Saturday, May 09, 2009
Seniman Indonesia tahun 1945 (bagian II)
Seniman Indonesia tahun 1945
Friday, May 08, 2009
Memperingati 60 th Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949-23 Agustus 2009)
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia, BFO (Permusyawaratan Negara Federal) dan Kerajaan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Delegasi Indonesia (RI dan BFO) dipimpin oleh Mohamad Hatta. Konferensi Meja Bundar terkait karena usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Republik Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggajati, perjanjian Renville, pernyataan Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar. Hasil Konferensi Meja Bundar antara lain, serahterima (overdracht) kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat kecuali pulau Irian bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan pulau Irian bagian barat sebagai negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Pulau Irian bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Kemudian akan dibentuknya sebuah persekutuan Indonesia dan Belanda bernama UNI Indonesia-Belanda, dengan Baginda Ratu Belanda sebagai kepala UNI. Terakhir, pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat. Tahun ini (2009) seyogyanya diadakan peringatan ke 60 Konferensi Meja Bundar. Mengapa ? Karena senang atau tidak senang, mau atau tidak mau, kenyataannya dalam penyerahan kedauylatan 27 Desember 1949, Republik Indonesia Serikat merupakan periode yang tidak terpisahkan dengan sejarah nasional kita. Dan Presiden pertama RI, Soekarno merupakan Prtesiden yang diakuai dunia saat itu (wakil PBB dalam UNCI, merupakan representasi dunia yang terlibat dan hadir dalam Konperensi Meja Bundar maupun penyerahan kedaulatan itu 27 Desember 1949).
Jong Java
Jong Java (sebelum tahun 1918 bernama Tri Koro Dharmo)
Berbicara tentang perhimpunan pelajar yang pertama dan yang terbesar di tanah Jawa, adalah Jong Java ). Pada tahun 1915 pelajar STOVIA Satiman Wirjosandjojo mengam-bil inisiatif mendirikan perhimpunan untuk para pelajar pendidikan menengah dan lanjut. Mahasiswa kedokteran ini untuk pertama kali menjadi berita tahun 1912, ketika ia dengan keras memprotes peraturan tentang pakaian di sekolah kedokteran di Batavia. Para pelajar Jawa waktu itu diwajibkan mengenakan jarik (kain) dan udheng (ikat kepala). Di atas udheng itu dikena-kan topi berlambang kedokteran. Suatu pemandangan yang menggelikan, karenanya calon-calon dokter yang biasanya berasal dari kalangan priyayi itu dicemoohkan orang sebagai "kondektur trem". Satiman berjuang agar para pelajar dapat mengenakan "pakaian bebas". Dalam praktek itu berarti hak untuk berpakaian sebagai orang Barat. Sesudah lama dipertim-bangkan, akhirnya direktur STOVIA memutuskan untuk meluluskan permohonan itu, terutama karena ternyata pakaian Barat agak lebih murah daripada pakaian Jawa. Dengan sendi-rinya waktu itulah kaum elit yang baru muncul dan berpendi-dikan baik itu di masa studi dan sesudahnya mulai membedakan diri secara lahiriah dari orang-orang setanah airnya dengan menggunakan gaya pakaian si penjajah. Para pelajar STOVIA itu adalah orang-orang yang sadar akan kelas dan statusnya, dan antara sesamanya mereka berbicara Belanda.Ini tidak berarti bahwa rnereka mencampakkan budaya Jawa. Satiman justru ingin menghidupkan kembali budaya itu. Tang-gal 7 Maret 1915 bersama dengan Kadarman dan Soenardi ia mendirikan Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) yang menjadi pendahulu Jong Java. Yang menjadi anggota pertamanya adalah lima puluh pelajar STOVIA, Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sari (Weltevreden), dan Koningin Wilhelmina School (KWS). Ketiga tujuan mulia itu adalah:"Mengadakan hubungan antara para pelajar Pribumi yang be-lajar di sekolah-sekolah tinggi dan menengah, dan juga di kursus-kursus pendidikan lanjut dan vak. Membangkitkan dan meningkatkan minat terhadap kesenian dan bahasa Nasional. Memajukan pengetahuan umum para anggota." (diambil dari JongJava's Jaar-boekje 1923: 115-16). Tujuan itu menyatukan dua prinsip dasar yang hidup di kalang-an pemuda itu. Yang pertama adalah perlunya edukasi, pengetahuan, pendidikan. Ini berarti pertama-tama pengetahuan Barat yang merupakan prasyarat mutlak kemajuan masyarakat Jawa. Pengetahuan mengenai ilmu dan teknologi Barat, pengetahuan tentang bahasa-bahasa Eropa merupakan kunci kemajuan. Yang kedua adalah cinta kepada budaya Jawa. Para pemuda priyayi itu menaruh hormat kepada tradisi Jawa, budaya nenek-moyang yang pernah menjadi penguasa-penguasa perkasa kerajaan Majapahit dan Mataram. Sebagaimana semua priyayi yang lain, mereka sadar sedang hidup di Jaman Edan (}a-man Gila), ketika kesenian Jawa tenggelam. Sebagaimana para anggota Comite voor het Javaans Nationalisme mereka menaruh minat yang besar terhadap budaya Jawa, mendambakan sekali pulihnya Jawa masa lalu. Ketua Satiman mengecam para pemuda Jawa yang untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut mereka pergi ke Eropa dan berusaha menjadi orang Barat. Budaya sendiri mereka buang dan lupakan. Satiman membayangkan keadaan budaya jawa itu sebagai tanah bera.