Saturday, September 21, 2013

Saya tidak pernah dihubungi Multivision Plus

Beberapa hari yang lalu ada teman yang mengirim SMS. Isinya menanyakan kebenaran berita kalau soal masalah film Soekarno yang disutradarai Hanung Bramantyo, Produser Raam Punjabi menghubungi saya ? Lalu juga ada berita dari Faozan Rizal (sutradara Habibie & Ainun)  bahwa pihak Multi Vision Plus Picture berkonsultasi dengan saya. Untuk itu saya diam saja dan tidak memperluas masalah. Tapi membaca detikhot. Selasa, 11/06/2013 13:55 WIB ditulis oleh Adhie Ichsan soal "Perjalanan Panjang Produksi Film Soekarno" Isinya (sebagian) ....Multivision Plus Pictures selaku rumah produksi kemudian melibatkan Yayasan Pendidikan Soekarno (Universitas Bung Karno), dan beberapa sejarawan yang dinilai mengetahui seluk-beluk kehidupan Soekarno, salah satunya Rusdi Husein.. Untungnya nama saya Rushdy Hoesein sehingga nama diatas kurang tepat. Ini biikin saya garuk-garuk kepala....kapan Multivision menghubungi saya ? Engga pernah kok ? Yang benar adalah, sdr Lukman Sardi menghubungi saya lewat Hp mau bicara. Saya bilang silahkan sebisa kesanggupan saya. Saya pikir Lukman datang sendiri, rupanya bersama Ario Bayu (peran Soekarno) dan Tanta Ginting (pemeran Sutan Sjahrir). Tanpa curiga macam-macam kita berbicara santai dan saya menyumbangkan pengetahuan saya tentang Soekarno secara garis besar. Antara lain juga saya bilang (kalau tak salah), bikin film tokoh cukup sulit, apa lagi orang besar seperti Soekarno. Perlu diketahui saat itu Shooting sudah berjalan tapi belum muncul masalah. Harapan saya semoga lekas beres dan damai-damai....Foto, Tanggal 5 Oktober 1945, di rumahnya di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta (yang dipergunakan untuk acara Proklamasi 17 Agustus 1945) bersama sejumlah menterinya, Soekarno dibuat film dokumenter. Saya pernah mempublikasinya...bisa dilihat di sejarah kita/youtube. Demikian pembaca agar maklum adanya atas berita yang kurang tepat itu....

Thursday, September 12, 2013

Prof. Ali Hasjmy

Prof. Ali Hasjmy (nama lahir: Muhammad Ali Hasyim) alias Al Hariry, Asmara Hakiki dan Aria Hadiningsun lahir di Idi Tunong, Aceh, 28 Maret 1914 – meninggal 18 Januari 1998 pada umur 83 tahun adalah sastrawan, ulama, dan tokoh daerah Aceh. Ali Hasjmy adalah anak kedua dari 7 orang bersaudara. Ayahnya, Teungku Hasyim, pensiunan pegawai negeri dan mempunyai satu orang istri bernama Zuriah Aziz yang dikaruniai 7 orang anak. Pernah menjabat Gubernur Aceh periode 1957-1964, Gubernur diperbantukan Menteri Dalam Negeri Jakarta periode 1964-1968. Ketua Majelis Ulama Aceh. Rektor Institut Agama Islam Negeri Jamiah Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh.Tahanan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh, September 1953 - Mei 1954. Kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh, Kutaraja (1946-1947), Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949), Inspektur Kepala Jawatan Sosial Sumatera Utara (1949), Inspektur Kepala Jawatan Sosial Provinsi Aceh (1950), Kepala Bagian Umum pada Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial Kementerian Sosial di Jakarta (1957), Tahun 1975 diangkat sebagai guru besar (Prof) dalam ilmu dakwah oleh IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ali Hasjmy gemar membaca dan mendengarkan musik. Sebagai sastrawan, ia telah menerbitkan 18 karya sastra, 5 terjemahan, dan 20 karya tulis lainnya antara lain:  Hikayat perang sabi menjiwai perang Aceh lawan Belanda, diterbitkan oleh Pustaka Faraby dan Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun  Diterbitkan di Jakarta, oleh Bulan Bintang tahun 1978. Film : Cuplikan dari film Atjeh Atjeh

Wednesday, August 21, 2013

Jokowi dan Pemilu 1955

Pada tanggal 29 September 1955 di seluruh Indonesia berlangsung pemilihan umum pertama setelah Proklamasi. Bung Karno berada diantara rakyat ikut memberikan suaranya. Tapi dari foto ini kok aneh disebelah kanannya agak kebelakang ada orang yang mirip Jokowi. Tentu saja bukan dia karena Jokowi saat itu belum lahir (Jokowi lahir tanggal 21 Juni 1961)....Kalau demikian siapa dia ? Ini ngalamat kalau Jokowi bakal jadi Presiden rupanya.....lha wujudnya saja sudah muncul bersama Bung Karno 58 tahun yang lalu ? Napaknya disini juga ada dialog. Petugas berbaju hitam (mungkin pertugas KPU) bilang pada lelaki didepan Bung Karno: "Maaf Mas tolong beri jalan pada Presiden kita". Pemuda itu kurang senang dan bersungut. Lalu Bung Karno berkata: "Engga usah biarkan, saya juga rakyat Indonesia kok, harus ikut aturian ngantri mencoblos bersama rakyat"....Bung Karno lalu tersenyum

Monday, August 05, 2013

AKHIRNYA INDONESIAPUN MERDEKA

Pada tanggal 8 Agustus 1945 sebelum berangkat ke Dalat, Bung Karno berpidato di Stasion Radio Hoso Kyoku (Stasion radio Jepang yang kemudian menjadi RRI Jakarta) . Isi pidatonya soal menyongsong Kemerdekaan Indonesia. Dalam pidato tersebut amat jelas dikatakan bahwa Bangsa Indonesia ingin Merdeka dan tiada kekuatan apapun yang akan menghalanginya.

Wednesday, July 31, 2013

Umi Yukaba (Kalau saya pergi memenuhi panggilan tugas)

Lagu Jepang dizaman Perang Pasifik ini pernah sangat merekat dengan jiwa patriotik yang dipompakan kepada rakyat Indonesia oleh Pemerintah Pendudukan Jepang 1942-1945. Sejumlah mantan tentara PETA dan Heiho masih hafal bahkan sukar melupakannya

Idul Fitri tahun 1945 jatuh tanggal 7 September 1945

Penetapan 1 Ramadhan 1364 H atau tahun 1945 bertepatan pada tanggal 9 Agustus 1945. Benarkah Hari Raya Idul Fitrinya jatuh pada tanggal 9 September 1945 ? Ada yang masih ingat ? Clip video tentang itu dimana tercantum awalnya Idul Fitri 9 September 1945. Ternyata film lama tentang hari Raya Idul Fitri tanggalnya salah. Mestinya Idul Fitri tahun 1945 ini jatuh pada tanggal 7 September 1945. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 dan berakhirnya bulan puasa yang diikuti Hari Raya Idul Fitri 1364 H itu, Jakarta aman. Namun sudah tampak coretan-coretan Revolusi...

Tuesday, July 23, 2013

Volksraad parlemen zaman HIndia Belanda

Volksraad yang diambil dari bahasa Belanda dan secara harafiah berarti "Dewan Rakyat", adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia-Belanda. Dewan ini dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 oleh pemerintahan Hindia-Belanda yang diprakarsai oleh Gubernur-Jendral J.P. van Limburg Stirum bersama dengan Menteri Urusan Koloni Belanda; Thomas Bastiaan Pleyte. Pada awal berdirinya, Dewan ini memiliki 38 anggota, 15 di antaranya adalah orang pribumi. Anggota lainnya adalah orang Belanda (Eropa) dan orang timur asing: Tionghoa, Arab dan India. Pada akhir tahun 1920-an mayoritas anggotanya adalah kaum pribumi. Awalnya, lembaga ini hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat. Baru pada tahun 1927, Volksraad memiliki kewenangan ko-legislatif bersama Gubernur-Jendral yang ditunjuk oleh Belanda. Karena Gubernur-Jendral memiliki hak veto, kewenangan Volksraad sangat terbatas. Selain itu, mekanisme keanggotaan Volksraad dipilih melalui pemilihan tidak langsung. Pada tahun 1939, hanya 2.000 orang memiliki hak pilih. Dari 2.000 orang ini, sebagian besar adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Selama periode 1927-1941, Volksraad hanya pernah membuat enam undang-undang, dan dari jumlah ini, hanya tiga yang diterima oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sebuah petisi Volksraad yang ternama adalah Petisi Soetardjo. Soetardjo adalah anggota Volksraad yang mengusulkan kemerdekaan Indonesia. Dominasi kolonial pada masa itu hampir mencakup semua aspek, sampai pada forum-forum resmi harus menggunakan Bahasa Belanda, padahal sejak Kongres Pemuda II (1928) bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa persatuan yang menjadi salah satu alat perjuangan kalangan pro-kemerdekaan. Untuk itulah Mohammad Hoesni Thamrin mengecam pedas tindakan-tindakan yang dianggap mengecilkan arti bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang-sidang Volksraad diperbolehkan sejak Juli 1938. Video, saat pembukaan Volksraad pada tahun 1938. Tampak Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg membukanya. Sumber tulisan : Wikipedia

Thursday, June 27, 2013

Mengenang Prof Dr Abdulrachman Saleh

Abdulrahman Saleh, Prof. dr. Sp.F, Marsekal Muda Anumerta, lahir di Jakarta, 1 Juli 1909 – meninggal di Maguwoharjo, Sleman, 29 Juli 1947 pada umur 38 tahun. Beliau sering dikenal dengan nama julukan "Karbol" adalah seorang pahlawan nasional Indonesia, tokoh Radio Republik Indonesia (RRI) dan bapak fisiologi kedokteran Indonesia. Abdulrachman Saleh dilahirkan pada tanggal 1 Juli 1909 di Jakarta. Pada masa mudanya, ia bersekolah di HIS (Sekolah rakyat berbahasa Belanda atau Hollandsch Inlandsche School) kemudian MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau kini setingkat SLTP, lulus AMS (Algemene Middelbare School) kini stingkat SMU, dan kemudian diteruskannya ke STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Karena pada saat itu STOVIA dibubarkan sebelum ia menyelesaikan studinya di sana, maka ia meneruskan studinya di GHS (Geneeskundige Hoge School), semacam sekolah tinggi dalam bidang kesehatan atau kedokteran. Ayahnya, Mohammad Saleh, tak pernah memaksakannya untuk menjadi dokter, karena saat itu hanya ada STOVIA saja. Ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia sempat giat berpartisipasi dalam berbagai organisasi seperti Jong Java, Indonesia Muda, dan KBI atau Kepanduan Bangsa Indonesia. Setelah ia memperoleh ijazah dokter, ia mendalami pengetahuan ilmu faal. Setelah itu ia mengembangkan ilmu faal ini di Indonesia. Oleh karena itu, Universitas Indonesia pada 5 Desember 1958 menetapkan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia. Ia juga aktif dalam perkumpulan olah raga terbang dan berhasil memperoleh ijazah atau surat izin terbang. Selain itu, ia juga memimpin perkumpulan VORO (Vereniging voor Oosterse Radio Omroep), sebuah perkumpulan dalam bidang radio. Maka sesudah kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka. Melalui pemancar tersebut, berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga ke luar negeri. Ia juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 11 September 1945. Setelah menyelesaikan tugasnya itu, ia berpindah ke bidang militer dan memasuki dinas Angkatan Udara Ia diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946. Ia turut mendirikan Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang. Sebagai Angakatan Udara, ia tidak melupakan profesinya sebagai dokter, ia tetap memberikan kuliah pada Perguruan Tinggi Dokter di Klaten, Jawa Tengah. Pada saat Belanda mengadakan agresi pertamanya, Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh diperintahkan ke India. Dalam perjalanan pulang mereka mampir di Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya. Keberangkatan dengan pesawat Dakota ini, mendapat publikasi luas dari media massa dalam dan luar negeri. Tanggal 29 Juli 1947, ketika pesawat berencana kembali ke Yogyakarta melalui Singapura, harian Malayan Times memberitakan bahwa penerbangan Dakota VT-CLA sudah mengantongi izin pemerintah Inggris dan Belanda. Sore harinya, Suryadarma, rekannya baru saja tiba dengan mobil jip-nya di Maguwo. Namun, pesawat yang ditumpanginya ditembak oleh dua pesawat P-40 Kitty-Hawk Belanda dari arah utara. Pesawat kehilangan keseimbangan dan menyambar sebatang pohon hingga badannya patah menjadi dua bagian dan akhirnya terbakar. Peristiwa heroik ini, diperingati TNI AU sebagai hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962 dan sejak 17 Agustus 1952, Maguwo diganti menjadi Lanud Adisutjipto. Abulrachman Saleh dimakamkan di Yogyakarta dan ia diangkat menjadi seorang Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.071/TK/Tahun 1974, tanggal 9 Nopember 1974. Pada tanggal 14 Juli 2000, atas prakarsa TNI-AU, makam Abdulrahman Saleh, Adisucipto, dan para istri mereka dipindahkan dari pemakaman Kuncen ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU Dusun Ngoto, Desa Tamanan, Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta. Nama Ia diabadikan sebagai nama Pangkalan TNI-AU dan Bandar Udara di Malang. Selain itu, piala bergilir yang diperebutkan dalam Kompetisi Kedokteran dan Biologi Umum (Medical and General Biology Competition) disebut Piala Bergilir Abdulrahman Saleh. Mengharapkan semua lulusan Akademi Angkatan Udara dapat mencontoh keteladanan dan mampu mencapai kualitas seorang perwira seperti Abdulrachman Saleh, para taruna AAU dipanggil dengan nama Karbol. Hal ini pertama kali diusulkan oleh Letkol Saleh Basarah setelah beliau mengunjungi United States Air Force Academy di Colorado Springs, Amerika Serikat. Para kadet di sana dipanggil dengan nama Dollies, nama kecil dari Jenderal USAF James H Doollitle, seorang penerbang andal yang serba bisa. Ia penerbang tempur Amerika Serikat yang banyak jasanya pada Perang Dunia I. Untuk menghormati Prof.Dr Abdulrachman Saleh atas  jasanya pada almamaternya Salemba 6 Jakarta, tahun 2006 diresmikan oleh Wapres Jusuf Kala patung beliau dimuka FKUI Jakarta. Kini patung itu berdiri dengan megah. Sumber tulisan Wikipedia. Foto, Marsekal Muda Profesor Dr Abdulrachman Saleh dimuka pesawat kesayangannya  di lapangan terbang Maguwo Yogyakarta. 

Thursday, June 20, 2013

Haul Bung Karno di Blitar

Menjelang hari Haul Bung Karno 21 Juni 2013, kota Blitar semarak. Bertempat di Makam Bung Karno, di bagian mukanya ada Perpustakaan dan Galery. Ini untuk pertama kali saya saksikan. Dulu saya pernah kemari pada tahun 1977, cungkup kalau tidak salah baru jadi. Di Perpustakaan dan Galery saat ini ada pameran foto Bung Karno lengkap dicampur dengan lukisan dan poster. Sayangnya pameran foto, masih kurang bagus susunannya dan kurang lengkap. Tapi sudah cukup pantas ditonton. Kami datang dari Jakarta sebagai rombongan konservasi kota tua Jakarta. Kami membawa film tentang Soekarno 1948-1949. Sebuah penayangan saat Soekarno-Hatta ditangkap saat agresi militer Belanda II sampai Soekarno selaku Presiden RIS kembali ke Jakarta. Sambutan penonton baik dan antosias.....

Bung Karno, Putra Sang Fajar Wafat

Semua bahan ini didapat dari internet...untuk itu diucapkan terima kasih. Pada tanggal 20 Juni 1970 Bung Karno atau Putra Sang Fajar telah tiada. Berarti telah 43 tahun yang lalu telah berlalu. Terasa bagaikan baru kemarin....

Sunday, June 09, 2013

Taufik Kiemas telah tiada

Saya mengenal Taufik kira-kira pada tahun 1968-1969. Saat kami mahasiswa, saya di Fakultas Kedokteran dan Taufik di Fakultas Hukum UI. Zaman suasana politik lahirnya Orde Baru telah lewat, tapi asap dan baunya TRITURA masih kentara sekali. Meskipun demikian Taufik sebagai anggota aktifis organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tidak punya urusan secara emosional dengan sosok UI (terutama FKUI) yang terkenal sebagai kampus tempat lahirnya Orde Baru. Memang Angkatan 66 apalagi yang namanya Resimen Arief Rachman Hakim pernah bermarkas di Salemba 6 itu. Bersama teman dekatnya Guritno Harimurti, Taufik sering datang ke gedung FKUI sehingga kami sering tukar pikiran dan bisa juga menyinggung soal politik dalam negeri. Tidak ada yang istimewa atau berlebihan, kami tetap bersahabat. Anehnya pada saat itu mahasiswa kedokteran sedang mencari dana untuk penerbitan perdananya sebuah koran mahasiswa kedokteran namanya "Media Aesculapius". Kami   mencari kesana kemari tidak juga ada yang menyumbang. Tidak tahu bagaimana Taufik bisa mengusahakan dana sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) yang rupanya dari sumber golongan Marhaenis ? Ditambah dari beberapa sumber sumbangan lainnya yang lebih kecil, maka Media Aesculapius bisa diterbitkan. Tempat percetakannya juga ada kaitannya dengan golongan Marhaenis yaitu percetakan Sulindo (Suluh Indonesia) dengan tehnik mencetak tergolong modern yaitu sistim "Hot Printing" dengan beaya sekali cetak untuk 1000 eksemplar sebesar Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah). Media Aesculapius yaitu media (koran) profesi kedokteran sebenarnya sudah muncul pada waktu sebelumnya sebagai majalah yang di cetak secara roneo. Namun dalam bentuk profesional sebagai koran ukuran tabloid baru yang terbit pada akhir tahun 60-an itu atau awal 70-an. Untuk itu mestinya mahasiswa kedokteran UI tahu sejarahnya dan berterima kasih pada Taufik Kiemas. Saudara Zulasmi sebagai pimpinan redaksi, Fahmi Abdulah Alatas sebagai pimpinan utamanya ditambah Rohsiswato sebagai perancang layout, Roby Surjana memimpin bagian iklan, koran mahasiswa kedokteran itu terbit setiap 3 bulanan dan langgeng sampai sekarang. Taufik telah tiada, kami ikut bersedih.....selamat jalan sahabat. Semoga kau diterima disisiNya dengan baik sesuai dengan amal ibadah mu. Foto saat Taufik sering datang ke FKUI sebelum beliau aktif dalam tugas negara....

Monday, April 22, 2013

Panitia urusan sipil Indonesia-Belanda di Palembang

Perwira TRI yang dimaksud adalah Let.Kol Daan Jahja. Awalnya dirinya adalah mahasiswa Kedokteran Ika Daigaku yang dikeluarkan karena melalwan instruksi penggundulan oleh Jepang. Atas usul dari H.Agus Salim diterima dalam pendidikan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air. Selanjutnya berkarir di tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI) terakhir di TNI. Sempat menjadi Gubernur Militer Jakarta dengan pangkat Let.Kol....ucu juga ya Dr M.Jamil dan Mr Amir Sjarifoedin berpakaian ala pasukan gerilya. Sementara Let.Kol Daan Jahja berpakaian sipil seperti PNS....Namanya juga zaman Revolusi...

Sunday, April 21, 2013

Destrukturisasi sejarah Kartini...kapan ?

Kapan kita melakukan destrukturisasi sejarah Kartini ? Rasanya tidak ada minat kesana ya ? Dalam wujud alam pikir kita, Kartini itu mulia, terhormat, berjasa, membela kaumnya dan perintis kemerdekaan bangsanya yang revolusioner...? Mungkin Kartini kurang senang pada pencitraan itu. Dia lebih senang kalau Belanda dan Indonesia bisa mewujudkancita-citanya yang mungkin yang lebih pasti adalah sebuah konsep emansipasi ? Bukan hanya emansipasi yang dangkal seperti berbicara soal gender tok. Tapi yang lebih luas. Kartini mewakili suku Jawa dalam arti yang sebenar-benarnya. Orang Belanda meghargai kaum priayi Jawa ini...merekalah yang mendapat kesempatan untuk mengatur pemerintahan dalam negeri dalam bayang-bayang payung kolonial yang sudah desentralistik itu. Kala itu pada akhir abad ke 19 kalau mau jujur adalah terjadinya perubahan tatanan sosial yang paling menguntungkan kelompok feodal. Bahasa Belandanya "schakel van" Bergantung pada....ya kekuasaan feodal pribumi itu. Belanda berterima kasih kepada mereka. Kartini tidak mungkin melawan kekuasaan ayahnya maupun suaminya Raden Adipati Joyodiningrat. Justru harus dicari jalan bagaimana menyatukan kepentingan Belanda dan Hindia dalam arti kata sebenar-benarnya. Itulah sebabnya bayang-bayang Abendanon dan Deventer amat melekat pada cerita kisah sang Raden Ajeng dari Jepara ini. Haramkah pemikiran ini bisa terjadi ? Juga tidak karena ini zaman perubahan zaman Politik Etis. Kita tidak bisa membawa semangat Revolusi Kemerdekaan kezaman itu. Itu justru yang haram yang mestinya karena pakemnya beda. Ada yang mau menanggapi ? Mungkin banyak yang tertarik barangkali ? Foto: Pencitraan Sjuman Djaya sosok Kartini dalam filmnya yang diperankan oleh Yeni Rachman dan Bambang Hermanto....Masih jauh bukan ? Kalau saja benar Kartini menderita dan bersedia mengakhiri cita-citanya maka dia lahir terlalu cepat.

Monday, April 08, 2013

Margaret Thatcher telah tiada

Margaret Thatcher lebih dikenal sebagai "Wanita besi" meninggal Senin karena stroke pada usia 87 tahun. Untuk ini pemerintah Inggris mengumumkan bahwa mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher akan menerima upacara pemakaman kenegaraan dengan kehormatan militer.. Perdana Menteri David Cameron memutuskan menunda perjalanannya ke Spanyol dan Perancis setelah mendengar berita menyedihkan ini. Kantor Perdana Menteri di Downing Street mengatakan Ratu Elizabeth II memiliki wewenang menetapkan upacara pemakaman kenegaraan bagi Margaret Thatcher yang akan diselenggarakan di St Paul's Cathedral London. Dikatakan pemakaman akan dihadiri oleh pejabat tinggi negara dan masyarakat Inggris. Pelayanan pemakaman juga diikuti oleh kremasi pribadi. Hal itu tidak diperinci lebih lanjut, hanya mengatakan bahwa keputusan yang diambil itu adalah "sesuai dengan keinginan" Thatcher dan keluarga. Foto: Margaret Thatcher saat Perdana Menteri Inggris 

Wednesday, April 03, 2013

Dr Jacob Bernadus Sitanala

Dr Jacob Bernadus Sitanala Pahlawan dan Tokoh Nasional Asal Maluku. JACOB Bernadus Sitanala dilahirkan dalam suatu keluarga pengusaha kecil pada 18 September 1889 di Kayeli, Pulau Buru. Ia keturunan keluarga besar Sitanala dari Desa Suli di Pulau Ambon.  Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Ambonsche Burger School” di Ambon dan pendidikan menengah MULO pada 1904, ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran yaitu “STOVA” di Jakarta. Pada tahun 1912 Sitanala berhasil memperoleh ijasah dokter dan ditempatkan di berbagai tempat di Indonesia. Karena prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, ia mendapat tugas belajar ke Negeri Belanda tahun 1923 dan mendalami ilmu Penyakit Kusta (Lepra).  Pada tahun 1926 berhasil memperoleh diploma “Nederlandsche Arts” dan pada tahun 1927 mendapat gelar doctor dan guru besar dalam Ilmu Penyakit Kusta. Setelah kembali ke Indonesia dan bertugas sebagai ahli Penyakit Kusta, Dr Sitanala diangkat sebagai Kepala Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia. Dr Sitanala adalah ahli Penyakit Kusta yang bertama di Indonesia. Sebagai perintis pemberantasan Penyakit Kusta, ia dikenal pula di dunia Internasional karena karya-karya ilmiah hasil penelitian dan metode baru pengobatan Penyakit Kusta yang ia kembangkan. Untuk itu, raja Kerajaan Swedia berkenan memberikan bintang kehormatan tertinggi “Wasa Orde” yang setaraf dengan “Nobelprijs” (hadiah nobel) kepadanya dan juga sebuah bintang jasa dari perkumpulan sarjana-sarjana internasional dalam bidang kesehatan. Ia terkenal pula sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan Indonesia. Selama studi di Negeri Belanda, menjabat Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia, sangat aktif dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia serta menjadi penasehat dari organisasi politik Sarekat Ambon. Perasaan nasionalismenya sangat tinggi dan terlihat dalam usaha-usaha untuk membela rakyat kecil yang diperlakukan tidak manusiawi dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan juga menentang ras diskriminasi di kalangan profesi kedokteran. Selain itu, ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri Palang Merah Indonesia (PMI). Setelah bertugas ke Ambon pada tahun 1947, masih tetap mengabdi sepanjang hayatnya. Beliau meninggal dunia pada 30 Agustus 1958 dan oleh Pemerintah RI dihargai sebagai “Perintis Kemerdekaan” dan tokoh nasional yang besar. (Sumber: BPNB Ambon). Foto: np. 3 dari kiri adalah JB Sitanala saat ikut ekspedisi di Irian Jaya pada tahun 1912-1913.

Dokter Willem Karel (Wim) Tehupeiory

Pada musim semi tahun 2001 seorang wartawan Belanda keturunan Maluku, Herman Keppy menemukan sebuah koper dengan tumpukan penuh dokumen pada sebuah kamar di sebuah desa di Alkmaar negeri Belanda. Koper ini juga berisi foto-foto dan dokumen pribadi dari Wim Tehupeiory (1883-1946),yang bertugas sebagai dokter pribumi pada tahun 20-an di Hindia Belanda. Bahan-bahan dokumen ini sungguh amat berguna dalam rangka kerja Keppy menulis novelnya yang berjudul Antara Ambon dan Amsterdam (Tussen Ambon en Amsterdam). Buku ini diterbitkan pada tahun 2004. Setelah itu semua dokumen di kirimnya kepada IISH (International Institute of Social History) di Belanda. Bahan dokumen ini terdiri dari sebanyak 250 surat pribadi, surat-surat yang kaitannya dengan profesi kedokteran (tahun 1883-1946) dan sejumlah bahan-bahan lainnya, termasuk laporan bulanan tentang Rumah Sakit pemerintah di Blinjoe di pulau Bangka (dari tahun 1910-1915), juga dokumen dari Vereeniging Ambonsch Studiefonds (1914-1921) serta sejumlah koleksi foto.
Dokter Maluku Willem Karel (Wim dari Empie) Tehupeiory lahir pada tahun 1883 di Ema pulau Ambon Hindia Belanda. Setelah menamatkan sekolah umum, bersama kakak laki-lakinya Johannes Everhardus (Nannie) pergi ke Batavia untuk sekolah di STOVIA. Keduanya lulus pada tahun 1902. Perlu diketahui Stovia memang dalam proses yang secara resmi terbentuk pada tahun 1902. Setelah itu Wim Tehupeiory yang masih berumur 19 tahun bekerja sebagai dokter pribumi di sebuah penjara di Medan. Kemudian di perkebunan Deli guna memberikan pelayanan kesehatan bagi buruh kebun orang Jawa dan Cina. Pada tahun 1907 kakak beradik Tehupeiory ini bersama saudara perempuannya Leentje Jacomina yang belajar ilmu farmasi berangkat ke Belanda guna melanjutkan studinya di Universitas Amsterdam. Tahun 1908 rampunglah sudah pendidikan mereka dan diizinkan menyandang gelar Arts. Beberapa saat setelah lulus, tiba-tiba Johannes Everhardus meninggal secara mendadak dalam umur 26 tahun pada sebah kejadian fatal yang tidak diperkirakan.
Dalam karirnya sebagai Arts asal Indonesia, Wim Tehupeiory memberikan kursus bagi dokter-dokter pribumi yang dibayar murah di Belanda dalam lembaga Indisch Genootschap in Leiden yang juga merupakan gerakan politik etis saat itu dipimpin oleh C. Th. van Deventer dan J. H. Abendanon. Saat bersekolah di Belanda sempat pula dibangunnya perkumpulan dokter pribumi di Belanda . Pada bulan Juli tahun 1909 Wim menikah dengan Anna Ommering seorang wanita Belanda yang dikaruniai 2 anak , Pada tahun yang sama saat kembali ke Indonesia, Wim mendirikan lembaga beasiswa Ambon (Ambonsch Studiefonds) yang maksudnya guna mendukung beaya bagi pendidikan orang Indonesia di negeri Belanda. Setelah kembali ke Indonesia, Wim bekerja di pulau Bangka pada perusahaan pertambangan timah (1910-1916). Pada bulan Juli 1916 keluarga Wim kembali ke Belanda. Dan saat itu dia menjadi anggota dari lembaga budaya perkumpulan MUDATO guna meningkatkan minat masyarakat Ambon dalam pendidikan. Perlu diketahui pula dalam kongres pendidikan kolonial di Den Haag pada tahun 1919 disetujui akan berdirinya Universitas di Hindia Belanda termasuk berdirinya fakultas Kedokteran sebagai perkembangan STOVIA. Pada tahun 1922 karena kesulitan keuangan Tehupeiory harus kembali ke Indonesia tanpa ikut sertanya keluarganya. Dalam situasi ini dia bekerja sebagai dokter di kapal cargo bernama SS Rondo, yang bertugas mengangkut jamaah haji ke Mekah melalui pelabuhan Jedah. Setelah berhenti, dia melakukan praktek umum di Batavia . Disampin kegiatan tersebut sempat pula dirinya aktif dalam organisasi nasional Sarekat Ambon dan tentu saja dalam lembaga beasiswa bagi orang Maluku. Selain itu dia juga anggota komisi supervise sekolahnya terdahulu yaitu STOVIA. Pada tahun 1928, Wim merupakan salah seorang pendiri Perhimpunan Politik Maluku (Molukus Politiek Verbond). Seorang yang memilik pribadi menarik dokter Willem Karel (Wim) Tehupeiory meninggal dunia setelah Indonesia Merdeka di Jakarta pada tahun 1946 dengan tenang. (diterjemahkan bebas dari bahan internet padahttp://www.iisg.nl/collections/tehupeiory/).....Foto: Wim dengan keluarga di Batavia...

Thursday, March 07, 2013

Rumah Proklamasi Pegangsaan Timur 56 Jakarta harus segera dibangun kembali.

Pembangunan kembali Rumah Proklamasi seyogyanya tidak ditunda lagi. Hal ini sebuah methode yang pasti agar persatuan bisa diwujudkan. Bangsa Indonesia lupa asal usulnya, padahal itu semua jelas dalam sejarah. Yang telah terjadi adalah "Proses Lupa sejarah"......Marilah bergabung dengan "Komite Pembangunan Kembali Rumah Proklamasi"......Hadidjojo Nitimihardjo

Walter Spies Seniman Jerman yang Gay

Walter Spies (lahir di Moskwa, 15 September 1895 – meninggal di Samudera Hindia, 19 Januari 1942 pada umur 46 tahun) merupakan pelukis, perupa, dan juga pemusik. Ia adalah tokoh di belakang modernisasi seni di Jawa dan Bali. Spies lahir sebagai anak seorang peniaga kaya Jerman yang telah lama menetap di Moskwa. Semenjak muda ia telah menggemari seni musik, seni lukis, dan seni rupa. Ia mengenal Rachmaninov dan mengagumi Gauguin. Selepas Perang Dunia I, Spies sempat tinggal beberapa lama di Jerman (di Berlin) dan berteman dengan sutradara ternama masa itu, Friedrich Murnau. Kelak, Murnau-lah yang banyak membantu Spies secara finansial di perantauan. Di Jerman ia sudah cukup ternama karena lukisan-lukisannya, namun ia merasa tidak kerasan karena sebagai homoseksual ia selalu dicari-cari polisi. Pada tahun 1923 ia datang ke Jawa dan menetap pertama kali di Yogyakarta. Dia dipekerjakan oleh sultan Yogya sebagai pianis istana dan diminta membantu kegiatan seni keraton. Spies-lah yang pertama kali memperkenalkan notasi angka bagi gamelan di keraton Yogyakarta. Notasi ini kemudian dikembangkan di kraton-kraton lain dan digunakan hingga sekarang. Setelah kontraknya selesai, ia lalu pindah ke Ubud, Bali, pada tahun 1927. Di sinilah ia menemukan tempat impiannya dan menetap hingga menjelang kematiannya. Di bawah perlindungan raja Ubud masa itu, Cokorda Gede Agung Sukawati, Spies banyak berkenalan dengan seniman lokal dan sangat terpengaruh oleh estetika seni Bali. Ia mengembangkan apa yang dikenal sebagai gaya lukisan Bali yang bercorak dekoratif. Dalam seni tari ia juga bekerja sama dengan seniman setempat, Limbak, memoles sendratari yang sekarang sangat populer di Bali, Kecak. Sering kali dikatakan bahwa ia adalah orang yang pertama kali menarik perhatian tokoh-tokoh kesenian Eropa terhadap Bali. Ia memiliki jaringan perkenalan yang luas dan mencakup orang-orang ternama di Eropa. Sejumlah temannya banyak diundangnya ke Bali untuk melihat sendiri pulau kebanggaannya itu. Di bulan Desember 1938 Spies sempat dipenjara karena dituduh homoseksual. Ia baru dibebaskan karena bantuan beberapa temannya, di antaranya Margaret Mead, pada September 1939. Perang Dunia Kedua membawanya pada nasib buruk. Sebagai orang Jerman, ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda. Ia meninggal 19 Januari 1942 karena tenggelam bersama-sama dengan kapal 'Van Imhoff' yang ditumpanginya. Kapal dengan 477 tawanan dan 110 awak kapal itu tidak mempunyai ciri-ciri yang khas yang menandai bahwa kapal itu kapal yang membawa tahanan perang, sehingga diserang oleh armada Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di perairan barat Sumatera Utara. Kapal yang seharusnya berlayar ke Srilanka itu mengangkut orang-orang Jerman yang diusir dari Hindia Belanda akibat serangan Jerman ke Belanda. Foto: capture dari film Walter Spies dengan seorang pemuda Bali sedang bercengkarama berenang

Sunday, February 24, 2013

Konferensi Malino

Dalam kerangka SEAC (South East Asia command) setelah Perang Dunia II, sekutu menyerahkan kembali wilayah Indonesia timur kepada Belanda pada tanggal 15 Juli 1946. Dengan demikian pemerintah Belanda dalam hal ini organisasi Netherlands Indie Civil Administration (NICA) mendapatkan kembali wilayah Indonesia timur secara de jure dan de facto. Segera setelah penyerahan ini, pemerintahan NICA dipimpin oleh Letnan Gubernur Jendral Van Mook menyelenggarakan Konferensi Malino pada tanggal 15 Juli - 25 Juli 1946 [1] di Kota kecil Malino, Sulawesi Selatan. Konferensi ini dihadiri oleh 39 orang dari 15 daerah dari Kalimantan (Borneo) dan Timur Besar (De Groote Oost) dengan tujuan membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia serta rencana pembentukan negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia bagian Timur. Dalam konferensi yang dipimpin Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook tersebut dibentuk Komisariat Umum Pemerintah (Algemeene Regeerings commissaris) untuk Kalimantan dan Timur Besar yang dikepalai Dr. W. Hoven. Diangkat pula menjadi anggota luar biasa Dewan Kepala-kepala Departemen (Raad van Departement shooden) untuk urusan kenegaraan adalah Sukawati (Bali), Najamuddin (Sulawesi Selatan), Dengah (Minahasa), Tahya (Maluku Selatan), Dr. Liem Tjae Le (Bangka, Belitung, Riau), Ibrahim Sedar (Kalimantan Selatan) dan Oeray Saleh (Kalimantan Barat), yang disebut pula "Komisi Tujuh". Peraturan pembentukan negara-negara bagian diputuskan dalam konferensi berikutnya di Denpasar, Bali. Sebelum itu akan dilangsungkan konferensi dengan wakil golongan minoritas di Pangkal Pinang, Pulau Bangka. Foto: Konferensi Malino. Sumber: Wikipedia

Thursday, January 17, 2013

Ibu Mien telah tiada


Mien Soedarpo Berpulang
TEMPO.CO, Jakarta - Minarsih Soedarpo Sastrosatomo berpulang pada jam 20.55 WIB, di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat, dalam usia 89 tahun. “Ya, ibu saya baru saja meninggal,” ujar Santi Soedarpo, putrinya, kepada Tempo via telpon. Mien Soedarpo —begitu Minarsih biasa disebut- lahir di Bandung, 25 Januari 1924—adalah seorang tokoh aktivis wanita Indonesia. Dia putri Syarifah Nawawi, seorang tokoh pendidikan berdarah Minangkabau dengan Wiranatakusumah, seorang bangsawan Sunda yang pernah menjabat Bupati Cianjur, Jawa Barat dan anggota Dewan Pertimbangan Agung. Suami Mien, Soedarpo Sastrosatomo adalah seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pengusaha nasional. Soedarpo juga banyak dikenal sebagai juru runding yang banyak berperan membantu perjuangan diplomasi Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. Belakangan dia dikenal sebagai salah satu konglomerat Indonesia yang membangun perusahaan pelayaran raksasa Samudera Grup. Sebagai seorang aktivis wanita, Mien Soedarpo pernah menjadi Ketua Women''s International Club pada 1978-1980 dan pada 1988-1990. Ibu tiga putri ini masih sangat aktif dalam kegiatan sosial dan masih giat berolahraga hingga usia sepuh. “Ibu saya sempat mengatakan tak ingin meninggal sebelum ulang tahunnya (25 Januari),” Santi menambahkan. Jenasah dibaringkan di kediaman almarhumah di Jalan Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat. Mien Sudarpo menjadi narasumber utama dari beberapa laporan khusus Tempo mengenai sejarah politik, antara lain pada laporan khusus Sjahrir dan Tan Malaka.
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Saya mengenal Ibu Minarsih karena cukup kenal baik dengan Pak Soedarpo, tapi juga karena suami istri ini sebelum menikah adalah mahasiswa Ika daigaku yaitu sekolah kedokteran dizaman Jepang yang gedungnya sama dengan gedung FKUI sekarang di jalan Salemba no.6. Kalau Pak Soedarpo adalah jurusan Kedokterannya, maka Ibu Mien jurusan Farmasi. Keduanya tidak dapat menyelesaikan pendidikannya karena dilanda arus Revolusi. Kebetulan pada awal tahun 2000, atas kesepakatan semua pihak saya diangkat sebagai ketua Yayasan Prapatan 10 dan Sdr Ervan Ibrahim sebagai sekretaris. 

Sebagai nara sumber Tempo juga kami pernah sama-sama khususnya saat penerbitan khusus TEMPO mengenai Sutan Sjahrir (saat 100 th Sjahrir). Kala itu bersama Des Alwi dan Pak Rosihan Anwar. Semua terabadikan pada TEMPO penerbitan khusus tersebut... Juga mengenai Tan Malaka menjadi menarik karena Ibu dari Ibu Mien sebelum menikah yaitu Syarifah Nawawi pernah diberitakan akan menikah dengan Tan Malaka.....