Mas Marco Kartodikromo, lahir di Cepu, sekitar tahun 1890. Berbeda dengan kebanyakan tokoh zaman itu yang berdarah priyi, bapaknya hanya seorang priyayi rendahan, yang sehari-hari mencari nafkah dengan bertani. Pada awal tahun 1905 Marco bekerja sebagai juru tulis Dinas Kehutanan. Tapi tak lama. Kemudian ia pindah ke Semarang dan menjadi juru tulis kantor Pemerintah. Di sana ia belajar bahasa Belanda dari seorang Belanda. Tahun 1911, setelah pandai berbahasa Belanda ia meninggalkan Semarang dan menuju Ban-dung. Di Bandung ia bergabung dengan pe-nerbitan Surat Kabar Medan Prijaji pimpinan Tirto Adhi Soeryo. Saat itu, Medan Prijaji sedang berada di puncak kegemilangan. Pada Tirto Adhi Soeryolah dia berguru. Yang dipelajari bukan hanya ilmu jurnalistik, tapi juga tentang organisasi modern. Pada tahun 1913, media pribumi dengan oplah besar itu bangkrut, diikuti dibuangnya Tirto Adhi Soeryo ke Maluku. Hal ini sempat membuat semangat Mas Marco mundur. Terlebih lagi tak lama kemudian mendengar gurunya itu meninggal dunia. Pada usia 22 tahun, Mas Marco pindah ke Surakarta dan mendirikan surat kabarnya sendiri, berjudul “Doenia Bergerak”. Disamping itu ia juga mendirikan Ikatan Wartawan Hindia (Inlandshe Journalistenbond atau IJB) di Surakarta pada pertengahan 1914. Dunia Bergerak merupakan Surat Kabar pergerakan yang anti Kolonial. Isinya hampir kerap menyerang kebijakan Pemerintah, sehingga akibatnya tidak heran kalau Mas Marco yang juga pimpinan redaksinya keluar masuk penjara. Pada tahun yang sama terjadi perkembangan baru dalam pergerakan politik. Sebelum mengakhiri tugasnya Gubernur Jenderal AWF Idenburg (1909-116) telah berkenan menyetujui Sarekat Islam sebagai “Badan Hukum”. Padahal sejak diajukan permohonan pertama kali pada tanggal 14 September 1914, Pemerintah Kolonial selalu menolaknya. Jasa baik Gubernur Jenderal ini ternyata menuai badai. Pertama, tibulnya kritik para Kolonialis, termasuk sejumlah besar Pangreh Praja. Yang kedua, sesuai dengan dibentuknya C.S.I (Centrale Sarekat Islam) yang diyakini pada mulanya bisa mengerem gerakan radikal cabang2, ternyata tidak berhasil bahkan telah terjadi apa yang dinamakan “Peristiwa Jambi”. Yaitu pada November 1914, dalam distrik Lubuk Gaung wilayah Bangko, dibentuk komplotan yang terdiri dari anggota S.I dengan tujuan membunuh kontroleur WG Moggenstorm. Usaha ini berhasil digagalkan kepolisian. Di Surakarta Mas Marco aktif dalam dunia pergerakan. Sesuai perkembangan yang terjadi termasuk perpecahan S.I, Marco memilih organisasi P.K.I. (Dari berbagai suber).
6 comments:
Ternyata tokoh-tokoh di dalam tetralogi novel Bumi Manunisia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca-nya Pramoedya Ananta Toer itu berdasarkan tokoh-tokoh yang benar-benar ada ya! Salut buat Pram.
Tahukah anda bahwa Mas Marco adalah paman dari Kartosuwiryo, itu tokoh DI TII di Jawa barat ?
tampillan jg donk profil Tirto Adhi Suryo, guru Mas Marco..
bukan tanpa alasan Pramoedia menjadikannya tokoh utama dalam tetralogi Pulau-Buru
Saya sedang mempelajari Marco Kartodikromo. Sepertinya Bapak memiliki cukup banyak referensi mengenai dirinya hingga mengatakan kalau Marco masih punya hubungan darah dengan S.M. Kartosuwiryo. Saya ingin sekali berdiskusi dengan Bapak mengenai Marco. Terima kasih atas artikel yang Bapak buat.
Halo, salam kenal buat semua terutama sang empunya blog. Sudah pernah baca novel karya Mas Marco? Kalo nggak salah judulnya Student Hejo atau mirip2 itulah. Meski secara objektif bisa dibilang novel itu kurang begitu menarik, tapi isinya cukup menjelaskan latar belakang kenapa Mas Marco memutuskan menjadi "kiri".
maksih infonya ya..
Post a Comment