Ada yang menarik dalam sejarah TNI, yaitu tokoh yang
bernaman Bambang Soepeno. (ini pernah diangkat dalam posting lama) . Kolonel
(Purn) Bambang Soepeno (Almr) lahir pada tanggal 23 Juli 1924, sebagai anak
kedua dari Wedana Kepanjen, di Kabupaten Malang. Pada usia 13 tahun ayah
Bambang Soepeno wafat, sehingga hanya diasuh oleh ibunya. Pada masa remajanya
telah mengikuti berbagai aktivitas, seperti keolahragaan, seni bela diri, dan
Kepanduan Kebangsaan Indonesia (KBI). Dalam setiap kegiatan tersebut, beliau selalu
dipercaya dan dipilih menjadi ketua. Pada masa sekolah rendah hingga MULO zaman
kolonial Belanda, jiwa kebangsaannya terlihat mencolok. Pada masa pendudukan
Jepang, sebagai murid SMP (Chugakko) di Malang, Bambang Soepeno dipilih sebagai
pimpinan murid sekolah. Pada masa dibentuknya Tentara Sukarela Pembela Tanah
Air (PETA) Bambang Soepeno ikut mendaftar. Para pendaftar itu akan menduduki
pangkat sebagai Shodancho dan pendidikannya di Bogor. Selanjutnya, sekembali
dari pendidikan tersebut, para shodancho diberi kepercayaan untuk melatih murid
Chugakko. Pada awal Januari 1945 dibuka pendidikan calon Ippang taiing
Yugekitai di Malang, Bambang Soepeno merupakan salah satu pelatihnya. Pada saat
pemberontakan Peta di Blitar, Bambang Soepeno dipilih memimpin beberapa
Shodancho Seinendojo untuk menyelesaikan masalah pemberontakan tersebut.
Bambang Soepeno ditugasi mengadakan kontak dengan Soepriyadi. Namun, ternyata
setelah pemberontakan itu berakhir, Jepang berbalik arah dan mengingkari janji.
Mereka dihadapkan pada Pengadilan Tentara Jepang. Karenanya para shodancho
sering berurusan dengan Kempetai, bahkan seringkali pimpinan Jepang di
Seinendojo, Kutaicho Kapten Tamai, harus bertanggung jawab dan menjadi sibuk
oleh adanya urusan seperti ini. Pada tanggal 14 Agustus 1945 tentara Peta
secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Atas inisiatif Bambang Soepeno,
beberapa mantan anggota Seinendojo diminta berkumpul di rumah Purbo Suwondo
(masih sehat, Let.Jen TNI Purn) di Jalan Arjuno 20 Malang. Mereka berkumpul bertujuan untuk menentukan sikap
dan upaya awal konsolidasi. Kemudian diadakan hubungan dengan anggota
Seinendojo dari daerah Probolinggo, Lumajang, Jember, dan Bondowoso. Pada
tanggal 23 Agustus 1945 diadakan rapat pembentukan BKR di Malang yang dipimpin
Imam Soedja’i dan dihadiri Bambang Soepeno. Bersama beberapa mantan anggota
Seinendojo, Shodancho Bambang Soepeno membentuk BKR-P (Badan Keamanan
Rakyat-Penyelidik). Beliau akhirnya diangkat menjadi Komandan Polisi Tentara
Divisi VII/Untung Suropati dengan pangkat Mayor. Proses pembentukan P-TKR
selanjutnya berkembang menjadi PTKR/PTRI dan CPM (Corps Polisi Militer).
Periode tersebut merupakan periode terselesaikannya dan mantapnya masa
konsolidasi. Periode tersebut melambungkan nama PTRI, sehingga dianggap
merupakan alat penegak hukum dan pencipta ketertiban dalam lingkungan TRI dan
kelaskaran. Selanjutnya, untuk meningkatkan mutu anggota PTRI dibentuklah
semacam Depot Batalyon bertempat di Nongkojajar. Di tempat ini para anggota
PTRI mendapat pendidikan lebih lanjut. Kemudian didirikan pula semacam SKI, pendidikan
kader bintara PTRI, bertempat di asrama bekas sekolah ELS yang terletak di
Jalan Arjuno Malang. Langkah dan strategi yang diambil di atas semua merupakan
kebijakan dan hasil pemikiran Shodancho Bambang Soepeno sebagai Komandan Polisi
Tentara. Demikian pula masalah yang menyangkut kejiwaan diberikan penekanan
secara ketat. Oleh karena itu, para instruktur pun dipilih sedemikian rupa
antara lain berdasarkan kriteria kepemilikan jiwa dan semangat kebangsaan serta
kemiliteran secara kuat. Di samping itu, hal yang paling penting adalah
masalah kedisiplinan. Salah satu caranya adalah dengan ujian. Ujian tersebut
dilakukan pada saat kader PTRI digabung dengan peleton khusus yang terdiri dari
Kadet (Sekolah Tentara Divisi), dan diterjunkan di medan laga antara
Gempol-Porong. Mereka dipimpin oleh Kapten Subowo. Dari ujian ini dapat
diketahui siapa di antara mereka yang dapat diandalkan. Di samping itu, Mayor
Bambang Soepeno sangat menekankan jiwa kebangsaan seperti yang tersirat dalam
amanat Panglima Besar Sudirman. Dalam melaksanakan tugas sebagai tugas sebagai
penegak hukum, anggota PTRI dibekali dengan motto kesucian, keadilan, dan
kenyataan. Perkembangan selanjutnya diadakan pemantapan organisasi BKR-P
menjadi Polisi Tentara. Di Jawa dibentuk tiga resimen Polisi Tentara. Di daerah
Jawa Timur, komandannya ditetapkan semula berpangkat Letnan Kolonel, kemudian
menjadi Kolonel. Sebagai komandan Resimen Polisi Tentara III Jawa Timur,
Kolonel Bambang Soepeno dikenal dekat dengan lingkungan Staf Divisi VII Untung Suropati,
terutama dengan mantan Chu, Kolonel Sukandar Tjokronegoro. Beliau ini menjabat
sebagai Asisten Intelejen Divisi VII Untung Suropati. Selanjutnya Kolonel
Bambang Soepeno diangkat sebagai Panglima Komando Pertempuran Divisi. Beliau
menjabat sebagai Cop merangkap Komandan Resimen Polisi Tentara III. Pada saat
pertempuran di Surabaya, beliau juga berhasil menjalin kordinasi antara lain
dengan Komando Pertempuran di Surabaya yang dipimpin Kolonel Sungkono. Bambang
Soepeno juga memberikan konsep pembentukan PTP (Polisi Tentara Pertempuran)
yang dipimpin oleh Kapten Moh. Drajad dan bermarkas di Sidoarjo. Tugas mereka
adalah untuk mengatur ketertiban dan keamanan di lingkungan tentara dan
kelaskaran, termasuk pengurusan desersi prajurit yang bertugas di garis depan. Konsep pemikiran ini sangat unik dan
bermanfaat dalam rangka menunjang kepentingan pertahanan perang linier. Akibat
agresi militer Belanda, kedudukan Cop berpindah-pindah dari Candi, Pandaan,
Malang, Maduharjo Gunung Kawi, Turen, dan berakhir di Dampit. Karena
perkembangan organisasi dan keadaan, COP dilikuidasi. Kolonel Bambang Soepeno
menggantikan Jenderal Mayor Imam Soedja’i sebagai Panglima Divisi VII/Untung
Suropati. Jabatan tersebut tidak berlangsung lama, karena di lingkungan tentara
diadakan reorganisasi dan rasionalisasi. Karena pemikirannya yang menonjol,
Kolonel Bambang Soegeng diangkat sebagai Kepala Staf Umum Angkatan Darat. Jabatan
ini dipangku pada saat Kolonel AH Nasution sebagai KASAD. Posisi tersebut
tidaklah buruk, meski tak memegang pasukan, namun ia ikut merumuskan
reorganisasi TKR/TNI, penempatan perwira komandan di daerah dan bahkan
merumuskan doktrin. Kolonel Bambang Soepeno dikenal sebagai pembuat konsep
falsafah pedoman prinsip bagi tentara. Konsep ini dikerjakan pada saat Perang
Kemerdekaan II. Setelah perang selesai, pemikiran tersebut dilanjutkan dengan
bantuan Ir. Sakirman, Prof. Purbacaraka dan Drs Moh Ali. Berdasarkan bantuan
tersebut kemudian dirumuskanlah doktrin Sapta Marga yang berlaku resmi di
lingkungan TNI sampai saat ini. Berbeda
dengan perwira-perwira konseptor yang kebanyakan berpendidikan militer Belanda,
Bambang Soepeno merintis jalur kemiliteran dari PETA. Ia salah satu satu dari
sedikit perwira intelektual di masa awal revolusi, tetapi kelebihannya itu tak
pernah bisa membawanya dalam puncak karir militer. Selain cerdas,
Bambang Soepeno juga berani demi hal yang diyakininya. Saat KNIL dan TNI akan
dilebur menjadi APRIS, Belanda menyisipkan keharusan setiap perwira harus
menjalani reeduksi lewat wadah SSKAD. Soepeno saat itu menjadi perwira yang
paling vokal mengkritiknya. Baginya, reedukasi bisa melunturkan patriotisme
TNI. Karena itu, ia membuat lembaga tandingan Chandradimuka dan setiap perwira
lulusan SSKAD diwajibkan ikut kursus Chandradimuka. Namun agaknya, sikapnya itu
membuat beberapa orang tak suka. Dua kali markas besar tentara berniat mencoba
menunjuknya menjadi panglima di daerah, dan dua kali pula Soepeno ditolak calon
anak buahnya. Tahun 1948, bersamaan dengan pencanangan program rera yang ditetapkan
PM Hatta, 3 divisi yang ada di wilayah Jawa Timur akan diciutkan menjadi hanya
satu Divisi. Divisi V Ronggolawe (Cepu), Divisi VI Narotama (Mojokerto) dan
Divisi VII Untung Surapati (Malang) akan dilebur. Para komandan divisi, Kolonel
GPH Djatikusumo, Kolonel Soengkono dan Kolonel Imam Sudja’i akan ditarik ke
Yogya. Adapun sebagai panglima akan dipegang Bambang Soepeno. Akan tetapi
peleburan ini terkatung-katung. Djatikusumo tak ada persoalan, ia pulang ke
Jogja, namun dua divisi lainnya menolak dengan dalih macam-macam. Sementara
pada waktu bersamaan pecah peristiwa Madiun. Akhirnya pusat menunjuk Soengkono
sebagai panglima Divisi I Jawa Timur menjadi Gubernur Militer. Pada 1952 TNI AD
merencanakan membentuk TNI yang profesional dan modern. Tetapi hal ini membuat
Angkatan Darat terpecah. Kelompok pendukung dikenal dengan sebutan Blok SUAD
yang diikuti oleh Nasution dan Simatupang. Kelompok yang menolak, dimotori
Kolonel Bambang Soepeno dan Letkol Zulkifli Lubis, disebut “Blok Supeno-Lubis”.
Blok Supeno-Lubis mencurigai rencana
itu untuk mengeliminasi para perwira didikan Jepang, yang belum setara dengan
pendidikan militer di zaman Belanda. Kecurigaan diperbesar dengan adanya tiga
kriteria dalam menentukan seseorang terus dalam dinas tentara, yaitu tingkat
pendidikan, kesehatan dan usia. Kalau ini diberlakukan, bagian terbesar perwira
eks Heiho, Peta atau Giyugun akan pensiun. Mereka menuduh Blok SUAD mengabaikan
nasionalisme dan patriotisme, dan mengubah prajurit pejuang menjadi tentara
gajian. Pada 13 Juli 1952, Kolonel Bambang Supeno mengirim surat ke Perdana
Menteri Wilopo, Presiden dan DPRS, menyatakan tak mempercayai lagi pimpinan
Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat yang dipimpin Nasution. Bambang
Soepeno didukung oleh Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX. Akibatnya,
Kolonel Bambang Supeno diskors oleh KSAD. Surat Soepeno segera menjadi
perhatian DPR. Akhirnya terjadilah peristiwa 17 Oktober 1952. Saat Nasution dan
perwira tinggi lainnya menghadap Presiden Sukarno, di luar istana ada demontrasi
yang direkayasa kubu Nasution, ditambah lagi pasukan artileri dengan meriam
terkokang yang dipimpin Letkol Kemal Idris. Mereka menuntut parlemen dibubarkan. Aksi ini yang membuat Soekarno murka.
Nasution dicopot dan diganti dengan Kol. Bambang Sugeng yang dianggap netral,
sementara Bambang Soepeno dipulihkan dinas militernya. Krisis ini akhirnya
berakhir tahun 1955, dengan dikembalikannya jabatan KSAD kepada Nasution oleh
Soekarno. Pada tahun 1956, Pimpinan Angkatan Darat (Nasution-Zulkifli Lubis), berencana
menunjuk Bambang Soepeno sebagai Panglima Divisi Diponegoro. Tetapi kabar
penunjukan ini bocor ke daerah. Dalam memoar Yoga Sugama, menyebutkan bahwa
Letkol Soeharto mengutarakan mosi penolakan perwira terhadap penunjukan
Soepeno. Alasannya, kepemimpinan Soepeno berpotensi menimbulkan konflik
internal kodam. Akibatnya lagi-lagi membuatnya gagal menjadi panglima. Setelah
itu posisinya tidak cukup jelas, sekadar mengisi posisi staf pimpinan. Nasution
pun meski mengaku secara pribadi tak memiliki dendam pada Soepeno, pada
kenyataannya tak pernah menaikkan pangkat Soepeno. Padahal banyak perwira
yunior menjadi jenderal. Karir Soepeno sedikit terangkat begitu KSAD baru
Letjen Ahmad Yani naik. Oleh Ahmad Yani, setelah berpulangnya Wakasad Gatot
Subroto, Soepeno diberi jabatan sebagai wakasad. Meski demikian, Yani tak kuasa
juga untuk cepat-cepat memberikan pangkat jenderal. Yani harus mencari momentum
tepat sampai anggota Wanjakti lainnya siap berdamai dengan masa lalu Soepeno.
Namun untuk kesekian kali, nasib kurang baik bagi Soepeno. Ahmad Yani yang
berada di belakangnya malah gugur dalam peristiwa Gestok 1965. Ia yang praktis
bukan lagi perwira yang diperhitungkan, juga ikut digulung oleh penguasa
militer baru, Mayjen Soeharto. Tak jelas apa pasal yang dituduhkan padanya.
Lima tahun lamanya Soepeno hidup dibui, sampai akhirnya dibebaskan pada tahun
1971 dan namanya direhabilitasi kembali. Namun, rehabilitasi ini hanya pepesan
kosong, karena ia tak mendapat ganti rugi apalagi kembali ke jabatan lama. Apalagi
pembebasan itu tak berarti banyak karena jiwa dan fisik Soepeno sudah terampas
sejak di dalam penjara. Setelah tiga tahun berkumpul kembali dengan istrinya,
Sri Koosdiantinah, serta anak-anak, pada tahun 1974 Bambang Soepeno meninggal
dunia karena sakit yang dideritanya semenjak dari dalam penjara. Pemerintah
akhirnya memberikan pangkat anumerta Brigadir Jenderal untuk Bambang Soepeno.
Sayangnya, Soepeno meraih bintang di pundaknya pada saat ia tak lagi punya
nyawa. Sumber: http://ngalam.web.id/read/3263/kolonel-bambang-soepeno/
Foto, Kolonel Bambang Soepeno semasa hidupnya.