Friday, February 17, 2012

Bertemu dengan Ilyas Karim


Minggu, 04-09-2011 11:03:27 oleh: Dasman Djamaluddin Kanal: Peristiwa sumber:http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=19293&post=1
Sabtu sore sekitar pukul 17 WIB, tanggal 3 September 2011, tergerak hati saya untuk menemui Ilyas Karim yang mengaku salah seorang pengibar bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1945 di rumahnya Jalan Rajawati Barat Kalibata no.7 Jakarta Selatan. Semua orang sudah tentu tahu, bahwa rumahnya tidak seperti dibayangkan, hanya sebuah rumah sederhana di pinggiran rel kereta api, di mana disitulah tinggal seorang Pejuang 45 berpangkat Letnan Kolonel (Purn).
Saya menelusuri jalan itu dan menemui Ilyas Karim sedang duduk di beranda rumahnya. Baru pertama kali saya bertatap muka dengan beliau. Usianya sudah tidak muda lagi, 84 tahun akunya. Lahir di Batu Sangkar, Sumatera Barat, 31 Desember 1927. Meskipun demikian, tubuhnya masih sehat dan daya ingatnya masih kuat. "Sebegitu pentingkah orang ini?," tanya saya dalam hati. Rupanya Ilyas Karim sedang dilanda hujatan karena mengaku sebagai orang yang berpakaian putih-putih pada waktu mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan mengibarkan bendera itu bersama chudancho Singgih. Hal ini sudah tentu bertolak belakang dengan pendapat beberapa orang atau sumber yang mengatakan kedua orang itu adalah chudanco Abdul Latief Hendradiningrat dan Soehoed dari Barisan Pelopor. Lha mana yang benar?
Ketika saya berkunjung itu saya tidak melihat siapa yang benar. Tetapi buat saya Ilyas Karim adalah sumber pertama yang masih hidup. Di dalam penelitian, kita selalu memakai sumber pertama dan kedua. Biasanya sumber pertama lebih kuat dari pada sumber kedua. Tetapi kali ini entahlah. Bagaimana pun memang harus melalui proses. Sehingga dalam ilmu penelitian tidak ada istilah meluruskan. Jika istilah ini dipakai maka selesailah proses penelitia itu karena ada pengklaiman pembenaran oleh seseorang. Di dalam proses penelitian yang terjadi adalah penemuan-penemuan sumber yang baru. Bisa saja yang dikatakan benar hari ini akan digugurkan oleh penemuan baru berikutnya dan berikutnya. Jadi tidak ada istilah pelurusan.
Ilyas Karim adalah Pejuang 45. Sejak tahun 1936, ia sekeluarga pindah ke Jakarta. Ayahnya pernah menjabat Demang (Camat) Matraman Jakarta, namun di Zaman Jepang, ayahnya ditangkap, dibawa ke Tegal dan dibunuh Jepang di sana. Sebelum bulan Agustus 1945, Ilyas Karim bergabung dengan Angkatan Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Jalan Menteng 31 Jakarta. Masuk TNI-AD dan pensiun dengqn pangkat Letnan Kolonel. Pernah ditugaskan sebagai Pasukan Perdamaian di Lebanon dan Vietnam. Beliau sekarang adalah juga Ketua Umum Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia (YAPSI) yang bermarkas di Komplek Kodam Jaya Jatiwaringin. Melihat perjuangannya selama ini saya belum menyimpulkan apakah yang dikatakan Ilyas Karim benar atau salah. Saya hanya melihat dari sisi sumber pertama yang masih hidup. Sejarahlah nanti yang bisa membuktikan siapa pengibar bendera Merah Putih sebenarnya.
----------------------------
Sdr Dasman Djamaluddin M.Hum adalah Sejarawan UI yang juga menyandang profesi Sarjana Hukum. Sangat berminat sekali ihwal Ilyas Karim terutama yang terkait kontroversi pengibar bendera Proklamasi agar di seminarkan. Semoga terlaksana. Foto diatas sdr Dasnan ketika sedang meneliti bersama Sdr Edi Suardi M.Hum direktur Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta.

9 comments:

Arif WicaksonoHendraningrat said...

yth bpk Dasman Djamaluddin M.Hum. sebagai seorang sejarawan universitas sekelas UI, seharusnya bapak tidak perlu meragukan lagi kebeneran fakta sejarah mengenai PENGIBAR BENDERA PUSAKA 17 AGUSTUS 1945, yaitu ABDUL LATIEF HENDRANINGRAT dan SOEHOED. keluarga kami sudah lama bersabar atas pembohongan publik oleh ILYAS KARIM. Puncaknya yaitu ketika, diadakan acara oleh stasiun TVONE di gedung juang 31, padahal disitu ada ruangan yang memuat siapa pelaku dan saksi sejarah mengenai DETIK DETIK PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

Dasman Djamaluddin said...

Saya setuju saja tetapi perlu penelitian mendalam mengenai keraguan saya ini karena tulisan saya itu hanya berkunjung kepada Ilyas Karim. Beliau bilang kepada saya tidak berbohong. "Sayalah saksi yang masih hidup dan lainnya sudah meninggal," katanya pada saya. Memang harus diselenggarakan sebuah Seminar Nasional.Mempelajari dan menggali sejarah masa lalu buat seorang ilmuwan tidak mudah. Dia dihadapkan dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan dari mana sumber bahan penulisannya diperoleh. Kalau sumbernya telah ditemukan, maka masih ada sederet pertanyaan yang harus diajukan. Apakah sumber yang diperolehnya itu otentik (asli), apakah sumbernya shahih, sah dan benar (validity), terpercaya, sungguh-sungguh benar (realibility) dan kuat (perihal dapat dipercaya tadi /kredebility) ? Jika hl ini telah terpenuhi, barulah ilmuwan tersebut memenuhi kreteria sebagaimana diungkapkan oleh W.S.Rendra bahwa seorang cendekiawan harus "berumah di angin", tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya.

"Ia harus bebas pula dari ikatan bathin sehingga konsekuen menurut keyakinan intelektualnya dan jangan terjadi sebagaimana Julien Benda katakan sebagai 'pengkhianatan kaum cendekiawan'," ujar W.S.Rendra yang baru saja memperoleh Doktor Kehormatan dari Universitas Gajah Mada (foot note: Dick Hartoko (ed), Golongan Cendekiawan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT.Gramedia, 1980), hal.ix).Ya sayangnya kita selalu lupa mencantumkan nama-nama yang hadir di hari bersejarah. Ketika saksi sejarah sudah pada meninggal dunia, kita pun berpolemik.

Arif WicaksonoHendraningrat said...

Yth bapak dasman djamaludin

sebelum saya berkomentar.. saya ingin mengundang bapak untuk hadir pada acara :

launching buku : ABDUL LATIEF HENDRANINGRAT - SANG PENGIBAR BENDERA PUSAKA 17 AGUSTUS 1945. pada tanggal 15 oktober 2011 jam 10.00 wib di gedung juang 31 menteng jakarta pusat.


menjawab mengenai pertanyaan sumber :

silahkan bapak menghubungi penulis buku tersebut

yaitu bapak DR.NIDJO SANDJOJO - 081905074009 , sang penulis buku

lalu bapak hubungi BAPAK SALEH dari PUSJARAH ABRI dimana beliau mempunyai buku "sakti" , saya sebut sakti.. karena itu buku satu2 nya saksi bisu mengenai proklamasi.. dimana buku tersebut berisi wawancara oleh para pelaku proklamasi yang hadir saat itu ketika mereka masih hidup

atau hubungi keluarga SOEKARNO DAN HATTA

saya sebagai orang awam tentu ilmunya masih jauh di banding bapak. bagaikan bumi dan langit. tapi satu2-nya sejarah mengenai bangsa yang tidak akan mungkin saya lupakan ataupun meragukannya,meskipun hanya mendengar dari bapak dan tante saya serta membaca tulisan tangan dari kakek saya, yaitu ABDUL LATIEF HENDRANINGRAT mengibarkan bendera merah putih untuk pertama dan terakhir kalinya


terima kasih

Dasman Djamaluddin said...

Baru saja saya menerima sms dari seorang teman:"Mas Dasman.Selain itu masih ada yg 'mengaku' pengibar bendera, bercelana pendek, membelakangi kamera, yakni ANDARYOKO (d.a. Supriyadi), yg saat itu menyamar dan tinggal di rumah Soekarno (buku Mencari Supriyadi, 2008, hal 85). Jadi siapa yang benar? Oleh karena itu perlu dialog nasional.

Arif WicaksonoHendraningrat said...

Banyak orang yang mengaku : sebagai pengibar bendera yang bercelana pendek?? kenapa?? karena wajahnya tidak terlihat...oleh sebab itu mereka bebas2 saja mengaku.... mungkin masih banyak orang2 yang mengantri untuk memberikan pengakuan sebagai pengibar bercelana pendek?? contohnya juga waktu itu pernah ada yang mengaku sebagai SUPRIYADI ( tentara PETA yang hilang sewaktu jaman jepang ).. tapi ketika di wawancara oleh PAK RUSHDY... yang bersangkutan salah semua dalam memberikan info.....


mungkin 5 tahun lagi akan ada yang mengaku sebagai YOS SUDARSO (yang tenggelam bersama KRI macan tutul)

entah penyakit apa yang sedang menghinggapi negara ini

Dasman Djamaluddin said...

SEJARAWAN JANGAN BERKHIANAT

Seorang Sejarawan tidak jauh berbeda dengan seorang ilmuwan, intelektual atau cendekiawan. Tugasnya mencerahkan pemikiran orang lain, mendorong orang lain untuk lebih maju, lebih terbuka dalam hal melihat berbagai permasalahan. Kadang-kadang tugas ini punya getaran gelombang yang sama dengan para pemimpin agama. Dia juga menurut W.S.Rendra (alm), harus "berumah di angin", tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya.Harus bebas pula dari ikatan bathin sehingga konsekuen menurut keyakinan intelektualnya dan tidak bisa dipaksa jika dia sendiri tidak yakin.


Itulah yang terjadi pada diri saya baru baru ini. Saya dipaksa untuk mengakui sebuah kebenaran yang menurut mereka yakin benar. Adalah Arif Wicaksono Hendradiningrat yang mengajak saya agar sebagai sejarawan universitas sekelas UI seharusnya tidak perlu meragukan lagi
kebenaran fakta sejarah mengenai pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945, yaitu ABDUL LATIEF HENDRANINGRAT dan SOEHOED. Keluarga kami katanya, sudah lama bersabar atas pembohongan publik oleh ILYAS KARIM. Puncaknya yaitu
ketika diadakan acara oleh stasiun TVONE di Gedung Juang 31, padahal
disitu ada ruangan yang memuat siapa pelaku dan saksi sejarah mengenai Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945.


Sebagai seorang ilmuwan saya tidak bisa melakukan hal ini. Begitu pula ketika saya melakukan dialog dengan Ketua Umum LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Letjen (Purn) Rais Abin baru-baru ini yang mengatakan LVRI datanya otentik. Saya pun tidak bisa menyetujuinya. Semuanya harus diuji karena masih ada pihak lain yang mengatakan merekalah yang benar. Seperti Ilyas Karim yang masih hidup dan Andaryono (d.a.Supriyadi) yang saat itu menyamar dan tinggal di rumah Bung Karno (dikutip dari Buku Mencari Supriyadi, 2008, hal.85). Kedua tokoh ini mengakui hal yang sama dengan Abdul Latif Hendradiningrat. Inilah latar belakang mengapa saya mengusulkan ada suatu dialog atau seminar internasional untuk mempertemukan ketiga pihak ini. Jika yang sudah meninggal sudah tentu diwakili keluarga masing-masing. Silahkan tunjukkan data yang otentik, seperti permainan tinju yang kalah harus mengakui yang menang. Hasil diskusi boleh dianggap sebagai data otentik. Inilah resiko yang ditanggung, bila bangsa ini tidak rapi menyimpan arsip bahkan biasanya arsip-arsip ini kita temukan di luar negeri.Selama kita masih sembrono mengarsipkan peristiwa-peristiwa bersejarah, biarkan mereka masing masing bebas mengklaim. Jangan ada saling kecam dan mengatakan merekalah yang paling benar.


Asvi Warman Adam di dalam sebuah harian ibu kota pernah mengatakan,......pengendalian sejarah tergantung pada "dapur" tempat sejarah itu diolah: siapa sejarawannya, di lembaga mana dia bekerja.Makin independen lembaga/pribadi yang menulis, makin otonom hasil karyanya. Untuk ini saya sependapat dengan Pak Asvi. Sejarah yang dibuat oleh seorang militer, pegawai negeri sudah tentu berbeda dengan yang dibuat oleh seorang ilmuwan dari sebuah perguruan tinggi yang independen.


Tulisan sejarah tidak ada yang betul-betul sempurna, dan juga betul-betul lurus. Itulah yang dikatakan Dr.Alfian, salah seorang sejarawan Indonesia yang terkenal pada masanya. Diakui bahwa ahli sejarah tentu berusaha keras untuk bersikap obyektif dalam menulis karyanya. Sungguh pun begitu, jauh di lubuk hati dan alam pikirannya, mereka mengetahui betul bahwa adalah mustahil bagi siapa saja, betapapun pintar dan ahlinya, untuk menghasilkan tulisan sejarah yang dapat dikatakan betul-betul obyektif dan sempurna. Sebuah tulisan sejarah memang dapat dikatakan, ditinjau dari segi mutu dan sebagainya, lebih obyektif dan lebih sempurna dari karya-karya lainnya. Tetapi tulisan tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang final atau sebuah karya tanpa kelemahan dan kekurangan sama sekali. Di samping banyak tulisan sejarah yang buruk dan tidak bermutu, biasanya ada sejumlah karya yang dinilai baik dan berkualitas tinggi.

Dasman Djamaluddin said...

Ketika cucu Abdul Latief Hendradiningrat, pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945, Arif Wicaksono Hendradiningrat mengajak saya agar sebagai sejarawan universitas sekelas UI seharusnya tidak perlu meragukan lagi kebenaran fakta sejarah mengenai pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945, yaitu kakeknya dan Soehoed., saya hanya terdiam lama. Apalagi ditambah kalimat “Keluarga kami, sudah lama bersabar atas pembohongan publik oleh ILYAS KARIM. Puncaknya yaitu ketika diadakan acara oleh stasiun TVONE di Gedung Juang 31, padahal
disitu ada ruangan yang memuat siapa pelaku dan saksi sejarah mengenai Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945.”

Mengapa saya terdiam lama? Karena saya mengalami hal-hal sebagai berikut:

1.
Saya mendengar sendiri dari Burhanuddin Muhammad Diah (B.M.Diah) ketika menulis buku beliau: Butir-Butir Padi B.M.Diah (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), betapa geramnya beliau membaca Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, yang menganggap yang merumuskan materi Pancasila ialah Mr.Muh.Yamin. Buku ini bukan main-main diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 1975 dalam enam jilid dan penulisnya Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo, Dr.Marwati Djoened Poesponegoro dan Dr.Nugroho Notosusanto. Bahkan menurut berita, Presiden Soeharto waktu itu memerintahkan agar buku tersebut dipergunakan di sekolah-sekolah pemerintah. Menurut B.M.Diah sejarawan-sejarawan Indonesia masih dipengaruhi sejarawan Barat atau didominasi pandangan sejarawan Barat, karena menurut F.A. Sutjipto dalam kata pengantarnya pada jilid IV, bahwa sebagian besar sumber adalah sumber sekunder walaupun di sana sini juga dilakukan sumber primer. Sehingga saya menganggap ini sebuah kekeliruan besar, karena kelihatannya sumber primer B.M.Diah tidak terlalu diperhitungkan dalam menyusun Buku Sejarah Nasional ini, sementara sumber primernya masih ada (hidup).
2.
Tentang buku yang saya tulis sendiri: Butir-butir Padi B.M.Diah (1992), meski Toeti Kakiailatu menuliskannya kembali dengan judul B.M.Diah Wartawan Serba Bisa tahun 1997, sumber primer sama yaitu B.M.Diah tetapi situasi dan kondisi berbeda. Hal ini terlihat dari komentar Wartawan Senior H.Rosihan Anwar ketika meresensi buku Toeti Kakiailatu di dalam Majalah Ggatra, 13 September 1997 halaman 130 bahwa: “Toeti Kaiailatu, mantan wartawan Tempo, menulis biografi B.M.Diah Wartawan Serba Bisa (1997).Lima tahun yang lalu B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman, buku yang menguraikan riwayat hidup Diah, sebagaimana diungkapkan kepada Dasman Djamaluddin. Maka, kedua buku itu mengandung bahan yang kurang lebih sama.” Di bahagian lain komentarnya Rosihan Anwar mengatakan:.....”Kendati dalam buku ini saya mendeteksi berbagai ketidakcermatan dalam keterangan Diah—yang diwawancarai oleh Toeti ketika mulai sakit-sakitan dan ingatannya tidak lagi begitu sempurna.” Jadi sumber primer yang sama, bisa juga mempengaruhi informasi ketika sumber itu sudah sakit-sakitan. Saya mewawancarai B.M.Diah ketika usianya 75 tahun dan masih sehat, baik lahir maupun bathin.(Selanjutnya di http://dasmandjamaluddinshmhum.blogspot.com dan http://dasmandj.blogspot.com)

Dasman Djamaluddin said...

ILYAS KARIM SIAP BERDIALOG

Mungkin sudah saatnya semua pihak yang menyatakan sebagai pengibar bendera pusaka pada tanggal 17 Agustus 1945 duduk satu meja. Inilah yang saya rasakan ketika Ilyas Karim pada 27 September 2011 pukul 19.00 menyatakan kesediaannya kepada saya untuk berdialog. Asal katanya jangan mengundang atas nama pribadi tetapi atas nama Ketua Umum Yayasan Pejuang Siliwangi-Indonesia.

Ilyas Karim lahir di Padang, Sumatera Barat, pada 13 Desember 1927, adalah seorang pensiunan TNI yang sekarang berpangkat Letnan Kolonel (Purn). Sekarang ini sudah tiga orang mengatakan hal yang sama. Menurut saya sebaiknya memang ada keinginan seperti ini dari bersangkutan, demi generasi muda dan demi bangsa ini secara keseluruhan. Sehingga tidak ada lagi dendam sejarah, saling curiga mencurigai. Silahkan di dalam dialog nanti membuktikan data masing-masing, mengapa mereka mengklaim sebagai pengibar bendera pusaka. Bentuk dialog bisa diskusi, atau seminar atau bentuk apa pun asal saling harga menghargai dan ilmiah.

Menurut saya sekarang ini jangan membicarakan benar atau salah dulu, karena kalau kita jujur kita sebagai bangsalah yang tidak teliti menyimpan arsip, memberi nama-nama siapa yang hadir ketika peristiwa-peristiwa penting diselenggarakan. Oleh karena itu, biarkan semua pihak mengemukakan hak-hak azasinya, argumennya. Setelah duduk satu meja, baru ada kesimpulan-kesimpulan yang juga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang positip dan mengenakkan semua pihak. Entahlah, apakah wacana ini merupakan jalan terbaik, atau ada cara-cara lain? Yang jelas, Angkatan 45, semakin lama jumlahnya semakin sedikit. Kita hormat terhadap perjuangan mereka dalam mempertahankan bangsa dan negara ini. Hanya itu yang bisa kita ungkapkan. Hal-hal lain solusinya hanya duduk di satu meja, berdialog yang juga merupakan tradisi budaya bangsa Indonesia.

Ada benarnya kata Sejarawan Indonesia Dr.Alfian (alm) bahwa tulisan sejarah tidak ada yang betul-betul sempurna, dan juga betul-betul lurus. Diakui bahwa ahli sejarah tentu berusaha keras untuk bersikap obyektif dalam menulis karyanya.Sungguh pun begitu, jauh di lubuk hati dan alam pikirannya, mereka mengetahui betul bahwa adalah mustahil bagi siapa saja, betapapun pintar dan ahlinya, untuk menghasilkan tulisan sejarah yang dapat dikatakan betul-betul obyektif dan sempurna.

Muhammad Bayu Isa said...

Pak Dasman,saya sangat setuju dengan pendapat bapak, "jangan membicarakan benar atau salah dulu, karena kalau kita jujur kita sebagai bangsalah yang tidak teliti menyimpan arsip, memberi nama-nama siapa yang hadir ketika peristiwa-peristiwa penting diselenggarakan. Oleh karena itu, biarkan semua pihak mengemukakan hak-hak azasinya, argumennya. Setelah duduk satu meja, baru ada kesimpulan-kesimpulan yang juga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang positip dan mengenakkan semua pihak.. "

Jadi bukan hanya berkoar apalagi mengatakan " tidak pernah belajar sejarah. "...ada tuh yang ngomong seperti itu, seolah-olah hanya diri nya yang tahu soal sejarah.

Salam kenal pak Dasman...