Saturday, August 25, 2012

Hindia Belanda Menjelang Perang Dunia ke II

3 Penguasa Hindia Belanda sebelum perang. Kiri ke kanan. Jenderal Gerardus Johannes Berenschot (Panglima KNIL), Gubernur Jenderal Jonkheer Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (Gubernur Jenderal Hindia Belanda tera
hir) dan Laksamana Conrad Emil Lambert Helfrich (Panglima Angkatan Laut Belanda di Hindia). Sebenarnya sudah tidak ada hubungan sejarah antara zaman keemasan Kolonial Belanda di Hindia itu dengan zaman Republik Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat saat ini. Kecuali upacara Kemerdekaan yang selalu diadakan setiap tahun di Istana Merdeka. Tempat itu (istana Gambir atau Koningsplein Palace...sekarang kita selalu menyebutnya sebagai Istana merdeka), adalah cacat dari Revolusi Indonesia. Memuliakan tempat tersebut selalu seolah membuka luka lama dari penderitaan penjajahan oleh Kolonial Belanda. Tempat itu sejak didirikan selalu menjadi tempat terhormat bagi perayaan-perayaan Pemerintah Hindia Belanda. Ketiga tokoh ini sebelum perang saat diambil gambarnya, sedang bergembira ria dimuka Koningsplein Palace...Mungkin sedang merayakan Koninginnedag atau Hari Ratu pada setiap tanggal 31 Agustus. Saat itu ratu Belanda adalah Wilhelmina. Sementara gedung dan tempat yang romantis-legendaris bersahaja dan sangat berjasa yaitu Rumah Bung Karno atau Rumah Proklamasi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang jalan Proklamasi) dicampakkan, dibongkar dan tidak dihargai . Sehingga terkesan disia-sia ? Mana penghargaan Bangsa Indonesia pada itu jiwa Kemerdekaan yang kita harus pelihara ? Kembali kepada ketiga penguasa Hindia Belanda sebelum perang. Perlu ditambahkan, ketiganya tidak bernasib sama. Berenschot meninggal dunia saat pesawatnya pada tanggal 13 October 1941 meledak di Lapangan Terbang Kemayoran Jakarta. Tjarda van Starkenborgh saat Jepang menduduki Jawa Maret 1942 ditangkap dan dipenjara. Baru pada Agustus 1945 saat dipenjara di Manchuria dibebaskan tentara sekutu. Mungkin yang nasibnya baik adalah Helfrich yang berhasil melarikan diri ke Ceylon beberapa saat sebelum Jepang tiba. Oleh karena itu hanya Tjarda dan Terporten (pengganti Berenschot) yang langsung digiring Jepang masuk kamp interniran di Bandung setelah menyerah tanpa syarat di Kalijati pada tanggal 8-9 Maret 1942. Setelah Belanda kembali ke Indonesia (Oktober 1945) Helfrich kembali pada jabatannya sebelum perang, tapi karena tidak cocok dengan sekutu khabarnya atas desakan banyak pihak diganti oleh stafnya yaitu Laksamana Pinke. Ada harapan saya bisa dimunculkan diskusi atas topik dan hal ini ? Ada yang berminat ? Nanti akan kita angkat dokumen lain terkait yang mungkin ada gunanya untuk Nation and Character Building Bangsa Indonesia ?

5 comments:

Unknown said...

Sangan menarik!! Fakta sejarah yang belum pernah saya dengar sebelumnya dok, saya sangant menantikan kelanjutannya :)

salam,
Yudha - FKUI'04

Fajar Muhammad Rivai said...

Menarik!
Lanjutkan lagi pak (kalo ada sambungannya) :)

Unknown said...

sangat menarik..lanjutkan om..

Unknown said...

Ini menunjukkan dimana-mana dan pada masa apa pun ketidakadilan selalu ada.

Helfrich tidak bertanggungjawab karena kabur meninggalkan tugasnya dan juga Tjarda yang merupakan atasannya.

Tjarda bertanggungjawab tidak meninggalkan tugasnya sampai Jepang datang. Sampai harus mau dimasukkan ke kamp tahanan sampai perang berakhir.

Tjarda menyerah untuk mencegah perempuran kota dengan tujuan menyelamatkan Asset-Asset milik Hindia Belanda (gedung-gedung penting, pemancar radio, penerongan bintang,pabrik-pabrik,perguruan tinggi dll).

Ironisnya setelah Jepang menyerah banyak asset-asset itu yang dihancurkan (radio Malabar yang termasuk pemancar tercanggih pada zamannya dan lain-lain).

Dan Sebaliknya, ketika perang berakhir Helfrich mendapatkan kembali jabatannya semula, sedangkan Tjarda diberhentikan secara hormat.

Yang menyedihkan, yang mengisi jabatan yang ditinggalkan Tjarda setelah perang selesai adalah Van Mook wakilnya Tjarda yang dulu bukan mendampinginya tapi malah kabur ke Australia.


Unknown said...

Ini menunjukkan dimana-mana dan pada masa apa pun ketidakadilan selalu ada.

Helfrich tidak bertanggungjawab karena kabur meninggalkan tugasnya dan juga Tjarda yang merupakan atasannya.

Tjarda bertanggungjawab tidak meninggalkan tugasnya sampai Jepang datang. Sampai harus mau dimasukkan ke kamp tahanan sampai perang berakhir.

Tjarda menyerah untuk mencegah perempuran kota dengan tujuan menyelamatkan Asset-Asset milik Hindia Belanda (gedung-gedung penting, pemancar radio, penerongan bintang,pabrik-pabrik,perguruan tinggi dll).

Ironisnya setelah Jepang menyerah banyak asset-asset itu yang dihancurkan (radio Malabar yang termasuk pemancar tercanggih pada zamannya dan lain-lain).

Dan Sebaliknya, ketika perang berakhir Helfrich mendapatkan kembali jabatannya semula, sedangkan Tjarda diberhentikan secara hormat.

Yang menyedihkan, yang mengisi jabatan yang ditinggalkan Tjarda setelah perang selesai adalah Van Mook wakilnya Tjarda yang dulu bukan mendampinginya tapi malah kabur ke Australia.