Sunday, October 30, 2011

Pengakuan tentara Belanda soal Rawagede

Memang sulit bagi Veteran Belanda yang melakukan tindakan kriminal perang di Rawagede tanggal 9 Desember 1947, mengaku apa yang dilakukannya. Lalu kepergian mereka ke Hindia tahun 1946-1949 bukannya atas perintah pemerintah Belanda saat itu ?. Makanya yang bertanggung jawab adalah pemerintah Belanda. Karena tuntutannya baru muncul sekarang, otomatis pemerintah Belanda yang sekaranglah yang bertanggung jawab.

Jujur Mulai Hari Ini


Bertempat di gedung Museum Kebangkitan Nasional jalan Abdurachman Saleh Jakarta, Paguyuban Keluarga Besar Pendiri Boedi Oetomo pada hari Minggu 30 Oktober 2011 mengadakan acara peringatan "Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928). Acara Paguyuban yang dipimpin Ir Wargono ini mengambil thema 'Jujur Mulai Hari Ini" . Acara cukup ramai dan dihadiri beberapa orang terkenal seperti Jenderal Indrianrtono Sutarto dan sosioloog Imam Prasodjo (lihat foto)

Tuesday, October 25, 2011

Mantan Duta Besar Belanda Van Dam

Masih ingat Duta Besar Belanda di Indonesia, Van Dam ? Dia bicara soal pembunuhan masal Rawagede.

Saturday, October 22, 2011

Ibu Irna Hadi Soewito: Pengibar Bendera Proklamasi adalah Latief dan Soehoed

Seorang sejarawan wanita terkenal yang banyak menulis buku yaitu Ibu Irna Hanny Nastoeti Hadi Soewito juga hadir pada acara peluncuran dan bedah buku tanggal 15 Oktober 2011, "Latief Hendraningrat Sang Pengibar bendera Pusaka 17 Agustus 1945" yang di tulis oleh Dr Nidjo Sandjojo. Buku yang ditulis Ibu Irna misalnya "Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945, Chaerul saleh, BAPERPI, Pertempuran Surabaya (3 jilid), Sejarah AURI dll". Ibu Irna yang adalah sahabat dekat dari Ibu SK Trimurti juga bercerita wanita ketiga dalam foto pengibaran bendera 17 Agustus 1945 yang di produksi Frans Mendur. Di foto itu yang terlihat dari belakang adalah Ibu Fatmawati, Ibu Trimurti dan Ibu Mudjinah. Ibu Mudjinah almarhum (terakhir sebagai guru dan tinggal di Bogor) adalah aktifis pejuang wanita dalam revolusi Indonesia. Mengapa tidak banyak yang menulis ya ? Dalam foto diatas tampak Ibu Irna sedang memaparkan penuh keyakinan soal peristiwa Proklamasi, sehingga sangat jelas bahwa pengibar bendera Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah Latief Hendraningrat dan Soehoed

Politikus dan Historicus Lambert Giebels telah tiada

Politikus dan sejarawan Lambert Giebels telah tiada. Pada hari kemis tanggal 13 Oktober 2011 penulis biografi Soekarno (dalam 2 jilid dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) Lambert Giebels, menghembuskan nafas terakhirnya dalam usiah 76 tahun. Buku biografi Soekarno ini amat dikenal masyarakat Indonesia yang juga sebagai perimbangan buku-buku Soekarno lainnya. Selain buku Soekarno dia juga  menulis biografi Louis Beel mantan Perdana Menteri Belanda. Buku ini merupakan penelitiannya untuk disertasi S3 bidang sejarah pada tahun 1995. Disamping itu buku lain yang ditulisnya adalah de Greet Hofmans-affaire. Saya bertemu dengan Giebels beberapa kali saat kunjungannya ke Indonesia pada tahun 90-an dan setelah tahun 2000. Dalam kunjungan yang terakhir, dia bercerita kalau ditolak keluarga Soekarno saat berniat mengunjungi salah satu anak Presiden Indonesia yang pertama tersebut.

Wednesday, October 19, 2011

Mayor Oetarjo telah tiada


Hari ini Rabu tanggal 19 Oktober 2011 jam 11.45, Mayor (purn) Oetarjo telah tiada. Perwira ini pernah bertugas pada tahun 1945-1947 pada Kantor Penghubung Tentara jalan Cilacap Jakarta. Kemudian sempat pula bergerilya di Sumatera pada sekitar tahun 1948-1949 dengan jabatan Kepala Staf sub.Ter 7 Tapanuli dibawah panglimanya Alex Kawilarang. Dalam pertempuran sengit di sektor 3 dia tertembak dan tertawan. Major Oetarjo rencananya akan dimakamkan di TMP Kalibata tanggal 20 Oktober 2011. Selamat jalan Major, jasamu takkan kami lupakan. Foto atas. pada bulan September 1946 Kapten Oetarjo (tanda X) menerima kedatangan Kolonel M.Simbolon dan Let.Kol Kartawirana di lapangan terbang Kemayoran jakarta. Kedatangan kedua perwira dari Sumatera ini dalam rangka perundingan militer menjelang gencatan senjata Indonesia-Belanda pada bulan Oktober 1946.

Thursday, October 13, 2011

Kabinet baru dibentuk

Kabinet Presidensial adalah kabinet pertama yang dibentuk di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kabinet yang pelantikannya pada tanggal 5 September  1945 ini merupakan kelompok menteri-menteri pertama yang bersifat formal, tidak ada hubungannya dengan partai politik,  dan belum bisa melaksanakan roda pembangunan dan pemerintahan. Nama kabinet pertama ini penuh dengan suasana kekeluargaan dan semangat tinggi. Dinamakan kabinet presidensial karena setelah merdeka, Indonesia menerapkan sistem presidensial di mana presiden berfungsi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Mungkin seperti sekarang ini, SBY ya presiden, ya perdana menteri. Tampak dari kiri kekanan, Akhmad Soebardjo (men.lu), Amir Sjarifuddin (men.pen), Sukarno, Sartono (men.negara), Hatta, Wiranatakusumah (men.dagri), Mereka sedang memasuki Rumah Proklamasi jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Yang menarik saat itu Amir Sjarifuddin yang baru keluar dari penjara, rupanya tidak punya pakaian yang pantas. Dikanakannya jas dan kemeja, tapi dibawah pakai celana pendek dan sendal kulit.  Memang Republik Indonesia dimulai dengan kepemilikan yang sederhana. Seyogyanya semangat penuh kesederhanaan juga menjadi motto saat ini ya ?

Tuesday, October 11, 2011

IPPHOS dan karya besar mereka


Berbicara soal IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) tidak akan melupakan dua bersaudara Mendur. Alex dan Frans Mendur mungkin luput dari perhatian sebagian besar rakyat Indonesia. Buku sejarah nasional memang tak memasukkan nama Mendur bersaudara dalam daftar pahlawan proklamasi. Bahkan namanya pun tak pernah disebut-sebut oleh para pengajar kita meski karya foto Mendur bersaudara itu mengisi ilustrasi foto dalam buku sejarah nasional.  Namun tanpa jasa mereka, mungkin kita tak bisa melihat dokumentasi momen paling bersejarah bangsa ini, yaitu proklamasi kemerdekaan.  Bagaimana jika Frans Mendur tak berhasil menyembunyikan negatif foto 6 X 6 nya dari tentara Jepang ? Sudah pasti tak ada dokumentasi resmi bahwa bangsa Indonesia sudah memproklamirkan diri sebangai bangsa yang merdeka. Selayaknya kita berterima kasih pada Mendur bersaudara karena jasanya, dunia tahu bahwa bangsa ini sudah merdeka dari penjajahan bangsa lain. Kakak beradik Mendur adalah dua diantara orang-orang republik ini yang 66 tahun lalu ada di Jl. Pegangsaan Timur 56 Cikini, Jakarta. Mereka disana untuk mengabadikan momen penting negeri ini, proklamasi, sebuah peristiwa yang lama dinantikan bangsa setelah berabad-abad dijajah bangsa lain. Perjuangan Alex dan Frans Mendur menyelamatkan negatif foto tak mudah. Mereka harus berhadapan dengan tentara Jepang yang terkenal beringas. Negatif milik Alex berhasil dirampas lalu dihancurkan oleh tentara Jepang. Bersyukurlah kita, Frans berhasil menyelamatkan negatif fotonya yang diambilnya menggunakan kamera Roleicord. 12 foto negatifnya ini dikuburnya di halaman kantor Asia Raja. Frans rupanya sadar betapa pentingnya dokumentasi itu. Kesadarannya itu membuahkan hasil yaitu pada 20 Februari 1946 Harian Merdeka menerbitkan foto karya Frans. Mendur bersaudara menjadi sangat inspiratif bukan hanya karena karya-karya monumentalnya saja, namun juga dedikasi dan integritasnya sebagai fotografer pada masa itu yang patut dihargai. Frans dan Alex berjuang dengan kamera mereka. Mereka tak hanya memotret untuk kepentingan diri sendiri atau golongan. Kakak beradik Mendur menjadikan karya foto untuk kepentingan bangsa. Mereka memotret setiap momen bersejarah di negeri ini dengan kejujuran, keberanian, ketulusan, dan yang lebih penting adalah tanpa pamrih. Frans pernah menitipkan hasil kerjanya kepada pilot-pilot Filipina sehingga foto-foto bersejarah karyanya tersebar di berbagai media di luar negeri. Lalu apa yang didapatkan Mendur bersaudara atas jasa-jasanya? Tidak banyak. Mereka tak meminta juga dari negeri ini sebuah balas jasa besar. Bahkan menurut berbagai sumber, karya-karya monumental itu tak dirawat dan dibiarkan terbengkalai oleh pemerintah. Sudah saatnya bagi kita untuk lebih menghargai karya Mendur bersaudara, dokumentasi bersejarah yang tak mungkin bisa diulang. Ingat ! Mendur bersaudara tak hidup di era digital, negatif mereka sangat ekslusif. Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/18/mendur-bersaudara-tokoh-yang-terlupakan/
Foto: Gedung IPPHOS di jalan Hayam Wuruk pada masa lalu yang sudah raib, Foto Proklamasi dalam Harian Merdeka tahun 1946, kedua bersaudara Mendur (Alex dan Frans) dan Bung Karno yang sering jadi incaran kameramen IPPHOS.


Friday, October 07, 2011

Hari-hari sekitar proklamasi


Hari-hari sekitar proklamasi  Sumber: Majalah TEMPO 16 Agustus 1975

Tangal 3 Oktober 1943 oleh penguasa Jepang di Jawa dibentuklah Tentara Pembela Tanah Air PETA). Pasal 1 Maklumat pembentukan PETA itu berbunyi, (aslinya ejaan doeloe). "Mengingat semangat jang berkobar-kobar oentoek memenuhi keinginan jang sangat besar dari 50 djoeta pendoedoek di djawa jang hendak membela tanah airnja dengan tenaga sendiri maka Bala tentara Dai Nippon membentoek Tentara Pembela Tanah Air, jakni pasoekan soekarela oentoek membela tanah Djwa, dengan pendoedok asli ialah berdiri atas dasar tjita-tjita membela Asia Timoer Raja bersama-sama". PETA dalam bahasa Jepang disebut Booei Giyuugun. Di Jakarta terdapat satu Daidan (batalyon dan di Purwakarta satu Daidan masing-masing di bawah Daidancoo Dan Yon) Kasman Singodimedjo dan R. Soerjodipoetro. Daidan membawahi Honbu (staf batalyon) dan 4 cuudan (kompi), sedang cuudan terdiri atas 3 syoodan (peleton) yang kemudian masing-masing terdiri atas 4 bundan (regu). Sejak awal 1945 Daidan Jakarta diberi tugas memberikan latihan-latihan militer diluar ketenteraan. Menurut Latief Hendraningrat yang waktu itu salah satu komandan kompi, mereka juga sempat nemberikan latihan singkat kepada para anggota Chuuo Sangi In yang dipimpin Bung Karno. Team Pelatih itu, diresmikan oleh Daidanchoo (Dan Yon) Kasman Singodimedjo terdiri atas 3 orang yaitu Latief sendiri (Dan kie) sebagai Ketua dan Mufreini serta Singgih masing-masing Dan Ton sebagai anggota. Dari Team ini Singgih kemudian yang melakukan "penculikan" terhadap Soekarno Hatta dan melarikannya ke Rengasdengklok � tentara Latief Hendraningrat kenudian yang mendampingi Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agusns 1945. Atas perm intaan TEMPO Latief Hendraningrat Brigjen Pensiunan, AD dan kini aktf dalam usaha swasta menuliskan pengalamannyaa sekitar peristiwa bersejarah ini dan setelah kami lakukan editing seperlunya bahkan di bawah ini: BERITA "Jepang akan menyerah" disampaikan kepada kami oleh seorang pemuda bernama Yusuf Kunto (tidak ada hubungan dengan Suroto Kunto!) seorang yang militan yang kami kenal di kamp interniran Belanda di garut (1942). Perlu kami tambahkan, ketika Perang Pasifik pecah (Desember 1941) kami ditawan dan diinternir oleh Pemerintah Hindia Belanda. Alasannya mungkin karena kami pernah bekerja di kantor Konsul Jenderal Jepang di Jakarta sebagai halftimer (1938), sebab belum pernah diadakan pemeriksaan (penyidikan) terhadap diri kami! Dalam kamp tersebut diinternir pula semua orang-orang Jepang yang pada saat pecahnya perang itu masih berada di Indonesia. Selain itu juga tokoh-tokoh politik Indonesia seperti Sukarni, Pandu Kartawiguna, Adam Malik dan lain-lain. Dalam kamp ini kami berkenalan dengan Jusuf Kunto yang telah membawa berita itu pada kami tanggal 13 Agustus 1945 pada sore hari setelah kami kembali di suatu latihan dengan kompi kami. Suatu surprise juga bagi kami menjumpai saudara Kunto tersebut setelah beberapa tahun tidak menjumpainya. Peranan apa yang telah dipegangnya di kalangan pemuda kamipun kurang mengetahui. Ia muncul secara tiba-tiba dan melaporkan tentang Situasi di waktu itu. Pada waktu itu kami secara kebetulan bertugas piket yang disebut "syuuban cuudancoo" atau "syuuban sirei" Dan secara kebetulan pula kami sedang menjabat sebagai Pjs Daidancoo (daidancoo yoin) oleh karena Daidancoo Kasman sedang dipanggil ke Bandung oleh Panglima Komando Tentara Jawa Bagian Barat (Riyoodancoo) di mana semua daidancoo di dalam wilayah komando itu dikumpulkan (daidancoo syuugo). Jadi kami pada waktu itu mempunyai sekedar wewenang ! "Paksaan": Apa Maksudnya? Saudara Kunto juga melaporkan bahwa utusan-utusan dari Pemuda sedang menghadap Pemimpin-pemimpin Soekarno-Hatta untuk meyakinkan kedua tokoh itu tentang pentingnya segera mengadakan Proklamasi Kemerdekaan mumpung Jepang masih menderita suatu knock down berhubung kekalahan perangnya. Ia menyanggupi kami untuk memberi la-poran setiap hari tentang perkembangan situasi. Pada tanggal 14 Agustus 1945 saudara Kunto kembali melaporkan pada kami bahwa usaha Pemuda untuk meyakinkan Soekarno-Hatta itu telah gagaL Bahwa kegelisahan di kalangan Pemuda dan Mahasiswa telah memuncak. Di Menteng 31 (Gedung Juang) kini sedang diadakan rapat-rapat dengan perdebatan yang sengit-sengit. Ia tidak mengungkapkan lebih lanJut tentang perdebatan itu. Ia hanya mengatakan bahwa para utusan Pemuda akan melanjutkan usahanya untuk menghadap Soekarno-Hatta sekali lagi agar Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan "sekarang juga" Tiada orang lain yang dapat memproklamir sesuatu kecuali Soekarno-Hatta yang dikenal dan ditaati oleh rakyat. Apabila usaha ini gagal maka Pemuda akan bertindak "dengan paksaan". Saudara Kunto sendiri belum mengetahui dengan jelas apa yang dimaksud dengan 'paksaan" itu. Kebetulan bulan Agustus 1945 itu jatuh pada bulan Ramadhan. Para prajurit bangun dan kami bersama-sama bersaur Pada waktu itu fikiran kami telah tenang kembali. Tekad sudah menjadi bulat. Sekalipun demikian, kami anggap belum waktunya untuk mengungkapkan keadaan tersebut pada anak-buah kami sebelum kami mempunyai gambaran yang jelas tentang situasi dan maksud para Pemuda & Mahasiswa! Lagi pula kami harus tetap berhati-hati agar gerak-gerik kami jangan sampai mencurigakan fihak Jepang, yaitu para sidookan. Sebab, semua perbuatan atau tindakan yang akan kami adakan untuk membantu gerakan tersebut itu adalah bertentangan dengan hukum-hukum yang saat itu sedang berlaku, bahkan bagi kami bertentangan dengan hukum militer! Keesokan harinya, tanggal 15 Agustus ]945, kami cek laporan yang telah kami terima dari saudara J. Kunto itu pada Eisei Cuudancoo Dr Soetjipto yang mempunyai hubungan yang luas dan erat dengan para Pemuda & Mahasiswa. Kami kenal baik dengan Dr Soetjipto semenjak sekolah A.M.S. di Malang, kemudian ketika ia mahasiswa pada Fakultas Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) di Jakarta dan di P.P.P.I. Dengan Dr Soetjipto itu kami dapat bertukar fikiran secara cofidential, walaupun tidak banyak atau lama, mengingat bahwa kami berdua diawasi oleh Jepang. Uraian Dr Soetjipto dalam garis-garis besarnya adalah Sama dengan laporan saudara J. Kunto sehingga menambah rasa keyakinan pada diri kami. Kami telah meminta pula padanya untuk memberi laporan tentang perkembngan situasi di luar daidan. Sore harinya kami menunggu kedatangan saudara J. Kunto yang tidak muncul-muncul. Kami mulai gelisah lagi, sebab kami ingin merencanakan sesuatu apabila kami telah menerima laporan terakhir dari perkembangan situasi ini. Tapi saudara Kunto tak kunjung datang. Maka muncul pada malam hari itu (jam tidak teringat) secara mendadak Syoodancoo Singgih yang memberitahukan kepada kami bahwa kehadirannya diperlukan oleh MENTENG 31 (Gedung Juang sekarang), malam ini juga! Hati kami merasa lega campur bana bahwa Syoodancoo Singgih betul-betul dapat diikut sertakan dalam gerakan ini. Rupa-rupanya para Pemuda dan Mahasiswa menaruh kepercayaan penuh padanya, berkat latihan-latihan di daidan itu! Tapi tetap kami berhati-hati dan menanya padanya siapa-siapa saja yang memerlukan kehadirannya itu. Ia sebut beberapa nama antara lain nama-nama Sukarni, Pandu Kartawiguna, Chaerul Saleh, Adam Malik, dan sebagainya. Nama-nama itu sudah merupakan jaminan cukup bagi kami untuk mengizinkannya berangkat ke Menteng 31. Sebab orang-orang yang telah disebutnya itu telah lama kami kenal semenjak zaman Hindia Belanda sebagai pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan. Bahkan Sukarni dan Pandu Kartawiguna sendiri pernah menjadi murid kami di sekolah guru tingkat atas dari Perguruan Rakyat (1934). Kepada Syoodancoo Singgih itu kami berikan semua fasilitas yang diperlukannya dalam menunaikan tugasnya yang telah diminta padanya oleh Pemuda & Mahasiswa. Pertama: mobil dinas daidancoo, suatu mobil militer yang menurut dia perlu untuk rapat-rapat!? Ternyata, menurut laporannya sendiri, mobil itu digunakan untuk "mengambil" Soekarno-Hatta dari rumah masing-masing, kasarnya "menculik"! Kemudian dipinjamnya lagi sebuah truck (power) untuk memindahkan para beliau itu dari sedan,ke power tersebut untuk dibawa terus ke Rengasdengklok. Pemindahan itu terjadi di dekat rumah penjara Cipinang, Jatinegara. Selain itu juga satu pistol ekstra, satu karung beras dan lain-lain bahan makanan serta pakaian seragam hijau untuk para beliau guna menyamar apabila di perjalanan terjadi pemeriksaan kendaraan oleh fihak Jepang. Di Rengasdengklok itu terdapat satu cuudan (kompi) dari daidan Purwakarta yang dipimpin oleh Cuudancoo Soebeno. Tempat ini telah dipilih Singgih dengan perhitungan bahwa tiada seorang resmipun yang akan mengetahuinya. Kedatangannya di situ dengan membawa kedua Pemimpin beserta Bu Fatmawati, Guntur dan Sukarni, menurut laporan telah menggerakkan masyarakat Rengasdengklok secara keseluruhan. Tentera-Pamong Praja-Polisi dan Rakyat menggabung menjadi satu, menahan beberapa orang Jepang yang bertugas di sana, termasuk sidookan kasikan cuudan, dan mengibarkan bendera merah-putih di rumah masing-masing dan di kantor-kantor Pemerintah. Kekuasaan penuh dari daerah itu berada di tangan Indonesia (100%). Pun bapak Soetardjo, yang waktu itu menjabat sebagai Residen Jakarta (Jakarta Syuucoo-kan) yang secara kebetulan sedang memeriksa pembelian padi di daerah itu, turut ditahan. Jadi, secara de facto, daerah (kecamatan) Rengasdengklok itu adalah daerah pertama yang "bebas merdeka" ! Seperti KNIL Dulu Di dalam sebuah rumah di kota kecil ini, dengan diliputi ketegangan penuh, maka Syoodancoo Singgih berhasil mendapatkan kesanggupan dari Bung Karno untuk segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia! Ini dicapainya pada tanggal 16 Agustus 1945. Tanggal 16 Agustus 1945 mendapatkan seluruh masyarakat Jakarta dalam keadaan gempar setelah penduduk bangun tidur dan mendengar tentang kejadian itu. Demikian juga kalangan Pemerintah Militer Jepang. Kami di daidan telah siap-siap untuk menanggung segala akibat daripada perbuatan kami itu. Walaupun sudah lebih banyak lagi anak buah karni yang mengetahui tentang gerakan itu tetapi tampaknya, para sidookan Jepang tidak mengetahui apa-apa. Sebab mereka sedang tidur nyenyak ketika kami tadi malam mengeluarkan power dan sebagainya itu karena jam sudah liwat tengah malam. Tetapi kami ingin mengetahui rencana apa selanjutnya akan dibuat oleh fihak Pemuda/Mahasiswa. Untuk itu kami mengadakan latihan jalan jauh (koogun), yaitu berjalan dengan kompi dari asrama di Jagamonyet ke arah Kebon Binatang melalui Menteng 31. Harapan kami saat itu ialah agar dapat menjumpai salah seorang pimpinan Pemuda yang dapat dihubungi. Tapi, sayang beribu sayang, sidookan kasikan Jepang juga turut serta sehingga kami merasa kurang bebas. Gedung Menteng 31 tampaknya sepi-sepi saja. Ada beberapa pemuda yang berkeliaran di halaman depan tapi kami tidak mengenal mereka. Kami berjalan terus sampai Kebon Binatang dan masuk dengan memberi kesempatan pada anak buah untuk berjalan-jalan secara bebas. Untung sidookan ikut dengan mereka. Rupa-rupanya ia ingin pula melihat binatang-binatang Indonesia. Tiba-tiba kami melihat saudara Chaerul Saleh di belakang pagar kawat dari pekarangan tengah Kebon Binatang itu: Ia mengangguk-angguk meimanggil kami. Kami bertanya langsung kepadanya tentang Bung Karno dan Bung Hatta dan sebab-sebabnya mereka itu dibawa ke luar kota. Menurut saudara Chaerul maksudnya ialah "untuk menjauhkan mereka dari Gunseikan" (Kepala Pemerintahan Militer Jepang). "Sebab, katanya selanjutnya, di Jakarta mereka itu terlampau terpengaruh oleh Gunseikan sehingga ada baiknya jika mereka itu dijauhkan dari pengaruh ini agar cita-cita kita lekas tercapai". Ia juga menanyakan pada kami bagaimana rencana kita selanjutnya. Kami agak heran sebab kami mengira bahwa Pemuda sudah punya rencana yang matang! Saudara Chaerul Juga menambah bahwa direncanakan agar alat-alat radio dapat diangkut ke luar kota, ke Rengasdengklok, sehingga Proklamasi Kemerdekaan dapat diucapkan dari situ. Kemudian ia bertanya "cara bagaimana kita dapat menguasai kota Jakarta?" Jawab kami: "Salah satu jalan ialah melucuti Jepang terlebih dulu. Tapi hal itu tidak dapat PETA kerjakan sendiri. Di daidan hanya terdapat 2 kompi, sebab 2 kompi lainnya sedang bertugas ke luar kota dan tidak dapat dihubungi per telepon. Selain itu kita memerlukan massa, yaitu massa Barisan Pelopor (dengan bambu runcing) dan para Pemuda & Mahasiswa. Kemudian kita sangat memedukan bantuan dari HEIHO supaya mereka memberontak dari dalam" kata kami tanpa menyadari bahwa sesungguhnya Jepang di Jakarta itu sangat kuat. Heiho itu adalah tentera pembantu tentera Jepang yang terdiri dari orangrang Indonesia yang dipersiapkan seperti tentera Jepang dan yang tinggal se-asrama dengan tentera Jepang. Semacam KNIL dulu. Ketika kami berdua berbicara itu kami belum mengetahui kalau Syoodancoo Singgih telah berhasil. Karena laporan belum masuk. Usaha kami ialah pertama-tama menghbungi Heiho di Rumah Sakit Gatot Subroto (RSPAD) sekarang ini tapi di gedung tempat bersalin. Tapi usaha itu tidak berhasil. Memang sukar untuk menghubungi mereka secara diam-diam. Sampai jauh sore belum ada satupun yang dapat dihubungi. Untuk usaha-usaha seperti itu memang diperlukan waktu yang lama. Harus diakui sekarang bahwa kami dulu itu sama sekali belum berpengelaman apa-apa, terlampau naif seperti kanak-kanak. Fikiran tidak berjalan wajar, hanya emosi, terdorong oleh hasrat besu untuk lekas merdeka! Ditambah lagi bahwa Pimpinan Barisan Pelopor tidak bersedia membantu suatu "rencana yang gegabah" (roekeloos), tanpa perhitungan, yang hanya dapat membunuh Pemuda dan Mahasiswa saja, yang justru diperlukan sebagai pemimpin-pemimpin Negara Indonesia yang merdeka di kemudian hari! Berhubung faktor-faktor yang sangat tidak menguntungkan itu maka rencana untuk menyerbu dan melucuti Jepang kami batalkan! Dalam pada itu kami terpikir kedua Pemimpin-pemimpin Bangsa yang berada di Rengasdengklok itu. Kami kuatir akan keselamatan mereka juga. Kami merasa turut bertanggungjawab. Maka kami bertekad untuk meninggalkan asrama dan menuju ke tempat tersebut. Bersama-sama dengan Dr Moewardi dengan berkendaraan mobil kami pergi tanpa memberi tahukan siapa-siapa kecuali Sikihancoo kami, Sdr Soekardi (= bundancoo yang tertua dalam staf kami) yang telah kami beri instruksi selama kami tidak berada di daidan. Setibanya kami berdua di Rengasdengklok itu maka kami dapatkan markas cuudan "kosong". Artinya Bung Karno dan Bung Hatta tiada lagi di tempat. Menurut keterangan Cuudancoo Soebeno kedua Pemimpin itu telah dijemput oeh Mr Soebardjo yang telah "menjamin" bahwa Proklamasi bisa diadakan keesokan harinya (tanggal 17 Agustus 1945) tapi Bung Karno dan Bung Hatta harus segera kembali untuk menyusun teksnya bersama-sama pemimpin-pemimpin lain. Atas dasar jaminan itu maka Cuudancoo Soebeno melepaskan mereka. Kami segera kembali ke Jakarta dan setelah tanya sini tanya sana dapat mengetahui bahwa kedua Pemimpin itu berada di Jalan Imam Bonjol sekarang, di rumah Laksamana Maeda (rumah Duta Besar Inggeris). Kami tidak masuk hanya lalu saja dan segera menuju ke asrama untuk mempersiapkan pengamanan Proklamasi itu. Baru malam itu tanggal 16 ke 17 Agustus 1945 kami memberi uraian tentang segala kejadian pada anak-buah kami dan memberi. Instruksi tentang segala persiapan yang perlu dilaksanakan untuk esok harinya itu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 kompi kami telah memulai persiapannya setelah appel pagi dan taiso sebagaimana diadakan setiap hari. Pada malam hari sebelumnya mereka berhasil membongkar (secara halus) pintu dari gudang mesiu (kunci dipegang oleh sidookan) dan peluru-peluru tajam yang diperlukan telah � diambil dari gudang itu. Semua berpakaian/berseragam untuk bertempur (battle dress). Dua power telah dipersiapkan secara diam-diam. Hal itu telah menarik perhatian sidookan dan ia menanya pada kami latihan apa yang akan kami selenggarakan untuk hari itu. Sebab, menurut jadwal latihan-latihan dalam bulan Puasa harus seringan-ringannya. Kami menjelaskan padanya bahwa kami ingin mengadakan latihan "pertempuran dalam kota" oleh karena dalam hal ini anak buah belum begitu mahir. Dan bahwa kami akan berangkat terlebih dulu mencari tempat-tempat di dalam kota yang sekiranya dapat dipergunakan untuk latihan itu. Selama itu para, prajurit tetap menunggu di asrama sambil membersihkan ruang-ruang tidurnya (naimuhan) sampai kami kembali. "Apakah sidookan juga mau ikut?" tanya kami. Secara kebetulan sidookan itu baru sembuh dari sakit malaria yang telah dideritanya 1 bulan lamanya dan badan masih lemah untuk turut memimpin latihan "perang-perangan" itu. Ia terpaksa menjawab: "kali ini kami serahkan latihan itu kepada Cuudancoo". Untung sekali bahwa ia tidak memeriksa alat-alat senjata dan tempat-tempat pelurunya yang semuanya itu sudah berisi penuh dengan peluru-peluru tajam! Rencana kami untuk mengamankan jalannya Upacara Proklamasi adalah sangat sederhana. Maklum hal itu harus diukur dengan pengetahuan militer kami pada waktu itu. Lagi pula kekuatan senjata kami tidak seberapa jika dibandingkan dengan senjata tentara Jepang. Karenanya maka kami bermaksud menggunakan massa Rakyat dari Barisan Pelopor yang bersenjatakan bambu runcing dan golok di pinggang. Hal itu soal psikologis saja terhadap militer Jepang. Kami dapat mengetahui bahwa Jepang segan menghadapi massa rakyat, lebih-lebih yang sedang mengamuk. Karena itu maka taktik kami ialah untuk menghasut massa ini apabila Jepang datang mengganggu. Hasutan itu akan kami kerjakan dengan letusan-letusan senapan sebagai tanda untuk memulai. Untuk itu maka satu regu kami tempatkan di belakang Gedung Proklamasi, bersembunyi di belakang tanggul kereta api. Dipimpin oleh Sapri Bundancoo. Sedangkan kompi kami tetap di asrama dalam keadaan siap untuk berangkat dengan power. Menunggu telepon dari kami bila diperlukan. Dan menyerang dari belakang/samping. Untuk ini kami tugaskan Syoodancoo Arifin Abdulrachman (Honbu) untuk senantiasa berada dekat pada telepon. Larangan Jepang Kami meninggalkan asrama kurang lebih pada jam 09.30 (dulu jam 12.00 waktu Tokyo) bersama-sama Dr Soetjipto dengan berkendaraan mobil daidan (kami saat itu masih tetap Pjs Daidancoo). Setibanya di Jl. Pegangsaan Timur (sekarang Jl. Proklamasi) maka Daidancoo Abdul Kadir (dari Sidoobu) datang pada kami (agak tergesa-gesa) dan mengatakan pada kami: "Mas Latief mari kita jemput Bung Hatta. Saya dengar beliau tidak mau datang! Dan jika ia tidak datang maka Bung Karno tidak mau memproklamasikan!" Kami masuk lagi dalam mobil dan bersama-sama Daidancoo Abdul Kadir menuju ke rumah Bung Hatta. Kami dapatkan beliau sedang menerima tamu (orang Jepang). Kami masuk dan melaporkan bahwa Bung Hatta sedang ditunggu kedatangannya di Pegangsaan. Beliau bertanya: Sudah siap? Mari kita pergi". Kami agak keheranan. Menurut' Daidancoo Abdul Kadir beliau tidak mau datang. Nyatanya beliau bersedia secara spontan. Bahkan meninggalkan tamunya. Jadi upacara Proklamasi toh lebih penting bagi beliau! Demikian kami berpikir. Setiba kami di Gedung Proklamasi bersama-sama Bung Hatta maka segera kami check keadaan di sekitar gedung itu. Dari jauh kami melihat anak buah sedang bersiap di belakang tanggul kereta api. Di halaman depan telah berjajar Barisan Pelopor yang kami taksir 1000 orang lebih. Syoodancoo Arifin telah siap dekat telepon yang berada di rumah itu. Mikropon telah dipasang, hanya ada satu di atas standar. Tiang bendera di atas mana bendera Pusaka akan dikibarkan nanti adalah dari bambu dan katrol biasa sedangkan talinya agak kasar. Para tamu telah memenuhi ruangan depan (voorgallerij) sedangkan di halaman depan bawah juga terdapat rombongan-rombongan tamu. Kami tidak begitu memperhatikan para hadirin itu. Pikiran kami tegang terus. Semenjak tanggal 15 Agustus malam. Lebih-lebih pada saat upacara hendak dimulai! Pikiran kami tetap tertuju pada jalan besar dari mana mungkin gangguan akan datang! Kami dari Jakarta Daidan telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. 'To be or not to be" (merdeka atau mati) adalah semboyan setiap Prajurit dari Jakarta Daidan pada waktu itu! Pada kurang lebih jam 10 kami melapor pada Bung Karno bahwa upacara sudah siap untuk dimluai. Bung Karno dan Bung Hatta berjalan bergandengan ke ruang depam Kami mendampingi Bung Karno di sebelah kanannya. Ketika sudah dekat mikropon Bung Hatta berhenti sehingga beliau tidak lagi berdampingan dengan Bung Karno sedangkan kami masih tetap di sebelah kanan beliau. Ketika Sdr . Mundur hendak memotret Bung Karno maka kami melangkah ke samping 2 langkah untuk menghormati beliau. Pikiran kami tetap tegang dan mata tetap tertuju ke jalan besar. Setelah Bung Karno membaca teks Proklamasi menyusul acara pengibaran Sang Dwiwarna. Dari halaman di bawah datang berbaris seorang pemuda dan seorang puteri membawa baki dengan bendera Pusaka di atasnya. Kami mengenal pemuda itu: Sdr Suhud tapi tidak kenal puteri di sebelahnya. Dengan rasa heran kami melihat kedua pembawa bendera itu menuju langsung ke ternpat kami berdiri dan tanpa kami sadari baki telah disodorkan pada kami! Kami heran karena kami berada di situ bukan untuk urusan protokol melainkan untuk mendampingi Bung Karno dan Bung Hatta. Untuk urusan pengamanan upacara! Tapi secepat kilat pula dapat kami pahami bahwa dalam suatu gerakan politik seperti Proklamasi ini si pengerek bendera dapat dianggap sebagai "biang keladi"-nya dengan segala risiko yang bersangkutan dengan itu. Maka untuk menanggung risiko itu kami bersedia. Maka bendera kami terima dan kami bawa ke tiang bambu itu dengan dibantu oleh seorang pemuda lain yang bercelana pendek, jika tak salah Sdr Suharsono (sekarang pilot Garuda). Bendera dikerek secara perlahan-lahan sesuai dengan panjangnya bambu itu diiringi nyanyian "Indonesia Raya" oleh para hadirin. Selesai Upacara Proklamasi dan Pengerekan Bendera maka kedua Pemimpin Bangsa menuju kembali keruang belakang. Upacara telah selesai dengan selamat. Kemudian Bapak Suwirjo (saat itu Walikota Jakarta) membaca nama-nama para Anggota Komite Nasional Indonesia (K.N.I.) di Pusat di mana-mana mendapat kehormatan untuk turut duduk pula sebagai nggota. Baru setelah upacara itu selesai muncul seorang Jepang, menurut keterangan utusan dari Gunseikan, disertai orang Jepang lain sebagai penterjemah. Menurut keterangan ia datang untuk menyampaikan "larangan dari Pemerintah Jepang untuk mengadakan aktifitas politik" tapi oleh Bung Karno dijawab bahwa Kemerdekaan Indonesia telah diproklamir! Jika memang demikian halnya maka analisa kami, golongan muda, sudah betul yaitu "seandainya Proklamasi itu terlambat diadakan maka Bangsa Indonesia dan sejarahnya bisa lain!" Jakarta, Agustus 1975.

Monday, October 03, 2011

Hibah Rp 10 Miliar Belum Diterima Korban Rawa Gede

Pemerintah Diminta Proaktif Sikapi Putusan Belanda
Rakyat Merdeka 
Selasa, 20 September 2011 , 01:40:00 WIB
DPR Akan Panggil Menlu, Mendagri & Menkumham
Bantuan hibah bagi korban tragedi Rawagede sebesar Rp 10 miliar yang dikirimkan pemerintah Belanda ke Indonesia dua tahun lalu menjadi misteri, raib tanpa jejak.  Kementerian Dalam (Ke­men­­dagri) yang disebut-sebut se­bagai pihak yang menerima ban­tuan ter­sebut membantah keras. Sementara, para ahli waris kor­ban trage­di Rawagede sampai saat ini be­lum bersikap atas ban­tuan hibah tersebut. “Tidak benar ada uang Rp 10 mi­liar. Sumbernya siapa dan dari­mana, kita juga tahunya dari me­dia. Tapi, informasi uang itu juga akan kami cek kebenarannya,” kata Kapuspenkum Kemendagri, Rey­donnyzar Moenek kepada Rak­yat Merdeka, di Jakarta, kemarin. Kemendagri, kata dia, akan meng­kaji kebenaran hasil putu­san pengadilan di Den Haag, Be­landa terkait kasus tersebut, dan berkoordinasi dengan Kemente­rian Luar Negeri, Kementerian Hu­kum dan HAM, dan Kemen­terian Keuangan. “Kita juga belum mengetahui secara pasti, tahunya malah dari me­dia massa. Perlu dicek ulang dan mendalam apakah benar ke­putusan itu. Kita juga akan mem­pertanyakan, apakah kasus rawa­gede itu gugatan goverment to go­verment, private to govern­ment, atau private to private, ten­tunya ini perlu kajian lagi,” katanya. Terpisah Ketua Yayasan Ra­wagede, Sukarman membenar­kan keluarga korban pembantaian Rawagede belum menerima ban­tuan hibah dari Belanda pada 21 Februari 2009 itu.  Menurutnya, para korban tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dana ter­sebut, karena itu dana hibah, bukan ganti rugi.  “Sampai saat ini para ahli waris belum menerima dana tersebut, karena itu dana hibah, maka yang berwenang untuk mengurus dan membagikannya kapada masya­rakat adalah Ke­menterian Dalam Negeri atau Pe­merintah Daerah. Jadi tidak bisa menggugatnya,” katanya. Menurut Sukarman, sampai saat ini baik keluarga maupun lem­ba­ganya tidak tahu menahu mengenai keberadaan dana terse­but.  “Saya tidak tahu apakah saat ini dananya ada di Kemen­da­gri, di pemda atau dimana. To­long Tanya kepada mereka saja,” pintanya. Dari Senayan, anggota Komisi III DPR Saan Mustopa mendesak Kementerian Hukum dan HAM selaku mitra kerja lembaganya untuk memastikan posisi putusan pengadilan kasus Rawagede.  “Dari situ pemerintah bisa mengambil tindakan,” ucap po­litisi asal Karawang ini. Anggota Komisi I DPR Mu­ham­mad Najib mendesak pe­me­rintah menindaklanjuti ke­putusan Pengadilan Sipil Den Haag, Belan­da, yang memerin­tah­kan Pemerintah Belanda mem­bayar ganti rugi terhadap sem­bilan korban peristiwa Ra­wagede.  “Ini sangat baik. Ini bagian ke­cil dari fakta-fakta sejarah yang kita miliki. Langkah awal yang menjadi pintu masuk ke kasus-kasus pelanggaran HAM perang lainnya,” katanya.

Untuk membuktikan perhatian legislatif terhadap penuntasan kasus Rawagede, Komisi I DPR akan memanggil Kemenlu, Ke­men­kum HAM, dan Kemen­dagri untuk meminta pen­jelasan terkait proses hukum dan dana ganti rugi para korban.  “Se­cepatnya kami akan me­manggil Kementerian terkait untuk men­jelaskan masalah ini,” tegasnya. Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hik­mahanto Juwana, mengatakan, pemerintah sebainya bersikap pro­aktif membantu para ahli wa­ris korban peristiwa Rawagede un­tuk mendapatkan hak-haknya berdasarkan putusan pengadilan di Den Haag, Belanda pekan lalu.  “Pemerintah bisa menjadi fa­si­litator dengan menyediakan penga­cara, arsip sejarah, atau ban­tuan fasilitas,” katanya. Menurutnya, hal itu penting di­lakukan pemerintah untuk mem­bantu warganya sebab keputusan Pengadilan Negeri Den Haag be­lum bersifat hukum final, karena bisa ditempuh upaya hukum lan­jutan.  Untuk diketahui, peristiwa pembantaian Rawagede terjadi tahun 1947 di daerah Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Dalam tragedi tersebut tercatat 431 laki-lakit terbunuh akibat kekejian tentara Belanda. Peristiwa ini bermula penca­rian pejuang kemerdekaan berna­ma Lukas Kustario. Dalam pen­cariannya tentara Belanda me­ma­suki Desa Rawagede dan meng­eksekusi penduduk laki-laki ka­rena menolak memberikan infor­masi mengenai keberadaan Kus­tario.  PBB mengecam pe­­ris­tiwa itu sebagai serangan disengaja dan kejam Pe­merintah Belanda meski kejadian pembantaian itu dike­tahui lewat film dokumenter yang ditayangkan tahun 1995.  Sepuluh tahun kemudian, Men­­teri Luar Negeri Belanda, Ben Bot menyatakan penyesalan atas se­jumlah serangan oleh pa­sukan Be­landa di beberapa wi­layah di Indonesia pada tahun 1947. Namun, Belanda memutus­kan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan. Pada 20 Juni 2011, sembilan janda korban pembantaian di desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Belanda.  Para janda menuntut penga­kuan dan ganti rugi atas mening­galnya tulang punggung keluarga mereka.  Waktu itu, beberapa jan­da, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini.. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup. Kemudian 14 September 2011 Pengadilan Den Haag menerbit­kan vonis atas perkara itu yang me­menangkan gugatan sembilan janda tersebut. Pengadilan me­merintahkan Pemerintah Benlada membayar sejumlah ganti rugi kepada penggugat.

Mereka Melobi Karena Tidak Diperhatikan

Haris Azhar, Koordinator Kontras

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekearasan (Kontras) menilai, kemenangan gugatan korban tragedi Rawagede, pada 14 September ke­marin merupakan hasil per­juangan warga, tanpa dukungan Pemerintah Indonesia. “Masyarakat, terutama ke­luarga korban pembantaian Ra­wagede, Karawang, Jawa Ba­rat, tidak mendapatkan per­ha­ti­an yang memadai. Kalaupun ada, itu hanyalah perhatian simbolik dari sejumlah individu pe­jabat TNI atau sipil keturu­nan Karawang,” kata Koor­dinator Kontras, Haris Azhar, dalam keterangan tertulis yang diterima Rakyat Merdeka.

Perjuangan menuntut Peme­rin­tah Kerajaan Belanda meru­pakan kerja keras warga dengan sejumlah yayasan untuk men­dorong kompensasi dari Peme­rintah Kerajaan Belanda.  Dijelaskan Haris, pada 1995 lurah setempat, dengan duku­ngan Pangdam Siliwangi saat itu, mendirikan Yayasan Rawa­ge­de. Yayasan ini kemudian yang dibantu Kharis Suhud (Be­kas Ketua MPR/DPR) se­ring mencari bantuan untuk para janda dan keluarga korban.  Pada 2005, lanjut Haris, ya-yasan ini kemudian bertemu de­ngan Komite Utang Kehor­matan Belanda (KUKB) dan mendorong kompensasi dari pemerintah Belanda. Yayasan itu kemudian mulai melakukan lo­bi politik ke pemerintah Be­lan­da, namun gagal. Setelah ga­gal, kemudian dilanjutkan de­ngan tindakan hukum pada 2009 melalui gugatan ke penga­dilan Belanda. Semen­tara, ya­ya­san lain, Sampurna War­­ga me­lakukan pemberda­yaan eko­nomi sosial, termasuk untuk para keluarga korban. “Mereka melakukan lobi ke Kedutaan Belanda karena ku­rang dapat perhatian pemerin­tah Indo­nesia. Mereka disetujui oleh pe­merintah Belanda untuk di­bantu dan uang diserahkan ke Ke­mendagri pada Desemeber 2010. Namun hingga kini ban­tuan tersebut tidak pernah dite­ri­ma yayasan tersebut,” papar­nya. Keluarga korban pemban­taian Rawagede mengaku Pe­me­rintah Belanda pernah mem­berikan ban­tuan hibah pada 2009 lalu se­besar Rp 10 miliar. Uang itu di­sa­lurkan melalui Ke­mendagri. Ironisnya hingga kini keluarga kor­ban belum pernah menerima hak­­nya. Para ahli wa­ris korban ha­nya berharap da­na konpensasi ini bisa sampai ke tangannya dan bi­sa dinik­ma­ti keluarganya


Janda Rawagede kalahkan Belanda


Kamis, 22/09/2011 09:29 WIB

Janda Rawagede Kalahkan Belanda Kemenangan Melawan Lupa dari Rawagede

Deden Gunawan - detik News

Jakarta - Sejarah adalah perjuangan melawan lupa. Dan Rawagede menjadi bukti kemenangan perjuangan itu. Bagi Belanda, pembantaian tentaranya yang menewaskan ratusan orang di Rawagede, Karawang, Jawa Barat itu hanyalah cerita yang sudah kadaluwarsa. Pemerintah Indonesia juga kurang peduli dengan pembantaian biadab pada 9 Desember 1947 itu. Nama Rawagede pun sekarang sudah tidak ada dan diganti menjadi Balonsari. Saksi pembantaian itu hanya tersisa segelintir orang dan sudah sangat sepuh. Tapi mereka yang tersisa tidak mau menyerah untuk terus menggugat keadilan. Mereka tidak mau kejahatan HAM di Rawagede dilupakan. Akhirnya, setelah 64 tahun pembantaian berlalu, keadilan berpihak pada mereka. Rabu, 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menerbitkan vonis yang memenangkan tuntutan 9 janda dan korban pembantaian di Rawagede. Dilansir BBC, pengadilan di Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan tentaranya di Rawagede. "Alhamdulillah," kata Wasiah, salah satu janda dari korban pembantaian Rawagede yang ikut menggugat, menanggapi kemenangan gugatan itu. Gugatan para korban pembantaian Rawagede sejatinya bermula dari buku berjudul 'Riwayat Singkat Makam Pahlawan Rawagede'. Buku itu ditulis Sukarman, ahli waris korban, dan diterbitkan pada 1991.  Ayah Sukarman, Sukardi adalah pejuang Indonesia yang lolos dari pembantaian Rawagede. Sementara ibunya, Cawi, adalah janda korban pembantaian itu. Sukarman menulis buku itu karena tidak ingin pengorbanan besar rakyat Rawagede demi kemerdekaan itu dilupakan begitu saja. Ia tidak mau peristiwa itu 'hanya' dikenang melalui bait puisi "Karawang-Bekasi" karya Chairil Anwar. "Peristiwa Rawagede itu sangat memilukan, saya ingin menceritakan secara gamblang apa yang sebenarnya terjadi di Rawagede pada 9 Desember 1947," ujar mantan Kepala Desa Rawagede itu, saat ditemui detik+ di rumahnya. 'Riwayat Makam Pahlawan Rawagede' berisi keterangan istri-istri para korban yang masih hidup. Saat itu, tahun 1991 waktu buku dibuat, jumlah janda korban Rawagede masih 50 orang. Kini mereka tinggal 6 orang yang masih hidup, salah satunya Cawi, ibunda Sukarman. Suami Cawi, Bendol, dibantai pasukan Belanda di Rawagede. Tiga tahun setelah pembantaian itu, Cawi menikah dengan Sukardi, pejuang Indonesia yang lolos dari pembantaian sadis itu. Dari pernikahan itulah lahir Sukarman. "Saya tidak lagi dendam," kata Cawi mengenang pembantaian itu. Dari kedua orangtuanya itulah, Sukarman mendapatkan cerita yang utuh pembantaian Rawagede. Tanpa disangka buku Sukarman menyebar ke Belanda karena dibawa pengurus Badan Kontak Legium Veteran RI Alif Jumhur. Di Belanda, buku itu menyedot perhatian akademisi, politisi dan wartawan hingga kemudian dicetak ulang. Orang-orang Belanda sangat kaget dengan kisah pembantaian di buku itu. Yang mereka tahu Indonesia adalah bagian dari Kerajaan Hindia Belanda sehingga tidak ada penjajahan apalagi pembantaian. Beberapa bulan setelah buku itu beredar, sejumlah akademisi dan wartawan Belanda datang ke Rawagede. Mereka berupaya menggali peristiwa yang sebenarnya di desa yang jaraknya 20 kilometer dari Kota Karawang tersebut. "Setiap bulan ada saja wartawan atau peneliti belanda yang datang ke Rawagede sejak 1994," kata Sukarman. Di Indonesia sendiri, tampaknya buku itu hanya menarik perhatian para veteran termasuk Pangdam Siliwangi saat itu, Mayjen TNI Tayo Tarmadi. Begitu membaca buku itu, Tayo langsung mendatangi Sukarman. Tayo meminta Sukarman untuk mengusulkan pendirian Yayasan Rawagede dan mengumpulkan kuburan para korban dalam satu lokasi berikut membangun monumen. Akhirnya, pada 1995, Bupati Karawang saat itu, Mangkuwijaya, menyetujui penyatuan makam jenazah korban Rawagede. Sang Bupati dan Pangdam Siliwangi mengumpulkan pengusaha sehingga terkumpul sumbangan Rp 400 juta untuk membangun pemakaman yang layak bagi 431 jenazah korban Rawagede. Pembangunan Monumen Rawagede rampung pada Oktober 1996. Setelah itu setiap 9 Desember, Muspida Karawang mengadakan upacara di monument itu. Begitu monumen berdiri, sejumlah veteran dan LSM HAM Belanda menyarankan Sukarman dan ahli waris menggugat pemerintah Belanda untuk mendapatkan ganti rugi atas pembantaian itu. Pada 16 Agustus 2007, para janda korban dan ahli waris termasuk saksi mata pembantaian itu Sya'ih bin Sakam, melakukan demo di kedubes Belanda di Jakarta. Tapi aksi itu tidak direspons. Bukan hanya Belanda yang tidak merespon, pemerintah Indonesia juga tidak peduli. Karena tidak direspons, para korban dan ahli waris lantas menggugat secara hukum. Gugatan yang dilakukan bersama Komite Utang dan Kehormatan Belanda, yang dipimpin Batara Hutagalung itu dilayangkan pada Oktober 2008 di Belanda. Sejauh itu, pemerintah Indonesia tidak juga menunjukan dukungan. "Pemerintah tidak berbuat apa-apa. Mungkin merasa tidak enak sama Belanda," kata Sukarman. Untungnya akademisi, wartawan, serta anggota parlemen Belanda dari partai oposisi mendukung gugatan itu. Bahkan 19 September 2008, dua anggota parlemen Belanda, Harry van Bommel dari Partai Sosialis dan Joel Voordewind dari Partai Uni Kristen (ChristenUnie) bertemu para korban termasuk Wasiah dan Sya'ih di Jakarta. Pada 2010, Sukarman dan Sya'ih datang ke Belanda untuk memberikan kesaksian. Kemudian awal 2011, Sukarman datang lagi menghadap pengadilan Belanda. Melihat jalannya persidangan, awalnya Sukarman pesimistis gugatan bakal menang. Itu sebabnya Sukarman dan kuasa hukum penggugat mempersiapkan banding. Tapi berbarengan proses sidang, ternyata media massa di Belanda mengulas keterangan sejumlah veteran tentara Belanda (Veteran LMD). Media Belanda menulis keterangan 5 orang bekas tentara Belanda yang pernah bertugas di Jakarta. Mereka mengakui pernah melakukan penembakan di Rawagede. Bahkan kelima veteran ini siap memberikan ganti rugi melalui koceknya sendiri sebagai kompensasi dari kebrutalan mereka saat bertugas di Rawagede. "Awalnya pemerintah Belanda ngotot kalau kasus ini sudah kadaluwarsa. Tapi karena kesaksian 5 pelaku pembantaian itu, majelis hakim mungkin jadi berubah pikiran," duga Sukarman.
Foto: Sukarman mantan lurah Balongsari yang ketua Yayasan Rawagede

Saturday, October 01, 2011

Legende Soedirman


Jenderal Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun. Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dengan pangkat Letnan Jenderal TNI yang pertama dan termuda (31 tahun) Meski menderita sakit tuberkulosis paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI. Soedirman dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalah keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari Siyem. Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (Holandsche Indische Kweekschool atau sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi kepanduan Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) Muhammadiyah di Cilacap. Ketika zaman pendudukan Jepang yahun 1943, ia mendapat pendidikan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Setelah menyelesaikan pendidikan diangkat menjadi Komandan Batalyon PETA di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR). Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Pada masa pendudukan Jepang, sebelum menjadi tentara PETA, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.  Soedirman mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah keberhasilannya mengambil alih senjata pasukan Jepang secara damai di Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Tepatnya pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945. Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Letnan Jenderal oleh Presiden Soekarno. Saat terjadinya Agresi Militer II Belanda 19 Desember 1948, Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta, diduduki oleh tentara Belanda. Soedirman memimpin pasukannya untuk melakukan perang gerilya terhadap Belanda. Dalam perlawanan tersebut, Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Walaupun begitu dia ikut terjun ke medan perang bersama pasukannya dalam keadaan ditandu, memimpin para tentaranya untuk tetap melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda secara gerilya. Penyakit yang diderita Soedirman saat berada di Yogyakarta semakin parah. Paru-parunya yang berfungsi hanya tinggal satu karena penyakitnya. Saat itu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta dan beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Saat gerilya, Soedirman berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah dan dalam kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Setelah Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag Jenderal Soedirman kembali ke Yogya. Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki,








Dari Politik ke Kebathinan

Oleh SK Trimurti (dalam majalah Tempo 21 April 1990, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/04/21/MEM/mbm.19900421.MEM20311.id.html#
PAGI HARI, 17 Agustus 1945. kawan-kawan saya datang beramai -ramai menjemput. "Yu Tri, ayo ke Pegangsaan Timur 56, ke rumah Bung Karno untuk mendengarkan proklamasi," kata salah seorang. "Mengapa tidak ke lapangan Ikada seperti rencana semula?" "Ah, diam sajalah dulu. Di lapangan Ikada sudah banyak serdadu Jepang dengan senjata lengkap. Nanti kita ditembaki kalau ke sana." Segera saya berangkat ke Pegangsaan Timur. Jam 10 pagi, saya lihat sudah banyak orang berkumpul. Saya tak sempat lagi bertanya-tanya mengapa tempat proklamasi beralih sebab keterangan kawan-kawan agaknya masuk di akal. Apalagi saya lihat masih banyak kawan-kawan yang membawa kelewang dan senjata tajam lainnya. Mereka terutama dari Klender. Segalanya berjalan spontan, tanpa persiapan. Ketika kami berbaris, sempat juga saya lihat orang. orang Belanda di kiri -kanan rumah Bung Karno mereka mengintip dari pagar. Mereka menyaksikan tingkah laku kami dengan sikap melecehkan. Barangkali mereka menyangka kami sedang bermain-main. Mereka melempar senyum ngenyek, mengejek. Tapi saya tak peduli. Tak lama kemudian Bung Karno, Zus Fatmawati dan Bung Hatta datang. Pakaian dan wajah mereka sama lusuhnya karena semalam suntuk tidak tidur. Tiba-tiba, tanpa komando apa-apa, suasana jadi hening. Dan tibalah saatnya sang Dwiwarna dikerek. Kami saling memandang. Tak ada persiapan siapa yang harus mengerek bendera itu. "Yu Tri kerek bendera itu," kawan-kawan mendorong "Ndak mau. Lebih baik Saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia kan dari Peta," tampik saya. Saya kira, pejuang seperti Latief lebih layak untuk maju karena dialah yang bertempur di medan juang. Maka, Latief pun maju mengerek bendera Merah Putih, didampingi Soehoed Sastrokoesoemo. Saya berjejer dengan Zus Fatmawati, berdiri di depan bendera, berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta -- yang berdiri di beranda yang letaknya lebih tinggi dari kami. Hati saya berdebar-debar ketika melihat sepotong Merah Putih jahitan Zus Fat itu berkibar. Teks Proklamasi yang diketik oleh suami saya itu akhirnya dibaca oleh Bung Karno dengan suara rendah, perlahan-lahan, dan khidmat. * * *
Foto: Soehoed Sastrokoesoemo saat menjadi team Bung Karno pada tahun 1961, guna merancang Tugu Nasiona yang kemudian bernama Monumen Nasional (MONAS)