir daripada suatu badan resmi pemerintah. Akibatnya, terdapat dualisme dalam bidang pertahanan nasional. Di satu pihak terdapat tentara reguler di bawah pimpinan Jenderal Soedirman dan di pihak lain Laskar-laskar yang secara de facto di bawah pimpinan tertinggi Menteri Pertahanan melalui Biro Perjuangan. Laskar-laskar mempunyai posisi dan tugas yang sama dengan TRI Perbedaannya hanyalah TRI adaiah milik nasional sedangkan Laskar-laskar adalah milik partai-partai politik. Keadaan semacam ini disadari oteh pemimpin nasional, yang kemudian menyatukan dua kekuatan itu menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada bulan Juni 1947. TNI dipimpin oleh sebuah badan yang disebut Pucuk Pimpinan TNI. Keanggotaannya bersifal kolektif. Dua orang di antaranya adaiah tokoh komunis, yaknt Ir. Sakirman dan Djokosujono. Dengan dcmikian, berakhirlah peran Biro Perjuangan. Akan tetapi, berakhirnya peran Biro Perjuangan ini tidaklah berarti berakhirnya usaha Amir Sjarifuddin untuk menghimpun kekuatannya, Sebagian Lasar-laskar yang berideologi komunis tidak man bergabung dcngart TNI sccara penuh, Mcreka ditampung dalam suatu wadah yang diberi naina TNI Bagian Masyarakat yang dibentuik pada bulan Agustus 1947. Pimpinan TNI Bagian Masyarakat adaiah Ir. Sakirman yang juga duduk dalam Pucuk Pimpinan TNI. Pada tanggal 26 Oktober 1947 TNII Bagian Masyarakat mengadakan konferesi. Wakil Perdana Mentcri Sctiadjit yang separtai dan sealiran dengan Amir Sjarifuddin menegaskan bahwa TNI Bagian Masyarakat adalah jembatan antara tentara dan rakyat dalam usaha mempersatukan tenaga dalam pertahanan serta memberikan pendidikan ideologi kepada tentara. Rupanya adanya struktur organisasi Pucuk Pimpman TNI yang bersitat kolektif dimanfaatkan oleh kelompok Amir Sjarifuddin, Dengan demikian, ia berhasil menghimpun kembali kekuatan di bawah naungan nama TNI, dengan konsepsi dan garis politik yang tetap. Kebijakan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin ini memancing perdebatan sengit dalam sidang BP KNIP tanggal 12 November 1947. Beberapa anggota KNIP menuduh bahaya pembentukan TNI Bagian Masyarakat ini terlalu politis, tidak sesuai dengan konsepsi pertahanan Rakyat Semesta. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan Menteri Muda Pertahanan Arudji Kartawinata menyatakan adanya TNI Bagian Masyarakat dan Pepolit, nurupakan konsekuensi dari prinsip-prinsip pertahanan yakni tentara harus mengenal poltik, agar mereka sadar membela kepetingan politik, jika pada suatu saat pertentangan politik memuncak berubah menjadi perang. Keterangan pemerinlah tersebut mendapat tantangan keras dari PNI dan Masyumi. PNI menyatakan TNI Bagian Masyarakat bukanlah tentara, melainkan organisasi politik karena hampir 100 %, pimpinannya berada di tangan Sayap Kiri. Diusulkan agar pimpinannya diubah dengan mengikut sertakan semua organisasi rakyat, sehingga tercipta suatu fighting democracy. PNI setuju di dalam prinsip, tetapi menolak monopoli kepemimpinan Sayap Kiri, Pihak Masyumi sama sckali menolak bentuk itu bahkan menganjurkan agar TNI Bagian Masyarakat dibubarkan. Pada hakikatnya TNI Bagian Masyarakat ini adalah Biro Perjuangan bentuk baru dan merupakan rangkaian usaha Amir Sjarifuddin untuk mempersenjatai kelompok organisasinya untuk tujuan jangka panjang serta mendapatkan biaya dari pemerintah, Anggota TNI Masyarakat pada masa Kabinet Amir telah mencapai jumlah 90.000 orang yang-dirasionalisasi pada waktu Kabinet Hatta.
Foto: Tampak Perdana Menteri Amir membelakangi lensa.
Pahlawan Nasional dari Papua J.A Dimara
Pemerintah menetapkan dua tokoh sebagai pahlawan nasional. Dua tokoh yang ditetapkan yakni DR Johannes Leimena dari Maluku dan Johannes Abraham (JA) Dimara dari Papua. Siapak Dimara. Rupanya banyak yang tidak tahu. Pahlawan nasional Johane Abraham Dimara lahir di desa Korem Biak Utara pada tanggal 16 April 1916. Dia adalah putra dari Kepala Kampung Wiliam Dimara. Ketika mulai beranjak besar (13 tahun), ketika masih disekolah desa, dirinya diangkat anak oleh orang Ambon bernama Elisa Mahubesi dan dibawa kekota Ambon. Anak Biak yang tumbuh cepat dengan postur atletis ini mulai masuk agama Kristen dan diberi nama Johanes Abraham. Nama kecilnya Arabel berganti Anis (dari Johanes) Papua (berasal dari Irian). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan Dimara pada tahun 1930. Selanjutnya masuk sekolah pertanian dan selesai tahun 1935. Sesuai dengan pendidikannya pada sekolah Injil yang dilakukannya setelah tahun 1935 (saat itu usianya mendekati 20 tahun), dirinya kemudian menjadi tokoh dalam profesi nya lebih lanjut yaitu guru agama Kristen. Dia menjadi guru penginjil di kecamatan Leksula, Maluku Tengah . Tepatnya di pulau Buru. Ketika zaman Jepang tiba, Dimara masuk menjadi anggota Heiho. Ketika Indonesia merdeka, Dimara bekerja dipelabuhan Namlea Ambon. Pada suatu hari ditahun 1946, masuk kapal Sindoro berbendera Merah Putih. Sebenarnya ini adalah kapal yang membawa sejumlah Anggota ALRI asal suku Maluku dari Tegal. Maksudnya melakukan penyusupan di Ambon untuk memberitakan peristiwa Proklamasi dan tentu saja berjuang. Komandan pasukan ini adalah Kapten Ibrahim Saleh dan jurumudi Yos Sudarso (kemudian jadi Laksamana dan gugur di laut Aru). Dimara sebagai anggota polisi, ditugaskan untuk meneliti kapal RI ini. Maka terjadi pembicaraan diatas kapal, khususnya dengan Yos Sudarso. Pihak RI minta bantuan agar kapal bias mendarat penuh. Merasa insting nasionalismenya bangkit, Dimara bersedia membantu. Tapi menganjurkan agar kapal didaratkan di Tanjung Nametek sekitar satu kilometer dari namlea. Selanjutnya Dimara membantu perjuangan RI. Sempat ditangkap dan dipenjara bersama para pejuang Indonesia lainnya. Tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan, bergabung dengan Batalyon Patimura APRIS dan ikut dalam penumpasan RMS. Pada suatu hari dalam kunjungan ke Makasar (sekitar tahun 1950-an), Presiden Soekarno menengok pasien di Rumah sakit Stella maris. Ketika itu Dimara sedang dirawat di Rumah sakit Stella Maris itu. Itulah pertama kali Dimara bertemu Presiden RI. Tidak terasa waktu berjalan cepat dan tahun 60-an RI berjuang untuk mengembalikan Pulau Irian bagian barat kedalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dimara adalah salah seorang pejuang yang ikut dalam pembebasan Irian Barat. Dirinya adalah anggota OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat). Sungguh jasanya tidak kecil karena dalam operasi di Kaimana, dia sempat ditangkap dan terluka. Dimara adalah saksi hidup perjuangan RI didaerah timur dan pangkatnya Mayor TNI menjelang pensiun. Pada tahun 2000 dirinya ditemui Wapres Megawati dirumah kontrakan sederhanaya didaerah Slipi. Meskipun pernah menjadi anggota DPA, Dimara orang sederhana yang mencintai Tanah Air Indonesia dan Bendera Merah Putih. Pada tanggal 20 Oktober 2000, Johanes Dimara tutup usia.
Nyonya Semarang dan Chiang Kai Shek
Kompas Cetak Kamis, 12 Agustus 2010
Tidak banyak dikenal, bahkan terlupakan, itulah Oei Hui Lan, perempuan Semarang yang menjalankan diplomasi informal untuk Generalissimo Chiang Kai Shek pada Perang Dunia II. Hui Lan, kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 21 Desember 1889, adalah putri Oei Tiong Ham, konglomerat pertama Asia Tenggara, bos Kian Gwan Concern yang dijuluki ”Rockefeller Asia”. Oei Hui Lan adalah sosialita dunia, menghabiskan waktu di Semarang, Singapura, London, Paris, Shanghai, Beijing, Washington DC, dan terakhir kali menutup usia di New York, Amerika Serikat. ”Madame Song Mei Ling, istri Jenderal Chiang, selalu memuji Hui Lan di depan para pemimpin dunia. Dia disebut sebagai orang penting di balik layar diplomasi Tiongkok semasa Perang Dunia II,” kata Tommy Lee, Kepala Penerangan Kamar Dagang Taiwan di Jakarta. Hui Lan menjadi tokoh di belakang layar diplomasi dunia setelah menikahi Wellington Koo, Duta Besar dan kelak Menteri Luar Negeri Republik Tiongkok (Zhong Hua Min Guo) saat berada di Eropa dan AS semasa Perang Dunia II. Buku Raja Gula Oei Tiong Ham karya Liem Tjwan Ling menyebutkan, Hui Lan hijrah ke London menemani ibunya, Goei Bing Nio, tahun 1918. Ia tinggal di sebuah rumah seluas 1,6 hektar lebih di Oaklands, Wimbledon.Saat liburan di Venesia, Putri Alice dari Monako memperkenalkan Nyonya Goei dan Hui Lan kepada para bangsawan.
JodohSelepas Venesia, Nyonya Goei mengajak Hui Lan ke Paris. Sang ibu bercerita hendak menjodohkan dirinya dengan seorang diplomat Tiongkok yang tidak lain adalah Wellington Koo. Wellington sebelumnya sudah pernah dua kali menikah karena dijodohkan paksa di zaman peralihan Dinasti Qing yang kolot dan munculnya Tiongkok Baru. Mereka bertemu saat Perang Dunia I baru berakhir. Wellington Koo adalah orang nomor dua dalam delegasi Tiongkok yang membahas tatanan dunia pascaperang. Mereka menikah akhir tahun 1918 di kantor perwakilan Tiongkok di Brussels, Belgia. Pasang-surut politik Tiongkok pada tahun 1920-an dialami pasangan Wellington dan Hui Lan saat tinggal di Beijing. Sempat tersingkir, saat Chiang Kai Shek mengambil alih kekuasaan, pemerintah Chiang akhirnya memanggil kembali Wellington. Terlahir dari keluarga superkaya, Hui Lan sudah terbiasa berkendara dengan mobil sekelas Bentley dan Rolls Royce pesanan khusus hadiah perkawinan. Kiprah Hui Lan dalam panggung diplomasi dunia dimulai tahun 1938 ketika Wellington Koo menjadi Duta Besar Republik Tiongkok untuk Perancis tahun 1936. Saat itu baru ada 13 kedutaan besar di Paris. Hui Lan, yang terbiasa bergaul dengan kalangan atas, mulai mengenal dunia protokoler diplomatik dan segera menyesuaikan diri. Hui Lan memperkenalkan politisi penting Eropa dengan masakan Tionghoa seperti sup hisit (sirip ikan hiu) dan merogoh kantong pribadi, melengkapi kedutaan besar dengan perabot Tiongkok dan Perancis nomor satu di Avenue George V, Paris. Kung Hsiang Hsi, Menteri Keuangan Tiongkok, menilai, kedutaan itu adalah perwakilan Tiongkok terindah di dunia. Saat Perang Dunia II meletus dan separuh Perancis diduduki Nazi Jerman, Kedutaan Tiongkok pindah ke Kota Vichy. Vichy adalah pemerintahan Perancis ”merdeka” yang berada di sebelah selatan negeri itu. Tidak lama berada di Vichy, Hui Lan mengikuti suami yang dipindahkan ke London, Inggris, di tengah peperangan. Mereka berangkat via Lisabon, Portugal, yang merupakan negara netral. Sekali lagi, Hui Lan menjalin hubungan akrab dengan Ibu Suri Mary, Putri Elizabeth (kini Ratu Elizabeth), Perdana Menteri Winston Churchill, dan tentu saja Raja George VI yang memimpin Kerajaan Inggris. Istana Buckhingham menjadi tempat yang biasa disambangi Hui Lan. Hui Lan memodifikasi acara high tea (minum teh sore) dengan suguhan sup sarang burung walet, sup hisit, lidah burung merak dengan jamur dan kacang, serta beragam hidangan eksotis. Hui Lan dikenal mampu memancing suasana yang kaku menjadi hangat seperti suatu ketika di jamuan makan malam di Downing Street 10 bersama Churchill yang sedang bermuram durja. Churchill akhirnya tertawa lepas setelah Hui Lan berbincang dan mengajaknya berbicara soal hobi melukis sang PM.
ChurchillChurchill meminta pada Hui Lan agar diberi kesempatan berburu harimau Manchuria sebelum meninggal. Hui Lan menyanggupi permintaan tersebut. Selanjutnya, tahun 1944, Wellington dan Hui Lan untuk sementara menghadiri sidang di Dumbarton Oaks, AS, untuk meletakan dasar berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1946, Wellington Koo menjadi Duta Besar Tiongkok di AS. Hui Lan bergaul dengan sobat baru seperti Presiden Harry S Truman. Hui Lan menjadi istri Dubes hingga suaminya mengakhiri penugasan di AS tahun 1956. Wellington, ujar Tommy Lee, kembali menikahi perempuan lain. ”Namun, secara resmi yang dikenal sebagai Madame Wellington Koo adalah Oei Hui Lan dari Semarang,” kata Lee. Oei Hui Lan mengakhiri hari tua di dalam sepi dan lepas dari kehidupan yang glamour. Dia menulis buku yang judulnya diambil dari pepatah Tionghoa, Mei You Bu San De Yan Qing-Tidak ada pesta yang tak berakhir-No Feast Lasts Forever. Akhir hidup sederhana dari seorang perempuan asal keluarga superkaya. Perusahaan Kian Gwan Concern diambil alih Pemerintah Republik Indonesia dan berganti nama jadi Rajawali Nusindo. (penulis Iwan Santosa http://cetak.kompas.com/read/2010/08/12/0231284/nyonya.semarang..dan..chiang.kai.shek.)
Gambar atas: Wellington Koo dan Madame Wellington (Oei Hui Lan) dalam publikasi Life...
Tidak banyak dikenal, bahkan terlupakan, itulah Oei Hui Lan, perempuan Semarang yang menjalankan diplomasi informal untuk Generalissimo Chiang Kai Shek pada Perang Dunia II. Hui Lan, kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 21 Desember 1889, adalah putri Oei Tiong Ham, konglomerat pertama Asia Tenggara, bos Kian Gwan Concern yang dijuluki ”Rockefeller Asia”. Oei Hui Lan adalah sosialita dunia, menghabiskan waktu di Semarang, Singapura, London, Paris, Shanghai, Beijing, Washington DC, dan terakhir kali menutup usia di New York, Amerika Serikat. ”Madame Song Mei Ling, istri Jenderal Chiang, selalu memuji Hui Lan di depan para pemimpin dunia. Dia disebut sebagai orang penting di balik layar diplomasi Tiongkok semasa Perang Dunia II,” kata Tommy Lee, Kepala Penerangan Kamar Dagang Taiwan di Jakarta. Hui Lan menjadi tokoh di belakang layar diplomasi dunia setelah menikahi Wellington Koo, Duta Besar dan kelak Menteri Luar Negeri Republik Tiongkok (Zhong Hua Min Guo) saat berada di Eropa dan AS semasa Perang Dunia II. Buku Raja Gula Oei Tiong Ham karya Liem Tjwan Ling menyebutkan, Hui Lan hijrah ke London menemani ibunya, Goei Bing Nio, tahun 1918. Ia tinggal di sebuah rumah seluas 1,6 hektar lebih di Oaklands, Wimbledon.Saat liburan di Venesia, Putri Alice dari Monako memperkenalkan Nyonya Goei dan Hui Lan kepada para bangsawan.
JodohSelepas Venesia, Nyonya Goei mengajak Hui Lan ke Paris. Sang ibu bercerita hendak menjodohkan dirinya dengan seorang diplomat Tiongkok yang tidak lain adalah Wellington Koo. Wellington sebelumnya sudah pernah dua kali menikah karena dijodohkan paksa di zaman peralihan Dinasti Qing yang kolot dan munculnya Tiongkok Baru. Mereka bertemu saat Perang Dunia I baru berakhir. Wellington Koo adalah orang nomor dua dalam delegasi Tiongkok yang membahas tatanan dunia pascaperang. Mereka menikah akhir tahun 1918 di kantor perwakilan Tiongkok di Brussels, Belgia. Pasang-surut politik Tiongkok pada tahun 1920-an dialami pasangan Wellington dan Hui Lan saat tinggal di Beijing. Sempat tersingkir, saat Chiang Kai Shek mengambil alih kekuasaan, pemerintah Chiang akhirnya memanggil kembali Wellington. Terlahir dari keluarga superkaya, Hui Lan sudah terbiasa berkendara dengan mobil sekelas Bentley dan Rolls Royce pesanan khusus hadiah perkawinan. Kiprah Hui Lan dalam panggung diplomasi dunia dimulai tahun 1938 ketika Wellington Koo menjadi Duta Besar Republik Tiongkok untuk Perancis tahun 1936. Saat itu baru ada 13 kedutaan besar di Paris. Hui Lan, yang terbiasa bergaul dengan kalangan atas, mulai mengenal dunia protokoler diplomatik dan segera menyesuaikan diri. Hui Lan memperkenalkan politisi penting Eropa dengan masakan Tionghoa seperti sup hisit (sirip ikan hiu) dan merogoh kantong pribadi, melengkapi kedutaan besar dengan perabot Tiongkok dan Perancis nomor satu di Avenue George V, Paris. Kung Hsiang Hsi, Menteri Keuangan Tiongkok, menilai, kedutaan itu adalah perwakilan Tiongkok terindah di dunia. Saat Perang Dunia II meletus dan separuh Perancis diduduki Nazi Jerman, Kedutaan Tiongkok pindah ke Kota Vichy. Vichy adalah pemerintahan Perancis ”merdeka” yang berada di sebelah selatan negeri itu. Tidak lama berada di Vichy, Hui Lan mengikuti suami yang dipindahkan ke London, Inggris, di tengah peperangan. Mereka berangkat via Lisabon, Portugal, yang merupakan negara netral. Sekali lagi, Hui Lan menjalin hubungan akrab dengan Ibu Suri Mary, Putri Elizabeth (kini Ratu Elizabeth), Perdana Menteri Winston Churchill, dan tentu saja Raja George VI yang memimpin Kerajaan Inggris. Istana Buckhingham menjadi tempat yang biasa disambangi Hui Lan. Hui Lan memodifikasi acara high tea (minum teh sore) dengan suguhan sup sarang burung walet, sup hisit, lidah burung merak dengan jamur dan kacang, serta beragam hidangan eksotis. Hui Lan dikenal mampu memancing suasana yang kaku menjadi hangat seperti suatu ketika di jamuan makan malam di Downing Street 10 bersama Churchill yang sedang bermuram durja. Churchill akhirnya tertawa lepas setelah Hui Lan berbincang dan mengajaknya berbicara soal hobi melukis sang PM.
ChurchillChurchill meminta pada Hui Lan agar diberi kesempatan berburu harimau Manchuria sebelum meninggal. Hui Lan menyanggupi permintaan tersebut. Selanjutnya, tahun 1944, Wellington dan Hui Lan untuk sementara menghadiri sidang di Dumbarton Oaks, AS, untuk meletakan dasar berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1946, Wellington Koo menjadi Duta Besar Tiongkok di AS. Hui Lan bergaul dengan sobat baru seperti Presiden Harry S Truman. Hui Lan menjadi istri Dubes hingga suaminya mengakhiri penugasan di AS tahun 1956. Wellington, ujar Tommy Lee, kembali menikahi perempuan lain. ”Namun, secara resmi yang dikenal sebagai Madame Wellington Koo adalah Oei Hui Lan dari Semarang,” kata Lee. Oei Hui Lan mengakhiri hari tua di dalam sepi dan lepas dari kehidupan yang glamour. Dia menulis buku yang judulnya diambil dari pepatah Tionghoa, Mei You Bu San De Yan Qing-Tidak ada pesta yang tak berakhir-No Feast Lasts Forever. Akhir hidup sederhana dari seorang perempuan asal keluarga superkaya. Perusahaan Kian Gwan Concern diambil alih Pemerintah Republik Indonesia dan berganti nama jadi Rajawali Nusindo. (penulis Iwan Santosa http://cetak.kompas.com/read/2010/08/12/0231284/nyonya.semarang..dan..chiang.kai.shek.)
Gambar atas: Wellington Koo dan Madame Wellington (Oei Hui Lan) dalam publikasi Life...
Indoloog
Indoloog adalah perkumpulan di Belanda sebelum perang dunia ke II yang terdiri dari orang-orang yang peduli pada Hindia Belanda. Van Mook pernah menjadi anggota pengurus perkumpulan ini. Sayangnya hampir semua anggotanya adalah orang Eropah, seolah hanya mereka yang paling tahu tentang Indonesia. Perkumpulan ini rupanya punya hubungan erat dengan lembaga penjajahan pada saat itu.
Indonesia Raya, Merdeka...Merdeka
Bung Karno penggali Pancasila dan Presiden pertama Republik Indonesia. Beliau adalah Proklamator sekaligus pembangkit dan penggerak rakyat untuk melawan penjajahan sehingga Indonesia mencapai kemerdekaannya. Dalam rangka peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2010 pantaslah kita mengenang, menghargai dan menghormati sang penggali. Pancasila sudah jarang dibicarakan orang. Mungkin sekedar dianggap kata-kata tanpa makna dalam pembukaan UUD 1945. Padahal, selain sebagai perekat bangsa Pancasila adalah way of live serta tujuan dari bangsa Indonesia sendiri yang sampai saat ini belum sempurna dicapai....
150 tahun buku Max Havelaar oleh Multatuli (E.Douwes Dekker)
Salah satu bagian yang menarik dalam Film Max Havelaar adalah bagian akhir, dimana Max memprotes institusinya sendiri yaitu pemerintah Hindia Belanda atas segala tindak tanduk yang kurang berperikemanusiaan. Pemerintah Hindia Belanda adalah pemerintah Kolonial yang bejad, korup dan menyengsarakan rakyat. Dan itu sebuah kenyataan yang ingin dibela baik oleh tokoh dalam buku Max Havelaar maupun oleh Multatuli sendiri (nama samaran E.Douwes Dekker) sang pengarang, yang memang pernah secara nyata menjadi pegawai Kolonial di Lebak. Dalam cerita, akhirnya Max Havelaar pulang kenegeri Belanda dalam kondisi sengsara dan terhina. Demikian pula Multatuli. Pantaslah kita memuliakan tokoh kontroversal Belanda yang melawan kolonialisme Belanda ini. Pemerintah Hindia Belanda telah menindas orang pribumi dan menguntungkan kaum Pangreh Pradja yang bertindak sebagai alat mereka. Marilah kita peringati 150 tahun terbitnya buku Max Havelaar tersebut.
Suksesi 1966-1967
Siapa tidak sangsi kalau Suksesi Soekarno kepada Soeharto berjalan seperti itu. Bukankah Soekarno yang melantik Soeharto sebagai Menpangad menggantikan Akhmad Yani. Lalu Soekarno yang menerbitkan Supersemar yang diserahkan dan diemban Soeharto untuk dilaksanakan. Itu cerita awal peralihan kekuasaan sampai terbentuknya Presidium Kabinet Ampera I dimana Soekarno tetap Presiden dan Soeharto adalah ketua Presidium. Semua mengalir sampai Sidang Umum MPRS ke IV Juni 1966. Supersemar, secarik kertas perintah eksekutif soal pengamanan berubah fungsinya menjadi Tap MPRS no IX 1966 . Sebenarnya tanggal 20 Februari 1967 Soekarno telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto. Tapi saat Sidang Istimewa MPRS Maret 1967 terbitlah Tap MPRS no XXXIII 1967 yang isinya pencabutan kekuasaan dari tangan Soekarno dan menyerahkannya ketangan Pejabat Presiden Jenderal Soeharto. Sejak itu kurang lebih Soekarno bukan apa-apa lagi dan kemudian menjadi tahanan rumah sampai hari wafatnya tanggal 21 Juni 1970. Soekarno mencintai Indonesia sampai akhir hayatnya.
KRI Dewaruci
Kapal berukuran 58,5 meter dan lebar 9,5 meter dari kelas Barquentine ini dibangun di H.C. Stulchen & Sohn Hamburg, Jerman dan merupakan satu-satunya kapal layar tiang tinggi produk galangan kapal itu pada 1952 yang masih laik layar dari tiga yang pernah diproduksi. Pembuatan kapal ini dimulai pada tahun 1932, namun terhenti karena saat Perang Dunia II galangan kapal pembuatnya rusak parah. Kapal tersebut akhirnya selesai dibuat pada tahun 1952 dan diresmikan pada tahun 1953. Pada bulan Juli 1953 dilayarkan ke Indonesia oleh awak kapal Jerman dan Indonesia. Setelah itu KRI Dewaruci yang berpangkalan di Surabaya, ditugaskan sebagai kapal latih yang melayari kepulauan Indonesia dan juga ke luar negeri.
Kusworo putra Dr Setia Budi
Kusworo adalah putra dari Dr Setia Budi. Siapa Setia Budi atau Douwes Dekker itu ? Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 29 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Karena kegiatannya melawan Kolonialisme, dia dibuang ke Afrika Selatan dan baru kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan pada tahun 1947.
Dr Kartono Mohamad :
Sebuah berita di antara berita tentang nasib janda pahlawan kemerdekaan yang diadili karena menempati rumah dinas. Di tengah hiruk pikuknya pegawai pajak golongan IIIA yang mempunyai kekayaan berpuluh milyar hanya dalam waktu lima tahun setelah bekerja di kantor pajak. Diseling berita anggaran untuk mengentaskan kemiskinan sebesar 3,6 triliun untuk 13 provinsi, sementara dana bail out bank century sebesar 6,7 triliun untuk beberapa gelintir orang. Di antara slogan pemerintah yang katanya pro-rakyat.
Salam Historia!
KM
Clip diatas diambil dari: http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newscatvideo/sosbud/2010/04/02/102670/Anak-Dauwer-Dekker-Terlunta-lunta
Film zaman Baheula
Sejarah Bioskop di Bulan Film
Hitung punya hitung, usia bioskop di Indonesia sudah lebih dari satu abad. Hampir 110 tahun, jika dirunut dari pemutaran film pertama di sebuah rumah di kawasan Kebondjae, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 5 Desember 1900. Harga tiket pada saat itu adalah setengah gulden hingga 2 gulden. Dan yang diputar adalah film bisu, hitam-putih, berisi kedatangan "Sribaginda Maharatoe Olanda bersama-sama Jang Moelja Hertog Hendrik" ke kota Den Haag.Sebelum itu, konsep pertunjukan film atau yang lebih dikenal dengan istilah gambar idoep lebih seperti bioskop keliling. Yakni dengan mendirikan bangunan sederhana berdinding gedek dan beratap seng di lapangan terbuka, seperti di Pasar Gambir, di muka Stasiun Kota, dan Lokasari di Mangga Besar. Dengan begitu, lokasi "bioskop sementara" itu selalu berubah-ubah.Berdasarkan catatan sejarah itu, awal mula kehadiran bioskop di Tanah Air terhitung hanya berselang empat tahun setelah kelahiran bioskop pertama di dunia. Banyak literatur menyebut tanggal 1 Januari 1896 sebagai hari kelahiran bioskop di dunia. Ketika itu, Auguste dan Louis Lumiere pertama kali mempertontonkan gambar hidup dengan tiket di Grand Cafe, Boulevad des Capucines, Paris, Prancis.Arsip sejarah yang menghubungkan keterangan waktu kelahiran bioskop pertama di dunia dan di Indonesia itu adalah petikan awal materi "Pameran Sejarah Bioskop Indonesia". Pameran ini digelar di selasar Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, sepanjang Maret tahun ini. Bulan Maret disepakati sebagai Bulan Film Nasional. Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, momen itu diperingati dengan rangkaian acara yang mengambil tema "Sejarah Adalah Sekarang".Selain "Pameran Sejarah Film Indonesia", perhelatan yang diprakarsai Kineforum dan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta itu juga menyelenggarakan pemutaran film-film Indonesia dari berbagai periode dengan berbagai tema.Selain itu, perhelatan "Sejarah Adalah Sekarang" yang memasuki tahun keempat penyelenggaraannya ini juga menghadirkan sejarah industri musik Indonesia yang berkaitan dengan produksi film. Penelusurannya dilakukan dalam format diskusi, konser musik, pesta kostum, dan --tentu saja-- pemutaran film yang diwakili Duo Kribo (1977) dan Ambisi (1973).Bulan Film Indonesia ini juga mengenang dan mengapresiasi almarhum Soekarno M. Noer. Ia seorang aktor watak yang kuat, dan kemampuan aktingnya dinilai membawa dinamika dalam khazanah seni peran di film-film Indonesia selama tiga dekade. Dalam sesi "Body of Works: Soekarno M. Noer", diputar tujuh film yang dibintangi ayah aktor Rano Karno ini. Antara lain Pagar Kawat Berduri (1961) dan Opera Jakarta (1985).Ardi Yunanto, kurator dan anggota tim riset pameran sejarah bioskop di Indonesia, menyebutkan bahwa pameran ini rutin digelar sebagai bagian program peringatan Bulan Film Indonesia sejak 2008. Dari tahun ke tahun, materi informasi dalam pameran ini diperbarui dan ditambahkan.Tidak ada strategi khusus yang dikembangkan untuk menunjang riset pameran sejarah bioskop ini. Maklum, biaya yang tersedia sangat terbatas. Tahun 2010 ini, misalnya, pameran ini hanya mendapat jatah Rp 10 juta. Uang sebesar itu sebagian besar dialokasikan untuk ongkos mendisplai pameran.Pameran sejarah bioskop di Indonesia dikemas secara sederhana. Panel-panel disusun memanjang dan di dalamnya termuat informasi sejarah yang disusun secara kronologis dari tahun 1891 hingga 2009. Informasi sejarah bioskop ditempatkan di atas garis waktu. Sedangkan di bawah garis waktu, terpapar petikan informasi sejarah sosial-politik di Indonesia dan dunia. Di antara itu, disisipkan foto dan teks tentang gedung-gedung bioskop dari zaman baheula yang didapat dari Sinematek Indonesia.Hal yang membedakan pameran pada tahun ini dari tahun-tahun sebelumnya, menurut Ardi, adalah penambahan informasi sejarah bioskop dalam rentang 1900-1970-an. Dan satu lagi modus yang bahkan tidak ada dalam pameran sebelumnya, yakni pemaparan informasi sejarah sosial-politik yang seolah menyertai perkembangan sejarah bioskop di Indonesia.Disebut "seolah", karena meski berada dalam satu garis waktu, kenyataannya hampir seluruh petilan informasi sejarah sosial-politik yang dipilih tidak memiliki relasi dengan teks sejarah bioskop. Misalnya, tahun 1920, teks sejarah bioskop memuat kelahiran Bioskop Concordia yang kini menjadi Gedung Merdeka di Bandung dan kelahiran Bioskop Elite di kawasan Pintu Air, Jakarta. Teks sosial-politik untuk tahun yang sama memuat informasi tentang William L. Potts, seorang polisi Amerika Serikat yang menciptakan lampu lalu lintas otomatis pertama untuk mobil.Atau informasi tentang kelahiran Masyarakat Film Indonesia pada 3 Januari 2007 yang diawali dengan protes sekelompok sineas atas terpilihnya film Eskul yang dianggap "plagiat" sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 2006. Informasi sosial-politik yang "mengiringi" data itu adalah tentang sekitar 1.000 anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota dari seluruh Indonesia yang melakukan protes dan demonstrasi untuk merevisi PP Nomor 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, yang mereka nilai "menyunat" uang tunjangan komunikasi.Dengan begitu, informasi sosial-politik yang terpapar dalam pameran ini lebih berperan sebagai informasi pembanding atas sejarah bioskop. Seperti air dan minyak dengan berat jenis berbeda. Selain itu, metode pemutakhiran dan pengelolaan data dalam pameran ini terasa lebih berorientasi pada catatan masa lalu. Para peneliti sempat memutakhirkan temuan informasi seputar bioskop pada kurun 1900-1970-an, tapi luput mencatat kejadian aktual.Pada Januari-Februari 2010, Pemerintah Kota Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung, tercatat "menggusur" dan membongkar tiga bangunan bersejarah bekas bioskop: Benteng Hebe, Garuda, dan Surya, yang berusia rata-rata satu abad. Di lokasi dua bioskop yang terakhir disebutkan akan didirikan gedung pertemuan, sedangkan bangunan eks Bioskop Benteng Hebe malah tercatat dalam daftar cagar budaya. Informasi itu luput dalam entry pameran sejarah bioskop tahun 2010 ini.Sebagai catatan, informasi paling buncit tentang sejarah bioskop dalam pameran ini adalah mengenai upaya peninjauan kembali Undang-Undang Perfilman yang mengemuka dalam pertemuan 32 pemangku kepentingan film di kantor Badan Pertimbangan Perfilman Nasional, Jakarta, pada 8 Oktober 2009.Namun, di luar itu, materi sejarah bioskop terasa asyik dan menggelitik untuk disimak. Seperti informasi pada akhir Desember 1929 yang menandai diputarnya film bitjara pertama di Indonesia. Ketika itu, Bioskop Oost Java dan Stadstuin, Surabaya, memutar film The Rainbow Man yang dibintangi Marion Nixon dan Franky Draro. Lahirnya bioskop-bioskop film bitjara ini membuat dialog-dialog dalam film asing tidak dimengerti oleh penonton pribumi.Ada juga informasi tentang gejala munculnya aktivitas seksual di dalam gedung bioskop mulai tahun 1920-an. Lahirnya undang-undang pertama tentang film dan bioskop pada 1916 yang berisi tentang pembentukan komisi pemeriksaan (sensor) film di Indonesia yang anggotanya ditunjuk langsung oleh gubernur jenderal. Hingga larangan Pemerintah Indonesia atas keikutsertaan film Lewat Djam Malam dalam Festival Film Asia (FFA) pada 1955 yang memicu lahirnya Festival Film Indonesia pertama.Petilan-petilan informasi dalam "Pameran Sejarah Film Indonesia" adalah model perangkuman pencatatan sejarah yang sangat terbuka pada upaya-upaya pemutakhiran data. Sebuah prakarsa sederhana yang sangat berharga.
Oleh: Bambang Sulistiyo
Negara Pasundan Ciptaan Belanda
Oleh H. ROSIHAN ANWAR, Ph.D (Hon.)
SETELAH Belanda melancarkan aksi militer pertama terhadap Republik Indonesia tanggal 21 Juli 1947, wilayah yang dikuasai oleh republik semakin menciut. Jawa Barat untuk sebagian besar telah diduduki oleh tentara Belanda. Komisi Jasa-Jasa Baik dari PBB berusaha supaya perundingan dapat terus diadakan di kapal perang Amerika Renville yang berlabuh di Teluk Priok. Saya satu kali sebagai pemimpin redaksi majalah politik Siasat mengunjungi kapal Renville, tapi harus didampingi oleh perwira penghubung (liaison) ALRI Willy Sastranegara (yang kelak jadi diplomat di Deplu). Saya lihat di sebuah kamar sempit ketua delegasi Republik P.M. Amir Syarifuddin memegang kitab injil di tangan sedang bercakap-cakap dengan Frank Graham, wakil Amerika dalam Komisi Jasa-Jasa Baik. Tanggal 17 Januari 1948 di geladak kapal Renville ditandatangani Persetujuan Renville yang ujung-ujungnya ialah keadaan republik makin sulit dan terpojok. Apalagi Belanda sama sekali tidak mengindahkan pasal-pasal ketentuan Renville. Van Mook bagaikan mesin penggiling bergerak terus memecah-belah Indonesia, membentuk Negara Indonesia Timur, (NIT-- yang dipelesetkan dalam pers
Republikein menjadi: "Negara Ikoet Toean") dan menyiapkan lahirnya Negara Pasundan.
"West Java Conferentie"
Sampai tiga kali pihak Belanda menyelenggarakan "West Java Conferentie" atau Konferensi Jawa Barat untuk meratakan jalan bagi terbentuknya negara Pasundan. Abdulkadir Widjojoatmodjo yang menjabat sebagai Recomba (gubernur) Jawa Barat mengambil prakarsa mengadakan konferensi yang pertama tanggal 12-19 Oktober 1947. Dia mengundang sebagai peserta konferensi eks residen republik di Bogor R.A.A Hilman Djojodiningrat yang ditunjuk sebagai ketua. Konferensi Jabar yang kedua diadakan di Bandung tanggal 15-20 Desember 1947, dihadiri oleh 154 peserta yang diangkat oleh Belanda. Karena dianggap "kurang demokrastis" oleh banyak peserta, maka diputuskan agar digelar konferensi ketiga.Itu terjadi dari 23 Februari hingga 5 Maret 1948. Mr. Ali Budiardjo sekretaris delegasi republik dalam perundingan Linggarjati (November 1946) atas kemauan kaum Republikein mengorganisasi Gerakan Plebisit Indonesia tanggal 1 Februari 1948. Menurut pasal persetujuan Renville, sebuah plebisit di bawah supervisi PBB bakal diadakan untuk mengetahui pendapat rakyat sebenarnya. Untuk mengantisipasi referendum di daerah-daerah yang diduduki oleh militer Belanda seperti Jabar, maka republik memutuskan pembentukan Gerakan Plebisit yang bertujuan memengaruhi sikap rakyat. Tapi tanggal 13 Februari 1948 Mr. Ali Budiardjo Ketua Gerakan Plebisit dipanggil oleh Jaksa Agung Belanda, Dr. Felderhof, lalu diberitahu gerakan itu bersifat prematur, belum saatnya.
Wali negara Wiranatakusuma
Pemerintah republik mengajukan protes kepada Komisi Jasa-Jasa Baik PBB atas sikap Belanda tadi, tetapi tidak ada dampaknya. Bahkan orang-orang Republikein yang masih ada di Jakarta dan dinilai oleh Belanda sebagai "berbahaya", "subversif" diperintahkan keluar dari Jakarta, yang setelah aksi militer pertama seluruhnya dikuasai oleh pemerintah Van Mook, untuk pergi ke pedalaman yaitu Yogya. Ali Budiardjo dan Hamid Algadrie keduanya dari sekretariat delegasi republik, Jusuf Jahja wakil wali kota republik dll. "dibuang" ke Yogya. Pada konferensi Jabar kedua seorang peserta yang membawakan suara Republikein R.A.A Wiranatakusuma secara blak-blakan menyatakan bahwa para peserta konferensi adalah "boneka-boneka" (Belanda). Pada konferensi ketiga terdapat banyak peserta yang pro republik yang dipimpin oleh Raden Soejoso, eks Wedana Senen Jakarta. Mereka berusaha menggagalkan konferensi, menyebarkan salinan pidato Wapres Mohammad Hatta yang menyerukan agar mencegah pemisahan Jawa Barat dari RI. Belanda menggagalkan gerak peserta pro-Kiblik dalam konferensi Jawa Barat. Tanggal 4 Maret 1948 dipilih Wiranatakusuma, mantan Regent Bandung, Menteri Dalam Negeri kabinet Soekarno, Ketua DPA sebagai Wali negara Pasundan. Peserta pro-Koblik lebih menyukai Wiranatakusuma, kendati sudah tuli di telinga kanan
dan lumpuh di kaki kiri, ketimbang memilih Recomba Jabar Hilman Djajadiningrat.
Wakil AS DuBois
Van Mook bisa menerima Wiranatakusuma selaku Wali negara Pasundan, sebab dengan
itu dia membuktikan bahwa dalam usahanya membentuk negara Indonesia Serikat tidak ada "permainan boneka-boneka". Dengan diakuinya negara bagian Sumatra Timur, Pasundan, Madura, di samping NIT dan Kalimantan Barat yang sudah ada lebih dulu, maka Van Mook maju terus. Akibatnya, perundingan Belanda-Republik di bawah supervisi Komisi Jasa-jasa Baik PBB menghadapi banyak rintangan. Wakil AS dalam komisi itu Court DuBois yang tahun 1930-an menjabat sebagai konsul jenderal AS di Batavia yang mulanya pro-Belanda akhirnya berubah sikap dan memihak kepada RI. Setelah perundingan lamban selama satu setengah bulan di Jakarta dan di Kaliurang, DuBois ikut bersama Presiden Soekarno dan Wapres Hatta dalam peninjauan ke dataran tinggi Dieng. Di sana DuBois sangat terkesan oleh penderitaan kaum pengungsi dari daerah pendudukan militer Belanda. DuBois lalu yakin bahwa wakil hakiki dan satu-satunya dari penduduk Indonesia adalah Republik Indonesia. Belanda marah. Van Mook tidak bisa menerima pandangan dan sikap orang-orang asing seperti Amerika, Inggris, Australia mengenai Indonesia. Tahu apa mereka seperti Mountbatten, Killearn, Kirby, Graham, Critchlay, DuBois? Mereka 'kan bodoh-bodoh, malas, gila perempuan, pemabuk, defaitistis, Belanda tidak mengerti kenapa orang anti-Belanda?***
Penulis, wartawan senior. Sumber berita Pikiran Rakyat Cetak 2006 melalui http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/45906
gambar atas: Konperensi Jawa barat dilaksanakan di Gedung Sate Bandung. Sumber foto capture dari film Belanda.
SETELAH Belanda melancarkan aksi militer pertama terhadap Republik Indonesia tanggal 21 Juli 1947, wilayah yang dikuasai oleh republik semakin menciut. Jawa Barat untuk sebagian besar telah diduduki oleh tentara Belanda. Komisi Jasa-Jasa Baik dari PBB berusaha supaya perundingan dapat terus diadakan di kapal perang Amerika Renville yang berlabuh di Teluk Priok. Saya satu kali sebagai pemimpin redaksi majalah politik Siasat mengunjungi kapal Renville, tapi harus didampingi oleh perwira penghubung (liaison) ALRI Willy Sastranegara (yang kelak jadi diplomat di Deplu). Saya lihat di sebuah kamar sempit ketua delegasi Republik P.M. Amir Syarifuddin memegang kitab injil di tangan sedang bercakap-cakap dengan Frank Graham, wakil Amerika dalam Komisi Jasa-Jasa Baik. Tanggal 17 Januari 1948 di geladak kapal Renville ditandatangani Persetujuan Renville yang ujung-ujungnya ialah keadaan republik makin sulit dan terpojok. Apalagi Belanda sama sekali tidak mengindahkan pasal-pasal ketentuan Renville. Van Mook bagaikan mesin penggiling bergerak terus memecah-belah Indonesia, membentuk Negara Indonesia Timur, (NIT-- yang dipelesetkan dalam pers
Republikein menjadi: "Negara Ikoet Toean") dan menyiapkan lahirnya Negara Pasundan.
"West Java Conferentie"
Sampai tiga kali pihak Belanda menyelenggarakan "West Java Conferentie" atau Konferensi Jawa Barat untuk meratakan jalan bagi terbentuknya negara Pasundan. Abdulkadir Widjojoatmodjo yang menjabat sebagai Recomba (gubernur) Jawa Barat mengambil prakarsa mengadakan konferensi yang pertama tanggal 12-19 Oktober 1947. Dia mengundang sebagai peserta konferensi eks residen republik di Bogor R.A.A Hilman Djojodiningrat yang ditunjuk sebagai ketua. Konferensi Jabar yang kedua diadakan di Bandung tanggal 15-20 Desember 1947, dihadiri oleh 154 peserta yang diangkat oleh Belanda. Karena dianggap "kurang demokrastis" oleh banyak peserta, maka diputuskan agar digelar konferensi ketiga.Itu terjadi dari 23 Februari hingga 5 Maret 1948. Mr. Ali Budiardjo sekretaris delegasi republik dalam perundingan Linggarjati (November 1946) atas kemauan kaum Republikein mengorganisasi Gerakan Plebisit Indonesia tanggal 1 Februari 1948. Menurut pasal persetujuan Renville, sebuah plebisit di bawah supervisi PBB bakal diadakan untuk mengetahui pendapat rakyat sebenarnya. Untuk mengantisipasi referendum di daerah-daerah yang diduduki oleh militer Belanda seperti Jabar, maka republik memutuskan pembentukan Gerakan Plebisit yang bertujuan memengaruhi sikap rakyat. Tapi tanggal 13 Februari 1948 Mr. Ali Budiardjo Ketua Gerakan Plebisit dipanggil oleh Jaksa Agung Belanda, Dr. Felderhof, lalu diberitahu gerakan itu bersifat prematur, belum saatnya.
Wali negara Wiranatakusuma
Pemerintah republik mengajukan protes kepada Komisi Jasa-Jasa Baik PBB atas sikap Belanda tadi, tetapi tidak ada dampaknya. Bahkan orang-orang Republikein yang masih ada di Jakarta dan dinilai oleh Belanda sebagai "berbahaya", "subversif" diperintahkan keluar dari Jakarta, yang setelah aksi militer pertama seluruhnya dikuasai oleh pemerintah Van Mook, untuk pergi ke pedalaman yaitu Yogya. Ali Budiardjo dan Hamid Algadrie keduanya dari sekretariat delegasi republik, Jusuf Jahja wakil wali kota republik dll. "dibuang" ke Yogya. Pada konferensi Jabar kedua seorang peserta yang membawakan suara Republikein R.A.A Wiranatakusuma secara blak-blakan menyatakan bahwa para peserta konferensi adalah "boneka-boneka" (Belanda). Pada konferensi ketiga terdapat banyak peserta yang pro republik yang dipimpin oleh Raden Soejoso, eks Wedana Senen Jakarta. Mereka berusaha menggagalkan konferensi, menyebarkan salinan pidato Wapres Mohammad Hatta yang menyerukan agar mencegah pemisahan Jawa Barat dari RI. Belanda menggagalkan gerak peserta pro-Kiblik dalam konferensi Jawa Barat. Tanggal 4 Maret 1948 dipilih Wiranatakusuma, mantan Regent Bandung, Menteri Dalam Negeri kabinet Soekarno, Ketua DPA sebagai Wali negara Pasundan. Peserta pro-Koblik lebih menyukai Wiranatakusuma, kendati sudah tuli di telinga kanan
dan lumpuh di kaki kiri, ketimbang memilih Recomba Jabar Hilman Djajadiningrat.
Wakil AS DuBois
Van Mook bisa menerima Wiranatakusuma selaku Wali negara Pasundan, sebab dengan
itu dia membuktikan bahwa dalam usahanya membentuk negara Indonesia Serikat tidak ada "permainan boneka-boneka". Dengan diakuinya negara bagian Sumatra Timur, Pasundan, Madura, di samping NIT dan Kalimantan Barat yang sudah ada lebih dulu, maka Van Mook maju terus. Akibatnya, perundingan Belanda-Republik di bawah supervisi Komisi Jasa-jasa Baik PBB menghadapi banyak rintangan. Wakil AS dalam komisi itu Court DuBois yang tahun 1930-an menjabat sebagai konsul jenderal AS di Batavia yang mulanya pro-Belanda akhirnya berubah sikap dan memihak kepada RI. Setelah perundingan lamban selama satu setengah bulan di Jakarta dan di Kaliurang, DuBois ikut bersama Presiden Soekarno dan Wapres Hatta dalam peninjauan ke dataran tinggi Dieng. Di sana DuBois sangat terkesan oleh penderitaan kaum pengungsi dari daerah pendudukan militer Belanda. DuBois lalu yakin bahwa wakil hakiki dan satu-satunya dari penduduk Indonesia adalah Republik Indonesia. Belanda marah. Van Mook tidak bisa menerima pandangan dan sikap orang-orang asing seperti Amerika, Inggris, Australia mengenai Indonesia. Tahu apa mereka seperti Mountbatten, Killearn, Kirby, Graham, Critchlay, DuBois? Mereka 'kan bodoh-bodoh, malas, gila perempuan, pemabuk, defaitistis, Belanda tidak mengerti kenapa orang anti-Belanda?***
Penulis, wartawan senior. Sumber berita Pikiran Rakyat Cetak 2006 melalui http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/45906
gambar atas: Konperensi Jawa barat dilaksanakan di Gedung Sate Bandung. Sumber foto capture dari film Belanda.
Sisi Gelap Pemberontakan Westerling
Oleh: Suryadi
BARU-BARU ini sejarawan Universitas Leiden, Cees Fasseur menulis biografi Ratu Belanda Juliana dan suaminya Pangeran Bernhard. Buku itu berjudul Juliana & Bernhard; het verhaal van een huwelijk, de jaren 1936-1956 (Juliana & Bernhard; Cerita tentang Sebuah Perkawinan, 1936-1956) (Amsterdam: Balans, 2009). Sebelumnya Fasseur juga telah menulis biografi Ratu Wilhelmina, ibunda Ratu Juliana, yaitu Wilhelmina: krijgshaftig in een vormeloze jas (Wilhelmina: Si Pemberani Dalam Mantel tanpa Model) (Amsterdam: Balans, 2001). Rupanya ada bagian dalam narasi biografi Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard itu yang mengganjal hati beberapa pihak di Belanda, yaitu menyangkut peran sekretaris sang Pangeran yang bernama I. Gerrie van Maasdijk (1906-2004). Gerrie adalah seorang wartawan liputan perang untuk surat kabar De Telegraaf yang kemudian menjadi sekretaris Pangeran Berhnard (1911-2004). Pada 1956 Gerrie dipecat sebagai sekretaris sang Pangeran karena perbedaan pendapat yang sangat tajam antara keduanya. Narasi yang agak miring tentang Gerrie dalam buku Fasseur telah mengundang kritik keluarganya. Hal itu telah mendorong pula Jort Kelder (seorang wartawan) dan Harry Veenendaal (seorang sejarawan) melakukan penelitian lanjutan untuk meluruskan sejarah -- meminjam istilah yang sedang tren di Indonesia -- tentang Gerrie van Maasdijk, sekaligus untuk menanggapi buku Fasseur. Akhir November lalu, Jort dan Harry meluncurkan bukunya yang berjudul ZKH: hoog spel aan het hof van Zijne Koninklijke Hoogheid. De geheime dagboeken van mr. dr. I.G. van Maasdijk (ZKH: Permainan Tingkat Tinggi di Istana Kerajaan yang Mulia. Rahasia Buku Harian Mr. Dr. I.G. van Maasdijk) (Amsterdam: Gopher BV, 2009), sebagai tanggapan atas buku Fasseur. Seperti dapat dikesan dari judulnya, bahan utama ZKH adalah buku harian Gerrie van Maasdijk. Jort dan Harry juga melakukan penelitian yang intensif terhadap surat-surat korespondensi antara Gerrie dan Pangeran Bernhard dan pihak-pihak lain, serta surat-surat korespondensi Pangeran Bernhard sendiri.Kudeta SoekarnoBuku ZKH langsung menjadi sorotan media dan menjadi topik diskusi di Belanda, karena berhasil mengungkapkan manuver politik keluarga Kerajaan Belanda di Indonesia di tahun 1950-an yang selama ini belum terungkap. Jort dan Harry menyimpulkan bahwa Pangeran Bernhard, salah seorang pendiri The Bildelberg Group (1954) yang berambisi agar bangsa kulit putih tetap memegang kendali di dunia ini, pernah merencanakan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada 1950, menyusul kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Rupanya sang Pangeran berambisi menjadi Raja Muda (viceroy) di Indonesia, seperti halnya Lord Mounbatten yang menjadi viceroy di India pada akhir 1940-an. Tujuannya tentu untuk melanggengkan kekuasaan penjajah Belanda di Indonesia. Hal itu terungkap dalam surat-surat korespondensi Pangeran Bernhard, antara lain dengan Jenderal USA Douglas MacArthur. Buku Jort dan Harry cukup menjadi bahan pembicaraan masyarakat Belanda. Bahkan, pemerintah Belanda juga bereaksi terhadap temuan sejarah yang baru yang diungkapkan dalam buku itu. WesterlingBuku ZKH mengungkapkan kemungkinan hubungan erat tindakan kudeta gagal yang dilakukan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling di Bandung dengan ambisi politik Pangeran Bernhard itu. "Bernhard wilde coup in Indonesië (Bernhard menginginkan ada kudeta di Indonesia)," tulis harian Nederlands Dagblad edisi 30 November 2009. Kudeta yang dilakukan Westerling jelas ingin merongrong kekuasaan Presiden Soekarno yang baru seumur jagung. Di antara dokumen-dokumen yang terkait dengan Pasukan Elite Kepolisian Marsose (Maréchaussée) yang diteliti oleh Jort dan Harry juga ditemukan petunjuk bahwa staf Pangeran Bernhard pernah mengontak Kapten Westerling di Indonesia. Oleh karena itu, kuat dugaan bahwa kudeta yang dilakukan Westerling di Bandung (Januari 1950) yang mengerahkan Resiment Speciale Troepen (RST) dan melibatkan Sultan Hamid II adalah gerakan militer yang ada kaitannya dengan ambisi Pangeran Bernhard untuk menjadi raja muda di Indonesia. Kudeta itu sendiri gagal, walau 94 anggota pasukan TNI di Bandung sempat dibunuh dengan kejam oleh Westerling dan anak buahnya. Konspirasi Pemerintah Belanda dengan berbagai cara untuk menyelamatkan Westerling dari tuntutan Pemerintah Indonesia sampai ia berhasil lolos ke Singapura pada Februari 1950 seolah memperkuat dugaan Jort dan Harry bahwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Westerling mungkin disetir Belanda. Sangat naif jika kudeta itu hanya dianggap sebagai tindakan kejam yang dilakukan oleh sekelompok tentara desersi. Meminjam judul buku Jort dan Harry, sangat mungkin ada "permainan tingkat tinggi" antara "istana kerajaan Yang Mulia" di Den Haag dan Westerling di Indonesia. Kebenaran sejarahSampai sekarang masih banyak bagian dari sejarah kelam kolonial Belanda di Indonesia yang belum diungkapkan. Syukur bahwa di Belanda, dengan tradisi akademiknya yang bebas, penelitian ke arah itu terus berlangsung. Laporan dalam De Excessenota yang disusun secara terburu-buru dan disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Piet de Jong pada Juni 1969 perlu disempurnakan. Dalam laporan itu dicatat sekitar 140 kejahatan yang dilakukan militer Belanda di Indonesia pasca-1945, tetapi dengan angka-angka statistik yang diperkecil. Fasseur pernah mengusulkan agar laporan itu ditulis ulang karena banyak mengandung manipulasi. Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court) berada di Den Haag, Belanda. Pengadilan itu akan terasa sedikit main-main jika negara Belanda sendiri tidak berusaha mengungkapkan kejahatan-kejahatan perang yang pernah mereka lakukan di Indonesia. (Suryadi, dosen dan peneliti pada Leiden Institute for Area Studies (LIAS), Universiteit Leiden, Belanda)***
Sumber: Pikiran Rakyat 11 Februari 2010 (C:\Documents and Settings\hoesein\Desktop\PIKIRAN RAKYAT - Sisi Gelap Pemberontakan Westerling.mht)
BARU-BARU ini sejarawan Universitas Leiden, Cees Fasseur menulis biografi Ratu Belanda Juliana dan suaminya Pangeran Bernhard. Buku itu berjudul Juliana & Bernhard; het verhaal van een huwelijk, de jaren 1936-1956 (Juliana & Bernhard; Cerita tentang Sebuah Perkawinan, 1936-1956) (Amsterdam: Balans, 2009). Sebelumnya Fasseur juga telah menulis biografi Ratu Wilhelmina, ibunda Ratu Juliana, yaitu Wilhelmina: krijgshaftig in een vormeloze jas (Wilhelmina: Si Pemberani Dalam Mantel tanpa Model) (Amsterdam: Balans, 2001). Rupanya ada bagian dalam narasi biografi Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard itu yang mengganjal hati beberapa pihak di Belanda, yaitu menyangkut peran sekretaris sang Pangeran yang bernama I. Gerrie van Maasdijk (1906-2004). Gerrie adalah seorang wartawan liputan perang untuk surat kabar De Telegraaf yang kemudian menjadi sekretaris Pangeran Berhnard (1911-2004). Pada 1956 Gerrie dipecat sebagai sekretaris sang Pangeran karena perbedaan pendapat yang sangat tajam antara keduanya. Narasi yang agak miring tentang Gerrie dalam buku Fasseur telah mengundang kritik keluarganya. Hal itu telah mendorong pula Jort Kelder (seorang wartawan) dan Harry Veenendaal (seorang sejarawan) melakukan penelitian lanjutan untuk meluruskan sejarah -- meminjam istilah yang sedang tren di Indonesia -- tentang Gerrie van Maasdijk, sekaligus untuk menanggapi buku Fasseur. Akhir November lalu, Jort dan Harry meluncurkan bukunya yang berjudul ZKH: hoog spel aan het hof van Zijne Koninklijke Hoogheid. De geheime dagboeken van mr. dr. I.G. van Maasdijk (ZKH: Permainan Tingkat Tinggi di Istana Kerajaan yang Mulia. Rahasia Buku Harian Mr. Dr. I.G. van Maasdijk) (Amsterdam: Gopher BV, 2009), sebagai tanggapan atas buku Fasseur. Seperti dapat dikesan dari judulnya, bahan utama ZKH adalah buku harian Gerrie van Maasdijk. Jort dan Harry juga melakukan penelitian yang intensif terhadap surat-surat korespondensi antara Gerrie dan Pangeran Bernhard dan pihak-pihak lain, serta surat-surat korespondensi Pangeran Bernhard sendiri.Kudeta SoekarnoBuku ZKH langsung menjadi sorotan media dan menjadi topik diskusi di Belanda, karena berhasil mengungkapkan manuver politik keluarga Kerajaan Belanda di Indonesia di tahun 1950-an yang selama ini belum terungkap. Jort dan Harry menyimpulkan bahwa Pangeran Bernhard, salah seorang pendiri The Bildelberg Group (1954) yang berambisi agar bangsa kulit putih tetap memegang kendali di dunia ini, pernah merencanakan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada 1950, menyusul kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Rupanya sang Pangeran berambisi menjadi Raja Muda (viceroy) di Indonesia, seperti halnya Lord Mounbatten yang menjadi viceroy di India pada akhir 1940-an. Tujuannya tentu untuk melanggengkan kekuasaan penjajah Belanda di Indonesia. Hal itu terungkap dalam surat-surat korespondensi Pangeran Bernhard, antara lain dengan Jenderal USA Douglas MacArthur. Buku Jort dan Harry cukup menjadi bahan pembicaraan masyarakat Belanda. Bahkan, pemerintah Belanda juga bereaksi terhadap temuan sejarah yang baru yang diungkapkan dalam buku itu. WesterlingBuku ZKH mengungkapkan kemungkinan hubungan erat tindakan kudeta gagal yang dilakukan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling di Bandung dengan ambisi politik Pangeran Bernhard itu. "Bernhard wilde coup in Indonesië (Bernhard menginginkan ada kudeta di Indonesia)," tulis harian Nederlands Dagblad edisi 30 November 2009. Kudeta yang dilakukan Westerling jelas ingin merongrong kekuasaan Presiden Soekarno yang baru seumur jagung. Di antara dokumen-dokumen yang terkait dengan Pasukan Elite Kepolisian Marsose (Maréchaussée) yang diteliti oleh Jort dan Harry juga ditemukan petunjuk bahwa staf Pangeran Bernhard pernah mengontak Kapten Westerling di Indonesia. Oleh karena itu, kuat dugaan bahwa kudeta yang dilakukan Westerling di Bandung (Januari 1950) yang mengerahkan Resiment Speciale Troepen (RST) dan melibatkan Sultan Hamid II adalah gerakan militer yang ada kaitannya dengan ambisi Pangeran Bernhard untuk menjadi raja muda di Indonesia. Kudeta itu sendiri gagal, walau 94 anggota pasukan TNI di Bandung sempat dibunuh dengan kejam oleh Westerling dan anak buahnya. Konspirasi Pemerintah Belanda dengan berbagai cara untuk menyelamatkan Westerling dari tuntutan Pemerintah Indonesia sampai ia berhasil lolos ke Singapura pada Februari 1950 seolah memperkuat dugaan Jort dan Harry bahwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Westerling mungkin disetir Belanda. Sangat naif jika kudeta itu hanya dianggap sebagai tindakan kejam yang dilakukan oleh sekelompok tentara desersi. Meminjam judul buku Jort dan Harry, sangat mungkin ada "permainan tingkat tinggi" antara "istana kerajaan Yang Mulia" di Den Haag dan Westerling di Indonesia. Kebenaran sejarahSampai sekarang masih banyak bagian dari sejarah kelam kolonial Belanda di Indonesia yang belum diungkapkan. Syukur bahwa di Belanda, dengan tradisi akademiknya yang bebas, penelitian ke arah itu terus berlangsung. Laporan dalam De Excessenota yang disusun secara terburu-buru dan disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Piet de Jong pada Juni 1969 perlu disempurnakan. Dalam laporan itu dicatat sekitar 140 kejahatan yang dilakukan militer Belanda di Indonesia pasca-1945, tetapi dengan angka-angka statistik yang diperkecil. Fasseur pernah mengusulkan agar laporan itu ditulis ulang karena banyak mengandung manipulasi. Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court) berada di Den Haag, Belanda. Pengadilan itu akan terasa sedikit main-main jika negara Belanda sendiri tidak berusaha mengungkapkan kejahatan-kejahatan perang yang pernah mereka lakukan di Indonesia. (Suryadi, dosen dan peneliti pada Leiden Institute for Area Studies (LIAS), Universiteit Leiden, Belanda)***
Sumber: Pikiran Rakyat 11 Februari 2010 (C:\Documents and Settings\hoesein\Desktop\PIKIRAN RAKYAT - Sisi Gelap Pemberontakan Westerling.mht)
Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers Nasional
Bertempat digedung musium pers Solo (saat ini), pada tanggal 9 Februari 1946, diadakan pertemuan untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia. Tidak pada saat itu tanggal 9 Februari ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Gagasan ini baru muncul pada Kongres Ke-16 PWI di Padang. Ketika itu, bulan Desember 1978, PWI Pusat masih dipimpin Harmoko. Salah satu keputusan Kongres adalah mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan tanggal 9 Februari sebagai HPN. Ternyata semua ini harus menunggu tujuh tahun lagi untuk dapat disetujui. Melalui Surat Keputusan Presiden No. 5/1985, maka hari lahir PWI itu resmi menjadi HPN. Boleh jadi ini merupakan usaha lobi tingkat tinggi Harmoko, yang sejak 1983 menjadi Menteri Penerangan. Sebenarnya 9 Februari 1946 memang punya nilai historis bagi komunitas pers di Indonesia. Sebab, pada hari itulah diselenggarakan pertemuan wartawan nasional yang melahirkan PWI, sebagai organisasi wartawan pertama pasca kemerdekaan Indonesia dan menetapkan Sumanang sebagai ketuanya. Namun, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia. Jauh sebelum itu, dizaman Belanda sejumlah organisasi wartawan telah berdiri dan menjadi wadah organisasi para wartawan. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini berdiri pada tahun 1914 di Surakarta. Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo yang mengaku muridnya dari Tirto Adhi Surjo, kemudian juga pendiri lainnya adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara. IJB merupakan organisasi wartawan pelopor yang radikal, dimana sejumlah anggotanya sering diadili bahkan ada yang diasingkan ke Digul oleh penguasa kolonial Belanda. Selain IJB, organisasi wartawan lainnya adalah Sarekat Journalists Asia (berdiri 1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), serta Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Berbagai organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang akibat tekanan dari pemerintahan kolonial. Pada tahun 1984, melalui Peraturan Menteri Penerangan Harmoko (Permenpen) No. 2/1984, PWI dinyatakan sebagai satu-satunya organisasi wartawan atau wadah tunggal, yang boleh hidup di Indonesia adalah PWI. Dan setahun setelah menjadi wadah tunggal, pada 1985 PWI berhasil mengegolkan HPN tersebut. (disarikan dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/02/23/0058.html ) Foto diatas adalah peristiwa berdirinya PWI di Solo.
Subscribe to:
Posts (Atom)