Wednesday, September 28, 2011

Dasman Djamaludin menulis tentang Sumber Sekunder




















Ketika cucu Abdul Latief Hendradiningrat, pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945, Arif Wicaksono Hendradiningrat mengajak saya agar sebagai sejarawan universitas sekelas UI seharusnya tidak perlu meragukan lagi kebenaran fakta sejarah mengenai pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945, yaitu kakeknya dan Soehoed., saya hanya terdiam lama. Apalagi ditambah kalimat “Keluarga kami, sudah lama bersabar atas pembohongan publik oleh ILYAS KARIM. Puncaknya yaitu ketika diadakan acara oleh stasiun TVONE di Gedung Juang 31, padahal disitu ada ruangan yang memuat siapa pelaku dan saksi sejarah mengenai Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945.”
 Mengapa saya terdiam lama? Karena saya mengalami hal-hal sebagai berikut:
  1. Saya mendengar sendiri dari Burhanuddin Muhammad Diah (B.M.Diah) ketika menulis buku beliau: Butir-Butir Padi B.M.Diah (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), betapa geramnya beliau membaca Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, yang menganggap yang merumuskan materi Pancasila ialah Mr.Muh.Yamin. Buku ini bukan main-main diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 1975 dalam enam jilid dan penulisnya Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo, Dr.Marwati Djoened Poesponegoro dan Dr.Nugroho Notosusanto. Bahkan menurut berita, Presiden Soeharto waktu itu memerintahkan agar buku tersebut dipergunakan di sekolah-sekolah pemerintah. Menurut B.M.Diah sejarawan-sejarawan Indonesia masih dipengaruhi sejarawan Barat atau didominasi pandangan sejarawan Barat, karena menurut F.A. Sutjipto dalam kata pengantarnya pada jilid IV, bahwa sebagian besar sumber adalah sumber sekunder walaupun di sana sini juga dilakukan sumber primer. Sehingga saya menganggap ini sebuah kekeliruan besar, karena kelihatannya sumber primer B.M.Diah tidak terlalu diperhitungkan dalam menyusun Buku Sejarah Nasional ini, sementara sumber primernya masih ada (hidup).
  2. Tentang buku yang saya tulis sendiri: Butir-butir Padi B.M.Diah (1992), meski Toeti Kakiailatu menuliskannya kembali dengan judul B.M.Diah Wartawan Serba Bisa tahun 1997, sumber primer sama yaitu B.M.Diah tetapi situasi dan kondisi berbeda. Hal ini terlihat dari komentar Wartawan Senior H.Rosihan Anwar ketika meresensi buku Toeti Kakiailatu di dalam Majalah Ggatra, 13 September 1997 halaman 130 bahwa: “Toeti Kaiailatu, mantan wartawan Tempo, menulis biografi B.M.Diah Wartawan Serba Bisa (1997).Lima tahun yang lalu B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman, buku yang menguraikan riwayat hidup Diah, sebagaimana diungkapkan kepada Dasman Djamaluddin. Maka, kedua buku itu mengandung bahan yang kurang lebih sama.” Di bahagian lain komentarnya Rosihan Anwar mengatakan:.....”Kendati dalam buku ini saya mendeteksi berbagai ketidakcermatan dalam keterangan Diah—yang diwawancarai oleh Toeti ketika mulai sakit-sakitan dan ingatannya tidak lagi begitu sempurna.” Jadi sumber primer yang sama, bisa juga mempengaruhi informasi ketika sumber itu sudah sakit-sakitan. Saya mewawancarai B.M.Diah ketika usianya 75 tahun dan masih sehat, baik lahir maupun bathin.
  3. Ketika saya berkunjung ke rumah H.Asnawi Mangku Alam, mantan Gubernur Sumatera Selatan, hari Minggu, 12 Januari 1997 beliau menunjukkan buku nya atas gugatan buku H.Alamsyah Ratu Perwiranegara berjudul: “ Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu” yang ditulisnya tahun 1996 dan telah diberikannya kepada Alamsjah tetapi tidak memperoleh jawaban. Barulah setelah saya menulis di surat pembaca di Tabloid Swadesi edisi No.1483 Tahun 1997, Alamsjah menjawab di Majalah Tajuk No.9 Tahun I,Maret 1997 halaman 54 – 57. Saya hanya ingin menyatakan bahwa di masa yang sama di mana nara sumber primernya ada, masih ada perbedaaan dalam menuliskan sejarah. Apalagi apabila sumber primernya tidak ada? Itulah sebabnya saya menahan diri dulu untuk menyatakan setuju dan percaya karena masih ada orang lain mengklaim dialah yang mengibarkan bendera pusaka tanggal 17 Agustus 1945. Jadi saya memberi kesempatan kepada masing-masing pihak, sekarang yang saya tahu masih tiga orang, membuktikan sungguh-sungguh data siapa yang otentik, shahih dan dapat dipercaya. Ya, mau tidak mau, ketiganya harus duduk di satu meja. Jadi melalui proses yang panjang, apalagi kalau membuktikan sumber sekunder, ya ingat lagi kata Pak Asvi, siapa sejarawannya, dan di mana dia bekerja ikut mempengaruhi tulisannya.

Latief Hendraningrat Pengibar Bendera Pusaka


Abdul Latief Hendraningrat (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). adalah seorang prajurit PETA (Pembela Tanah air) berpangkat Cudanco. Dia adalah pengerek bendera Sang Saka Merah Putih tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56. Untuk ini Latif didampingi Suhud seorang anggota Pelopor. Pasukan PETA dimana Latief berada, bermarkas di bekas markas pasukan kavaleri Belanda di Kampung Jaga Monyet, yang kini bernama jalan Suryopranoto di depan Harmoni. Setelah bergabung dengan TNI, karier beliau menanjak terus sampai berpangkat Mayor Jenderal, bahkan sempat menjadi Rektor IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) pada tahun 1964-1965.
Telah terbit buku tentang Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945 yang ditulis olen Dr Nidjo Sandjojo M.Sc yang tidak lain adalah menantu termuda dari Pak latief Hendraningrat. Diterbitkan oleh PT Pusataka Sinar harapan.