Saturday, February 10, 2007

Sobron Aidit telah tiada

Ada berita dari Paris, bahwa pada jam 9.00 pagi waktu setempat hari Sabtu tanggal 10 Februari 2007, Sobron Aidit telah meninggal dunia. Bagi pecinta komunikasi internet, nama beliau tidak asing. Dengan rajinnya dia menulis apa saja. Mulai dari Puisi, reportase peristiwa, tanggapan sosial, politik, budaya sampai tek-tek bengek. Tapi yang terbesar perhatiannya adalah pada dunia sastra. Khabarnya terahir kali beliau ke Indonesia beberapa bulan yang lalu, mungkin untuk melihat tanah tumpah darahnya. Tentu saja ke Belitung melihat kampung halaman, tempat pada masa yang lalu bersama keluarga besar Aidit masih sering berkumpul. Tampak Sobron menulis terbesar karena dorongan sebagai sastrawan. Dia tidak peduli kalau tulisannya mau dibaca orang atau tidak. Tapi dia menulis terus dan terus. Bagi saya tulisannya yang menyangkut sejarah dan tokoh saja yang saya perhatian. Dan ini sungguh berguna, karena sesungguhnya Sobron adalah pelaku dan saksi hidup pada masanya. Dia bercerita cukup objektif pada masa-masa sulit ditanah air sekitar tahun 1965, di Tiongkok, Belanda dan Paris pada tahun-tahun berikutnya. Yang juga menarik saya saat-saat pengalamannya ketika mulai berkecimpung didunia sastra. Tidak saya sangka sama sekali, rupanya 3 orang dari bidang sastra (yang kini semua sudah tiada) pernah bersahabat dan sering berjalan bersama. Mereka adalah Sobron, Ramadhan KH dan Nugroho Notosutanto. Sejumlah nama tokoh dan pengalamannya berhubungan dengan tokoh itu ditulisnya secara terbuka dan luwes. Misalnya Rosihan Anwar, Mukhtar Lubis, Pramudya Anantatur dan masih banyak lagi. Perhatiannya amat besar untuk menulis sesuatu tentang seseorang yang dikenalnya dengan baik saat orang itu meninggal dunia. Semoga demikian pula dalam berbagai group, website atau perorangan dalam dunia maya ini, ada banyak yang bersedia menulis tentang beliau hari-hari belakang ini, guna mengantar kepergiannya. Saya sendiri belum pernah bertemu muka, tapi kami pernah berhubungan lewat email. Saya masih ingat sekitar tahun 2005, saya menanyakan tentang pengetahuannya berkaitan dengan tokoh DN Aidit (kakak kandungnya) dalam periode 1945 - 1948. Semua di jawabnya dengan jujur dan baik. Dia juga berterima kasih atas kiriman saya foto-foto DN Aidit dalam periode itu. Selamat jalan Pak Sobron, tulisan anda selalu saya kenang.

Thursday, February 08, 2007

Dari dulu juga Jakarta sering banjir

Kalau kita bergunjing soal banjir Jakarta, apalagi sampai bikin Gubernur pusing. Itu sih bukan soal baru. Berbagai daerah disekitar Jakarta memang langganan banjir. contoh pada gambar diatas, sekitar lapangan Gambir (sekarang Monas) lagi kebanjiran. Sejumlah mobil mobil kuno sekitar tahun 20-an, terpaksa didorong karena mogok. Seperti biasa dari dulu, rupanya anak-anak kampung dapet rejeki nomplok kalau hujan mulai musim. Merka mendorong, kalau perlu sampai kerumah. Apakah saat itu berlaku hujan besar dan banjir lima tahunan ?. Kurang jelas. Tapi coba bayangkan, dikala jumlah penduduk Jakarta tidak sampai 1 juta, dikala hutan sekitar Bogor belum gundul, dikala daerah resapan belum jadi hutan beton, dan dikala pemerintah kolonial Belanda secara rajin menjaga sistim irigasi secara baik...kok bisa banjir di Jakarta. Apalagi sekarang ! Parah dan lebih parah lagi dimasa depan. Kadang sejarah mampu membuat kita belajar dari masa lalu. Sejarah kita selalu melayani anda. Terima kasih.

Wednesday, February 07, 2007

Pertemuan Drees-Sjahrir 1949


Oleh : H. ROSIHAN ANWAR
JANUARI 1949 terjadi hal-hal yang menunjukkan sulitnya perjuangan mencapai kemerdekaan dan kedaulatan. Pimpinan pemerintah Republik Indonesia berada dalam tahanan militer Belanda di Prapat dan di Bangka. Pada bulan itu pula PM Belanda Dr. Willem Drees berkunjung ke Jakarta. Tanggal 19 Desember 1948 Jenderal Spoor memimpin aksi militer kedua. Dalam waktu sekejap Yogya diduduki. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Penasehat Presiden Sjahrir, Deputi Menteri Luar Negeri H. Agus Salim, Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Mr Assaat, Menteri Pendidikan Mr Ali Sastroamidjojo, Sekretaris Negara Mr Pringgodigdo, Komodor Udara Suryadarma ditawan dan dibuang ke Prapat di Sumatra Utara dan Pulau Bangka.
Wakil Mahkota Agung dan mantan PM Belanda Dr. Louis Beel berpendirian bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Tapi Dewan Keamanan PBB tidak berpendapat demikian. RI yang November 1946 berunding dengan Belanda di Linggajati dan diakui berkuasa de facto di Jawa dan Sumatra tidak hilang begitu saja. PM Belanda Drees melihat gengsi internasional para pemimpin republik yang ditahan oleh militer Belanda malahan meningkat. Dewan Keamanan menyerukan supaya Soekarno-Hatta dibebaskan dan dikembalikan ke Yogya, kemudian usaha penyelesaian konflik Indonesia-Belanda dilanjutkan di bawah supervisi Dewan Keamanan PBB. Dreees mengunjungi Jakarta buat kedua kalinya. Yang pertama kali tahun 1947, ketika dia bertemu dengan PM Sjahrir.
Petang hari, 18 Januari 1949 dalam hujan gerimis Sjahrir tiba di lapangan terbang Kemayoran Jakarta dari Medan. Sejak 19 Desember 1948 dia ditahan di sebuah rumah di Prapat bersama Soekarno dan H. Agus Salim, dan kemudian dibebaskan, balik ke Jakarta untuk bertemu dengan PM Drees pada malam itu juga. Di Kemayoran Sjahrir disambut oleh Dr P.J. Koets Direktur kabinet Gubernur Jenderal Belanda dan oleh sejumlah wartawan luar dan dalam negeri. Saya hadir sebagai Pemred Pedoman. Berjalan di samping anak angkatnya Lily (kelak Ny. Lily Sutantio) Sjahrir tidak memberikan keterangan kepada pers yang menunggu. No comment, kata eks PM Republik Indonesia (1945-47).Sebelum bertemu Drees di Istana, Sjahrir bicara dengan Prof. Dr. Supomo, anggota delegasi perundingan Republik. Dia memberikan jaminan kepada Supomo tidak akan memulai perundingan dengan Drees atau orang-orang federal (Anak Agung dkk.), sebelum para pemimpin RI yang ditahan telah dibebaskan, dan sebelum dipulihkan posisi mereka selaku Pemerintah RI. Ketika itu saya tidak punya informasi tentang isi pembicaraan Drees-Sjahrir. Tapi baru-baru ini Prof. Dr. Bambang Hidayat dari Observatorium Bosscha Lembang memberi saya buku Vier Jaar Nachtmerrie (Empat Tahun Mimpi Buruk), karangan Mans Daalder (2004). Di dalam buku itu terdapat isi pembicaraan Drees-Sjahrir. Terlebih dahulu Sjahrir menegaskan dia datang "sebagai perorangan di luar kalangan pemerintahan republik". Ia pernah sesaat berpikir untuk tidak lagi mengurus masalah Indonesia, akan tetapi akhirnya berpendapat bahwa masalah itu sekarang begitu penting hingga dia tidak bisa dan tidak boleh menjauhkan diri.Drees yang didampingi oleh Michiels Verduynen, Dubes Belanda di London, menegaskan, kepentingan yang mereka berikan terhadap perundingan antar-Indonesia (federal dengan republikein). Ia menjelaskan jadwal penyerahan kedaulatan yang telah disampaikan oleh Belanda kepada PBB. Sjahrir berkata "Tidak satu pun dari kedua pihak memperoleh keuntungan, apabila mereka tetap seratus persen tinggal berdiri berhadap-hadapan". Dia tidak ingin dalam pembicaraan ini menyalahkan salah satu dari kedua pihak. Akan tetapi dia tidak bersedia mengadakan kewajiban ikatan tanpa persetujuan dari kabinet Hatta yang republikein (hal. 306). Drees ingin bicara dengan Hatta. Pegawai tinggi A.W.C. Giabel pergi ke Bangka untuk mengatur pertemuan. Hatta menghargai kontak dengan Drees, tapi dia tidak pergi ke Jakarta, karena kunjungan Wapres RI ke ibukota Indonesia bisa ditafsirkan sebagai penyerahan diri . Kesan demikian harus dihindarkan, karena kartu RI di Dewan Keamanan PBB sedang dalam keadaan bagus. Giebel menawarkan kepada Hatta untuk terbang dengan pesawat militer ke Jakarta dan kembali dengan cara serupa ke Bangka. Hatta menolak, karena kunjungannya kepada Drees tidak dapat dirahasiakan. Hatta di jalanan akan segera dikenal orang di mana-mana. Tapi dia mau bertemu di mana saja, kecuali di Jakarta, Giebel masih berusaha mengatur pertemuan Singapura. Itu pun gagal. Drees balik ke Negeri Belanda tanggal 20 Januari 1949. Drees tidak berhasil dalam misinya ke Indonesia. Sjahrir tidak kembali ke Prapat. Soekarno tidak senang. Sjahrir dianggap "mengkhianati perjuangan". Suasana di Prapat sudah agak lama tidak baik. Sjahrir mengecam Soekarno yang meminta kemeja Arrow kepada pengawal Belanda. Sjahrir menyuruh Soekarno tutup mulut. Soekarno lagi di kamar mandi bernyanyi-nyanyi lagu "One day we were young....." Soekarno jengkel karena pada hematnya ketiadaan respek Sjahrir terhadap presiden. Begitulah ceritanya dari bulan Januari tahun 1949.***
Penulis, wartawan senior Indonesia

Friday, February 02, 2007

Mbah Paikem istri Opa de Graaf



Dua foto kenangan ini dikirim oleh seorang wanita Indo bernama Constance Kramer untuk semuah majalah elektronik Indo di Belanda. Keterangannya hanya menyebutkan bahwa Wanita yang menggendong bayi pada foto 2 bernama Maria Paikem. Dia adalah wanita Jawa yang dikawin Lieuwe de Graaf (kanan). Mbah Paikem adalah nenek dari Constance yang saat itu masih kecil (tampak dia difoto ini sedang dipegang sang kakek). Mbah Paikem sekarang masih hidup dan berumur 92 tahun, sedangkan Opa de Graaf meninggal ketika berumur 72 tahun. Hubungan para keluarga Indo ini merupakan kenyataan dan muncul akibat keberadaan Kolonial Belanda di Indonesia. Dalam foto ke 1 tampak Ibu Paikem dimuka rumahnya di Belanda, bersama kucing dan anjing kesayangannya

Tentara Pembela Tanah Air (PETA).

Pada tahun 1945 dapat dihimpun kekuatan militer Indonesia sebesar 66 batalyon di Jawa dan 3 batalyon di Bali (Baca Himawan Soetanto, "Yogyakarta") Di Sumatera sempat dihimpun 20.000 personil. Pembentukan PETA banyak dikaitkan dengan Poetera (organisasi dengan kepanjangannya Poesat Tenaga Rakyat). Para bekas anggota PETA, tidak pernah mau mengakui bahwa Organisasi Militer ini dibubarkan. Mereka menyebutnya sebagai sebagian besar kemudian mengabdikan dirinya kedalam BKR. Bung Hatta pernah mengingatkan bahwa sejak Mei 1945 dalam sidang BPUPKI, sudah dipikirkan agar PETA menjadi "Sendi Angkatan Perang Kita". Rancangan ini diserahkan pada Otto Iskandar Dinata (anggota BPUPKI yang mengetuai Badan Pembantu Prajurit). Tapi melihat gerakan perlawanan (antara lain di Blitar dan Pengalengan) dan adanya tanda-tanda kerjasama PETA dan Mahasiswa, maka sesudah rapat Daidanco di Bandung tanggal 15 Agustus 1945, PETA dilucuti dibeberapa tempat termasuk Jakarta. Kemudian dilanjutkan dengan pembubaran secara menyeluruh. Dalam surat menyurat Hatta dan Nasution, Pak Nas berani mengatakan kita memiliki tenaga terlatih sebanyak 150.000 orang (mungkin sebagian adalah PETA) dan peralatan untuk 4 - 5 Divisi. Hatta menepis pendapat ini dan berkata : "Ini suatu realitet yang tidak bisa diubah dengan angka-angka. Oleh karena itu", sambung Hatta, "RI membangun tentara dari bawah dengan berangsur-angsur" Usaha Hatta antara lain memerintahkan kepada Kaprawi (bawahan Kasman S), namun Kaprawi tidak berhasil melakukan kontak dengan Suprijadi yang diangkat Menteri Keamanan dalam kabinet pertama RI. Maka, kata Hatta lebih lanjut, data tentara berapa Daidang (batalyon) PETA seluruh Jawa saja tak ada pada para perwira PETA, termasuk Kasman, Abdul Kadir, Djokosuyono, Kaprawi, dan Sutjipto. Keterangan pihak Jepang sendiri mengaburkan. Ada yang bilang 40, ada pula yang mengatakan 80 batalyon. Oleh karena Kaprawi tidak berhasil, maka Hatta memerintahkan Daan Jahja dan Soebianto untuk mempersiapkan pembentukan BKR. (Deliar Noer, Mohammad Hatta, Biografi Politik). Demikian semoga tulisan ini ada gunanya. (gambar atas Tentara PETA sedang latihan di Bogor th 1944).